Connect with us

Feature

Karmaphala Mopizarian

Published

on

________________________________________________________________

Dua judul komik Mopizar atawa Mouna Pirous Zainal Arifin (1919-1985) membawa kata ‘pembalasan’. Kejahatan dalam komik-komiknya tiada pernah tak terhukum. Bagaikan representasi postulat ‘hukum karma’. Dua bentuk varian hibrida-reduksionis dari karmaphala dalam Hinduisme.

Mouna Pirous Zainal Arifin atawa Mopizar (1919-1985). (dok keluarga)

______________________________________________________________

Apa beda suatu dan satu ? Terdengar mirip, merujuk cerita-gambar Suatu Pembalasan (tt) dan Satu Pembalasan (1968) gubahan Mopizar, keduanya mengungkap naratif yang maknanya bertentangan. Naratif seperti apa?

Suatu Pembalasan adalah naratif berformat baris-komik (comic-strip) yang menunjukkan kematangan gambar penggubahnya. Dalam 78 panil yang ditampung 24 halaman, dalam variasi antara tiga dan empat panil sejajar per halaman, dikisahkan tentang petani Danu yang beristeri Darma dan Atun. Darma beranakkan Darmi (8) sedangkan Atun beranakkan Manis (6).

Tabiat kedua isteri ini berbeda, Darma rajin dan tanpa prasangka, sedangkan Atun pemalas dan selalu menanti peluang menyingkirkan Darma.

Suatu Pembalasan tanpa tahun, Satu Pembalasan tahun 1968. Bukan balas dendam, melainkan karmaphala.
Komik adalah media urban, tetapi Mopizar menggambarkan kehidupan agraris yang tidak terdapat dalam budaya urban itu sendiri.
Bahasa tubuh berkebun dan memasak di dapur
yang tampak sangat dikenal penggubahnya
.
Penggambaran kehidupan tepi sungai di pedalaman, adegan yang didengar Atun di balik dinding memberinya gagasan untuk membunuh Darma.

Kesempatan itu tiba saat air sungai pasang, Darma mencuci piring di tepi sungai, dan Atun menendangnya agar jatuh dan diseret kederasan arus. Tewaslah Darma.

Pembunuhan di pedalaman.

Danu mencurigai ketenangan Atun ketika Darma tak kunjung pulang. Di tepi sungai ditemukannya piring bersabun yang mengering. Didesaknya Atun dengan pandangan mengancam.

Atun ketakutan. Saat hujan deras dan petir menggelegar, Atun berlari ke luar rumah. Dalam kegelapan Atun pun terjerumus masuk ke sungai. Tewas menyusul Darma.

Atun tewas di tempat ia membunuh Darma.

Mopizar tercatat menggali gagasan tentang kejahatan dalam berbagai komiknya, dengan pendekatan ‘hukum karma’ sebagai dasar alur, tempat pelaku kejahatan mendapat hukuman atau balasan atas perbuatannya secara setimpal. Pendekatan ini berlaku dalam Hukum Tanpa Hakim (1966), Tangan Mencencang Bahu Memikul (1966), dan Suatu Pembalasan tadi, yang data tanpa-tahunnya, beserta perbandingan gambar, dapat berarti tahun terbitnya lebih tua.

Namun konsep ‘hukum karma’ sendiri tidak selalu sama penjabarannya dengan apa yang dapat ditarik dari ketiga cerita-gambar Mopizar tersebut. Tak pernah disebut ‘hukum karma’, melainkan karma sahaja, setidaknya terdapat enam arti karma dalam konteks Upanishad maupun Rig Veda.

Pertama dan maknanya paling mendasar, karma adalah tindakan atau perbuatan. Kata benda karma berasal dari kata kerja kri, yang terhubung dengan kata Latin creo = membuat atau melakukan, baik membuat meja atau melakukan upacara. Sering dilawankan dengan pikiran dan ucapan: orang dapat berpikir, berkata, atau melakukan (kri) sesuatu, dengan konsekuensi nan terus meningkat.

Kedua, makna “karma” adalah tindakan ritual, terutama tindakan ritual Veda; itulah konotasi utamanya dalam Rig Veda.

Ketiga, yang mulai berlaku dalam Upanishad: tindakan yang bermuatan moral, baik atau buruk, seperti meteran yang selalu berjalan, yang terus-menerus membebankan sesuatu ke rekening seseorang.

Keempat, mengikuti makna ketiga: tindakan bermuatan moral
yang mempunyai konsekuensi bagi jiwa di masa depan, yang bersifat retributif baik dalam kehidupan seseorang maupun melintasi penghalang kematian.
Seperti akan menjadi kambing yang dimakan, jika sudah memakan kambing.

Dalam pengertian ini, karma adalah tindakan yang muatan moral retributifnya menentukan sifat kelahiran kembali (reinkarnasi) di masa depan. Konsekuensi mempunyai konsekuensi, dan hal pertama yang diketahui: lahir sebagai kambing.

Kelima, karma bukan penyebab kehidupan masa depan, tetapi akibat kehidupan masa lalu, dan agenda kehidupan ini: peran yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan adalah seseorang dilahirkan untuk bermain, bekerja, atau melakukan aktivitas bawaan.

Keenam, karma adalah implikasi bahwa karma baik dan buruk juga bisa terjadi, ditularkan dari satu orang ke orang lain dalam keadaan tertentu. Bukan hanya antara orang tua dan anak-anak, dan antara pendeta yang berkorban dan pelindungnya, tetapi dalam perjumpaan setiap orang.

Peralihan ini dapat terjadi baik sengaja maupun tidak sengaja: teks Dharma mengatakan bahwa jika seseorang membiarkan seorang tamu pergi tanpa makan, maka tamu tersebut akan membawa karma baik tuan rumah dan tinggalkan karma buruknya sendiri.

Gagasan tentang karma tentu saja tidak diterima oleh semua orang sebagai solusi akhir terhadap masalah kematian (atau kejahatan); banyak
lainnya, ide-ide yang bertentangan diajukan dan diterima secara luas, bersamaan dengan teori karma (Doniger 2009, 168-9).

Makna kelima dan keenam tampak bisa dibandingkan ‘hukum karma’ dari kasus-kasus cerita-gambar Mopizar, tetapi sudah jelas tidak sama. Dalam apa yang disebut Hinduisme, dalam hukum karma perbuatan apa pun merupakan akibat dari suatu sebab, dan pada gilirannya menjadi penyebab dari akibat lainnya. Seluruh prosesnya disebut samsara (Zaehner 1992, xiii).

Postulat ‘hukum karma’ dalam mitos sehari-hari itu memang tidak bisa dikembalikan kepada suatu sumber, yang diandaikan dapat bertanggung jawab, karena sudah mengalami hibrida-reduksionis dalam pergaulan multikultural, menjadi lebih praktis ketimbang teoretis: hanya mengurusi perbuatan jahat.

Pepatah Tangan Mencencang Bahu Memikul = Kesalahan yang kita perbuat itu, kita pula yang menanggungnya (Iskandar et al 1950, 371) adalah contohnya. Inilah yang seolah membuatnya masih setara dengan pengertian karmaphala (hasil, buah = phala, dari tindakan, perbuatan = karma), yang menjadi bagian dari keluasan empat pengertian: dharma-moksha-samsara-karma (Zaehner, op.cit., xv).

***

Satu Pembalasan berjudul mirip Suatu Pembalasan, tetapi semangatnya sungguh berbeda. Masih sama-sama terbaca makna betapa pelaku kejahatan akan mendapat balasan setimpal, tetapi kini bukan ‘hukum karma’ sebagai sistem kodrat yang berbicara, melainkan pembalasan sebagai proyek (mengubah nasib).

Terdiri dari dua jilid (2 x 32 hal), merupakan pembagian atas alur petaka yang menimpa orangtua Imah, dan bagaimana Imah kecil diselamatkan dan diangkat murid oleh Pengemis Cakar Elang, ketika desanya dirampas kawanan Si Buto (Jilid 1); yang nantinya berhasil membalas dendam bukan hanya dengan otot, melainkan juga akal (Jilid 2).

Pondok reyot sebagai representasi kemiskinan.
Pendekar pengemis, sawah, dan rumah-rumah di desa.

Sebagai cerita silat, keunikan gubahan Mopizar, bahwa peran makhluk halus bisa menjadi lawan kasar sang pendekar Imah, yakni bersilat, seperti dalam Tewasnja Iblis Bermata Satu (1968) berulang kembali dalam Jilid 1.

Dalam batas genre: hibrida silat dan horor.

Dibanding Jilid 2, bahwa Imah yang sudah jagoan mengerahkan daya kibul manusia untuk menghemat tenaga, membuat Satu Pembalasan ibarat setangkup dimensi halus-kasar.

Gua pohon dan sosok tak berwajah: ruang imajinatif genre silat.

Penting mengungkap daya kibul Imah: menyadari keperkasaan para pengawal Si Buto, Imah datang ke desa asalnya bukan sebagai pendekar, melainkan perempuan sahaja, yang dengan kewanitaannya berhasil mengadu domba kawanan tersebut. Tersisa Si Buto, kepadanya Imah melakukan pembalasan. Demikianlah suatu tindak kejahatan telah berbalas, sesuai ‘hukum karma’, tetapi bukan secara kodrati, melainkan perjuangan manusiawi, dalam
ritus karmaphala cerita silat: balas dendam.

***

Dalam perspektif Mopizarian, sebagai cerita-gambar, dapat ditemukan kembali segenap keberdayaan naratif dalam panil-panil gambarnya, yang selain berkonteks alur mengungkapkan kembali keberadaan suatu dunia secara hidup. Menjadikannya lebih dari sekadar pesona gambar, melainkan juga dengan suatu cara sebagai dokumen sosial masanya.

Dari segi tematik, ketika Suatu Pembalasan terbit semasa pra-1966 (berdasar ‘tt’/tanpa tahun pada produknya), keluarga dengan dua istri hadir tanpa kontroversi sama sekali bagi peran suami; dan justru saat salah satu istrinya tidak toleran terhadap istri yang lain itulah yang terhukum.

Danu dan dua istri: tanpa kontroversi.

Dalam penguasaan teknik realis, penggambaran Mopizar mengembalikan sesuatu yang tidak sering ditemukan lagi: kebersahajaan hidup pedalaman, yang memang menjadi ironis dengan keberadaan politik kekuasaan di dalam rumah tangga.

Begitupun tetap menawan penggambaran perempuan-perempuan dewasa maupun anak-anak, yang berkain kebaya dan berambut panjang, terurai maupun digelung, dalam lingkungan rumah gubuk, ladang, sungai, dan peristiwa alam yang berperan dalam cerita.

Gerak-gerik, busana dan rambut, serta lingkungan alam
tempat berlangsungnya kejahatan.

Adapun Satu Pembalasan, sebagai komik genre silat, memberi banyak ruang bagi banyak adegan laga.

Namun dengan latar yang terandaikan berada di pedesaan, dapat dikenali kembali segala penggambaran terujukkan: mulai dari busana, blangkon, ikat kepala, sawah, maupun rumah-rumah dan ruang dalamnya.

Perhatian dapat diberikan kepada dua kali penyamaran Imah: pertama, sebagai (pendekar) pria; kedua, sebagai wanita (biasa, bukan perempuan pendekar), yang memberi peluang penggambaran perempuan-maskulin maupun wanita-feminin dalam jalan yang kompleks menuju phala dari karma Si Buto.

Menyamar sebagai pria: pemandangan dan warung sebagai tempat menginap.
Menyamar sebagai wanita (biasa): permainan gender di dunia pria.

Melalui peran wanita biasa penggambaran serba realis membumikan kembali Satu Pembalasan, melalui peran perempuan pendekar penggambaran imajinatif terdorong sampai mendapat lawan makhluk aneh.

Betapapun, adalah saat berperan sebagai wanita feminin, yang mengumbar rayuan demi adu domba di sarang lawan, menjadi bagian-bagian paling menarik dari judul ini: bahwa dalam cerita-gambar bergenre silat bisa saja bukan adegan pertarungan, melainkan pengadeganan realis yang berperan besar.

Adu domba sang pendekar silat.
Imah harus melaksanakan ‘hukum karma’ itu sendiri.

Begitulah telah disampaikan betapa Suatu Pembalasan (tt) dan Satu Pembalasan (1968) yang judulnya bermiripan, dengan tema karmaphala-nya masing-masing menempuh jalan berbeda. Namun dalam keduanya adalah penggambaran kebersahajaan yang mengkristal cemerlang sebagai rekaman zaman.

Di rumah gedhèk itu hanya ada satu ruang, tempat guru silat dan muridnya juga tidur di situ.

Kedua tema pembalasan ini sama-sama berjarak, bahkan cukup lepas, jika diujikan kepada karmaphala Hinduisme, tetapi sahih sebagai karmaphala Mopizarian.

SENO GUMIRA AJIDARMA, partikelir di Jakarta.

Gambar-gambar © (tt), 1968 MOUNA PIROUS ZAINAL ARIFIN
/ T.B Mulia Djakarta — Penerbit Nasional Bandung
, “Suatu Pembalasan” dari koleksi Antono Patina Antik

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement