Kabar
Integrasi dan Keberadaan Stasiun Sentral Manggarai
Oleh Djoko Setijowarno
JAYAKARTA NEWS – Integrasi transportasi sudah seharusnya diterapkan. Karena, (1) fleksibilitas bagi penumpang yang ingin melakukan transfer antara rute dan moda transportasi, (2) kemudahan untuk mengakses sistem dan menciptakan jaringan transportasi yang komprehensif untuk menjaring penumpang, (3) Bentuk pengembangan bisnis di sepanjang koneksi yang terintegrasi untuk menambah pendapatan, (4) berbagai moda transportasi publik yang terintegrasi dan didesain untuk semua merupakan simbol kota yang maju dan progresif (ITDP Indonesia, 2018).
Integrasi secara fisik bentuknya bangunan stasiun dan halte, pedestriaan dan konektivitasnya. Secara sistem dapat berupa institusi, pentarifan, penjadwalan, dan penegakan hukum.
Stasiun Manggarai Jakarta nantinya akan mengambil alih fungsi pemberhentian dan pemberangkatan kereta jarak jauh antarprovinsi. Stasiun Gambir akan dipensiunkan dari perannya sebagai stasiun kereta utama. Stasiun Gambir akan dikembalikan fungsinya sebagai stasiun yang melayani kereta komuter. Stasiun Manggarai akan melayani tidak hanya kereta jarak jauh, melainkan untuk kereta perkotaan (komuter) dan kereta bandara.
Setiap kota metropolitan dunia sudah memiliki stasiun sentral dengan fasilitas yang megah. Jakarta sebagai ibukota negara baru memiliki Stasiun Gambir yang dianggap megah. Menilik dari luasannya dan aktivitasnya.
Stasiun Manggarai nantinya memiliki 18 sepur, sementara sekarang baru 10 sepur. Antara Cikarang – Manggarai sudah mulai dipisahkan jalur kereta jarak jauh atau antarkota dan kereta perkotaan (komuter) dengan double-double track yang sedang berproses diselesaikan pembangunannya.
Integrasi pun diperlukan untuk memudahkan penumpang beralih moda transportasi. Selain tersedia layanan kereta bandara, juga harus disediakan layanan bus bandara, seperti halnya yang sudah beropertasi di Stasiun Gambir saat ini. Jembatan layang (skybridge) antara Stasiun Manggarai dengan Terminal Manggarai atau Pasar Raya.
Manggarai merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Primer dengan perkantoran, perdagangan, dan jasa serta stasiun terpadu dan titik perpindahan beberapa moda transportasi dengan konsep Transit Oriented Development (TOD).
Kawasan Manggarai termasuk Kawasan Strategis Ekonomi Provinsi DKI Jakarta dengan arahan pengembangan kawasan perdagangan, jasa, perkantoran dengan mengintegrasikan antarbangunan dan menyediakan ruang untuk sektor informal dan ruang terbuka publik.
Berada dekat dengan pusat kegiatan primer perdagangan jasa di Kawasan Sudirman dan Kuningan serta kawasan segitiga ekonomi di Jatinegara dan kawasan strategis sosial budaya di Menteng dan Taman Ismail Marzuki (TIM).
Melihat data dari PT Kereta Api Indonesia (2019), batas aset seusai sertifikasi Hak Pakai Nomor 46 Tahun 1983 lebih kurang luasnya 30,7 hektar. Termasuk di dalamnya 1.158 rumah. Memang dibutuhkan upaya (effort) lebih untuk penertiban terhadap 23.298 jiwa yang bermukim di lahan aset milik PT KAI dalam upaya mengoptimalkan lahan tersebut. Dukungan tersebut termasuk dari pemangku kepentingan (stake holder), seperti Pemprov. DKI Jakarta, Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Kepolisian RI, politikus. Selanjutnya, lahan tersebut dapat digunakan untuk mendukung optimalisasi fungsi Stasiun Manggarai sebagai stasiun sentral sesuai harapan.
Perlu Persiapan
Persiapan matang harus dilakukan sebelum rencana ini dijalankan. Rencana ini harus didukung dengan perubahan layanan serta fasilitas yang menunjang. Kekhawatiran publik terkait menumpuknya penumpang di Stasiun Manggarai dapat diantisipasi dengan perubahan dari beragam infrastruktur di Stasiun Manggarai.
Dengan ukuran bangunan stasiun 100 m x 100 m. Pastinya padat. Kalau tidak padat bukan stasiun modern. Yang penting daya dukungnya memadai, baik di dalam stasiun maupun di luar stasiun. Saat ini Stasiun Manggarai dinilai masih mengantongi masalah dalam infrastruktur pelayanan ke konsumen.
Stasiun Manggarai memiliki beberapa permasalahan yang berpotensi mengganggu fungsinya sebagai stasiun sentral. Permasalahan paling mendesak adalah akses menuju Stasiun Manggarai yang kurang memadai, yakni jalan sempit dan lingkungan sekitar yang padat, semrawut dan tidak teratur.
Ruas jalan Tambak dan Jalan Manggarai Utara adalah jalan sempit. Selain itu, terdapat beberapa titik penyempitan jalan yang menjadi penyebab kemacetan. Antara lain di terowongan lintas bawah Manggarai, area drop off depan stasiun dan jembatan dekat pintu air.
Oleh sebab itu, bila rencana ini benar terjadi, pemerintah harus menuntaskan problem tersebut lebih dahulu. Salah satunya memikirkan daya tampung dari Stasiun Manggarai.
Akses jalan dan kapasitasnya tidak jauh beda dengan di Stasiun Gambir. Juga lahan parkir perlu untuk kendaraan bermotor dan tidak bermotor.
Ada pun alasan teknis pemilihan lokasi tersebut karena tidak hanya KA jarak jauh namun Stasiun Manggarai juga disiapkan sebagai pusat perlintasan kereta bandara dan kereta listrik commuter line (KRL). Akibatnya, fungsi Stasiun Gambir akan beralih menjadi stasiun biasa sebagaimana stasiun lain yang dilintasi KRL.
Stasiun Manggarai adalah stasiun sentral yang pengembangannya masih memungkinkan berdasarkan pertambahan frekuensi jumlah perjalanan KA, meliputi KRL, KA Jarak Jauh maupun Kereta Bandara. Dengan pemusatan Stasiun Manggarai, maka bottleneck berupa perlambatan headway atau kereta masuk ke stasiun berikutnya tidak akan terjadi seperti sekarang ini.
Sekarang ini bottleneck-nya itu ketika KRL mau masuk Stasiun Manggarai, harus menunggu kereta yang lain lewat dulu. Katakanlah kereta jarak jauh atau kereta barang. Ke depan tidak akan seperti itu. Kemudian, di Stasiun Gambir juga masih terlihat, ke depan tidak akan lama menunggunya untuk kereta listrik. Peralihan sinyal atau switch over 5 (SO 5) adalah salah satu upaya menata lalu lintas kereta di dalam Stasiun Manggarai.
Baik itu KRL, kereta jarak jauh, kereta bandara pun bisa dipusatkan di Stasiun Manggarai. Karena pengembangan Stasiun Manggarai memang didesain untuk perencanaan pengembangan jika kapasitas penumpang sudah semakin tinggi. Kendati demikian, yang perlu diperhatikan jika Stasiun Manggarai menjadi pusat perlintasan dan persinggahan kereta maka akses atau jangkauannya perlu ditambah.
Caranya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dilibatkan. Sebab bagaimanapun, masyarakat dari Bogor, Depok, Tangerang yang memanfaatkan KRL dominan bekerja di Jakarta. Keterlibatan Pemprov. DKI Jakarta dapat dilakukan dengan membuka lahan yang saat ini banyak dimanfaatkan warga sebagai tempat hunian di sekitar Manggarai. Koordinasi harus dengan Kementerian Perhubungan, BUMN, PT KAI, Pemprov. DKI Jakarta untuk merangkul masyarakat sekitar.
Pengembangan Stasiun Manggarai masih memungkinkan untuk dilakukan pada 5-10 tahun mendatang. Sebab masih ada Balai Yasa di Manggarai. Itu bisa digeser atau dipindahkan, kemudian lahannya dikembangkan sebagai stasiun. Bahkan Transit Oriented Development (TOD) juga masih memungkinkan dibangun di sekitar Stasiun Manggarai.
Untuk menjadi stasiun besar dengan melayani antarkota, Stasiun Manggarai perlu daya dukung lingkungan seperti parkir. Sementara, banyak lahan di sekitar Manggarai yang dipakai warga.
Bukan hanya penertiban lahan yang butuh waktu. Namun, penyediaan pemukiman (relokasi) untuk mengganti hunian yang ditertibkan juga butuh waktu. Artinya warga harus disediakan pemukiman terlebih dulu. Penertiban lahan memang bukan tanggung jawab Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Meski begitu, urusan penertiban ini berkaitan dengan warga DKI Jakarta.
Untuk mewujudkan Stasiun Manggarai sebagai stasiun pusat perlu dukungan Pemprov DKI Jakarta. Lantaran, Pemprov juga mendapat keuntungan dari adanya stasiun tersebut. Jakarta memiliki bangunan stasiun yang megah dan luas.
Persoalan lahan ini penting untuk disikapi serius karena berpengaruh pada daya dukung operasional Stasiun Manggarai itu sendiri. Untuk menjadi stasiun besar paling tidak Stasiun Manggarai memiliki lahan parkir seluas Stasiun Gambir. Juga ada layanan Bus Bandara dan Bus Damri ke Lampung.
Di sisi lain, memang perlu kerja ekstra untuk mengatur arus penumpang yang begitu besar di saat jam sibuk dan semua ingin cepat. Namun perubahan harus tetap berlangsung. Tidak hanya penumpang yang melakukan penyesuaian, masinis KRL pun turut melakukan penyesuaian dengan adanya perubahan seperti sekarang ini. ***
Penulis adalah Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat