Connect with us

Feature

Hikmah Tiga Bocah di Taman Candika

Published

on

Taman Cadika sarana ruang tempat bermain, camping Pramuka dan Olah raga di Jalan Karya Wisata, Medan Johor, Sumatera Utara. (Foto Monang Sitohang)

Jayakarta News – Langit pagi hari itu tertutup mendung. Bumi pun sedikit gelap karenanya. Sedangkan, angin leluasa bertiup meliuk menerbobos dan menggoyangkan dahan dan dedaunan, mulai dari yang ada di tepi jalan hingga yang ada di pekarangan rumah. Apakah ini pertanda hujan akan turun? Hingga aku pulang ke rumah dan menuliskan kisah ini, tak setetes pun air hujan jatuh dari langit.

Suasana itu tidak menjadi halangan buatku berolah raga. Ini sebuah tradisi menjaga kesehatan. Bisa jadi, ini sebuah kepatuhan akan pepatah, “lebih baik menjaga daripada mengobati”. Yang kulakukan adalah jogging, sebuah olahraga murah dan santai, cukup berjalan dan sesekali berlari kecil, kemudian berjalan kaki lagi. Kurang dari satu jam yang melakukannya di lokasi-lokasi yang kuanggap nyaman.

Untuk daerah sekitar Medan Johor yang menjadi pilihan tempat berolahraga atau jogging biasanya di Taman Cadika. Setiap pagi, terutama hari libur, tempat itu diramaikan manusia-manusia penggemar olga. Ada yang datang sendiri, ada yang bersama teman, ada juga yang bersama keluarga. Jika diperhatikan, pengunjung Taman Candika ternyata juga ada yang sekadar nongkrong, atau bahkan memancing di kolam taman.

Apa pun aktivitasnya, Taman Candika memang nyaman. Selain luas tempatnya, juga rimbun karena banyaknya pepohonan. Di dalamnya, masyarakat bisa bermain bola, bersepatu roda, dan aneka aktivitas untuk anak.

Salah satu sarana permainan anak-anak yaitu perosotan di Taman Cadika. (Foto Monang)

Hari itu, di tengah-tengah menikmati Taman Candika, sambil duduk meluruskan kaki, mata tertuju pada aktivitas yang terjadi di tempat permainan anak-anak. Di sana terlihat ada tiga orang anak usia enam tahunan. Mereka berseragam, satu perempuan, dua laki-laki. Bersama mereka, ada seorang ibu yang tampak tekun mengawasi aktivitas ketiga bocah. Pagi itu, mereka sedang main perosotan.

Mataku tak lepas dari tingkah laku mereka. Satu anak perempuan berkaca mata, sambil berjalan lincah melangkah menginjakkan kaki menuju ke atas sambil memegang besi penyangga, kemudian disusul satu anak laki-laki dengan postur lebih kecil, dan anak ketiga yang berkulit putih dan berpostur paling tinggi, bergerak lebih lambat.

Penasaran dengan keberadaan mereka, aku mendekat dan melihat dari dekat. Ternyata, ketiga anak ini memilki masalah dengan penglihatan. Satu anak perempuan menggunakan kacamata tebal terlihat penglihatannya samar-samar, kemudian anak kedua yang laki-laki memilki dua mata lengkap, tetapi ternyata hanya satu yang berfungsi, sebelah kiri. Sedangkan, anak laki-laki ketiga, lebih menyedihkan, karena kedua matanya nyaris tidak berfungsi sama sekali.

Penulis, jogging di Taman Candika, Medan. (foto: ist)

Menyaksikan mereka, siapa pun akan tersentuh hatinya. Iba rasanya. Lebih mengharukan, justru ketika melihat mereka bermain-main penuh tawa, seperti tidak mempersoalkan kekurangan yang ada pada dirinya. Itukah yang sering orang katakan, “terima dengan ikhlas apa pun keadaanmu, maka kamu akan bisa menjalani hidup dengan tetap bersemangat.”

Seperti semangat yang meluap-luap ketiga anak dengan kekurangan pada indra penglihatan, di Taman Candika, pagi hari itu. Di bawah bimbingan guru pengasuh yang begitu sabar dan tekun, mereka bersuka-cita di tengah kekurangan yang ada pada raganya. Sesekali, ibu guru pengasuh memberi tepuk tangan, ketika anak-anak asuhnya berhasil melewati rintangan.

“Anak-anak pegang tangganya yaaa… yang sebelah kiri. Hati-hati mijak talinya dan melangkah lalu naik terus, kemudian awas sebelah kiri ada besi tundukan kepalanya dan ada lubang masuk maka terselonjorlah ke bawah,” begitu aba-aba yang disampaikan ibu pengasuh kepda ketiga anak itu.

Begitu berlanjut sampai tiga kali. Pada pengucapan aba-aba yang ketiga, satu di antara tiga anak itu menyela, “Iya bu, saya sudah tahu.”

Tuhan Maha Kuasa. Di tengah kekurangan yang diberikan, Tuhan juga memberi kelebihan pada sisi yang lain. Daya ingat mereka sungguh luar biasa. Setiap petunjuk atau arahan guru pengasuh, hanya diulang satu-dua kali, selanjutnya mereka sudah hafal luar kepala. Begitulah, aku larut dalam aktivitas bermain tiga anak dengan keterbatasan pandang.

Saat hari merambat siang, aku pulang. Kurasa, hari itu bukan hanya kebugaran tubuh yang kudapat, tetapi juga kesejukan batin, karena Tuhan berkenan memperlihatkan kuasaNya langsung di hadapanku, melalui tiga bocah dengan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Kufurlah aku jika aku tak bersyukur. (monang sitohang)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *