Connect with us

Kabar

Denny Dirk, Membangun Harapan di Kampung Cina Bogor

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Hati Denny Dirk menjerit. Jiwanya meronta menyaksikan kehidupan anak-anak usia sekolah di sekitar tempat tinggalnya, Kampung Cina, Bogor. Nyaris semua anak tidak mengenal pendidikan, tidak mampu membaca dan menulis. Sudah usia kelas 2 SD misalnya, memegang alat tulis pun belum bisa dengan benar. Apalagi menulis huruf dan membentuk kata.

Pria bernama lengkap Dirk Frans Alfonso Sahetapy ini memperhatikan  pola hidup di Kampung Cina,  hanya berputar sekitar lahir, tumbuh, bekerja dan menikah. Bahkan, banyak yang belum cukup usia dan tidak bekerja, tapi sudah dinikahkan orang tuanya. Jika kehidupan seperti itu, terus menerus, bukankah ini hanya akan  memperpanjang rantai kebodohan, pikir pria yang akrab dipanggil  Pak Denny ini.

Denny menetap di Kampung Cina, sejak 2005, setelah ia menikahi Merlita Misseyer tahun 2000. Keduanya mempunyai ‘panggilan’ yang sama, yaitu mengabdikan diri dalam pelayanan kerohanian. Keluarga dari orang tua Merlita menetap di Kampung Cina. Itu sebabnya, pasangan ini, memilih Kampung Cina sebagai tempat tinggal mereka.

Sebagian siswa SD, SMP, SMK foto bersama setelah Upacara 17 Agustus 2021 di halaman sekolah Sinar Kasih (foto:istimewa)

Ia memperhatikan pendidikan para warga sebagian besar tamatan SD. Menurutnya, pendidikan bagi masyarakat di sekitarnya belum menjadi hal yang penting. “Mereka belum menganggap sekolah itu penting. Akibatnya kebanyakan orang tua  tidak menyekolahkan anaknya sesuai usia sekolah mereka. Ada yang masuk SD tetapi belum layak mengikuti pelajaran SD,” kisah Denny kepada Jayakarta News, awal November 2021 di Sekolah Sinar Kasih, Kampung Cina, Tajurhalang, Kabupaten Bogor.  

Prihatin, Murid SD Rasa TK

Tahun 2007 Denny mendapat kesempatan mengajar kelas 2 SD di sekolah swasta yang tidak jauh dari rumahnya. Di sana hanya ada satu sekolah yang terdekat dengan lingkungan. Denny mengajar di tempat itu selama dua tahun.

Selama mengajar, dia melihat banyak muridnya belum layak berada di kelas itu. Menurutnya, anak-anak usia SD ini ternyata belum siap masuk SD. “Mereka belum bisa pegang pensil dengan benar, belum bisa membaca dan menulis huruf misalnya, sehingga menimbulkan  kesulitan untuk guru-guru SD memberikan pelajaran,” ujar Denny mengenai pengalamannya mengajar selama dua tahun di sekolah tersebut.

Denny harus mengajar mereka bagaimana layaknya mengajar anak TK. “Kita harus ajar mereka seperti dari TK lagi, bahkan sampai mengajar bagaimana memegang pensil dengan benar,” ujarnya.  

Baris pagi setiap hari sebelum masuk kelas (foto:istimewa)

Denny prihatin melihat kondisi tersebut. Anak-anak tidak mendapat pendidikan selayaknya di usia mereka. Menurutnya, ini disebabkan faktor orang tua yang belum menganggap penting pendidikan di usia dini.

Faktor ini juga disebabkan kondisi ekonomi keluarga yang sangat pas-pas-an.  “Mereka seperti itu, juga disebabkan faktor ekonominya.  Mungkin karena menganggap pendidikan bukan hal yang utama, jadi mereka agak berat untuk mengeluarkan biaya pendidikan. Uang yang harusnya bisa untuk membayar sekolah, bagi mereka lebih penting untuk memberi makan atau memelihara ternak mereka yang bisa menjadi sumber keuangan keluarga,” papar Denny lagi.

Warga di Kampung Cina umumnya mencari nafkah dengan menjadi buruh di peternakan babi, atau mereka memelihara sendiri ternaknya beberapa ekor. Ada juga yang berdagang kecil-kecilan. Rata-rata warga tidak menyekolahkan anaknya.  Bahkan mereka sendiri, juga tidak mengecap pendidikan yang memadai.

Menurut Denny, dari 250 warga saat itu, sekitar tahun 2009,  yang mengenyam pendidikan hingga SMA hanya beberapa. “Yang kuliah, paling dua orang. Selebihnya hanya tamatan SD,” ujarnya.

Mula-mula Denny mengajak para orang tua untuk belajar. Mereka adalah para tetangganya. Dia mau memberikan waktunya untuk mengajar agar setidaknya mereka paham bahwa pendidikan itu perlu.

Tetapi respon yang didapat tidak sesuai dengan yang diharapkan. “Orang tuanya saja susah untuk diajak belajar. Apalagi suruh mereka untuk menyekolahkan anaknya dan lebih susah lagi kalau meminta mereka membayar uang sekolah anaknya. Tambah pusing mereka,” katanya serius.  

Kondisi ini lah yang membuat Denny berpikir, di tempatnya harus ada sekolah untuk anak-anak usia dini. Semula, ia meminta sekolah tempatnya mengajar untuk membuka TK agar anak-anak bisa dipersiapkan untuk masuk SD. Tetapi pihak sekolah itu menolaknya.

Kemudian dia berusaha mengajukan permohonan ke tempatnya melayani, sebuah Sinode Gereja. “Tetapi jawaban mereka, tidak sanggup karena biayanya besar,” ujar Denny.

Namun keinginannya sudah bulat. Ia akhirnya memutuskan untuk mendirikan sendiri sekolah untuk anak-anak usia dini. Bahkan ia ingin agar sekolahnya tidak berbayar. “Sejak awal, memang saya inginnya membangun sekolah gratis,” paparnya. Mungkin hal ini juga yang memberatkan pihak-pihak yang ditujunya lebih awal untuk membangun Sekolah TK gratis. Sementara umumnya, untuk masuk TK saja dibutuhkan biaya cukup besar.   

Siswa TK foto bersama para guru TK, 25 Juni 2021 saat acara kelulusannya. Kini, mereka kelas 1 SD di Sinar Kasih (foto:istimewa)

Namun Denny sudah bertekad membangun sekolah gratis. Tujuannya hanya satu, agar anak-anak di sekitar tempat tinggalnya bisa belajar tanpa membebani orang tuanya. “Mau jadi apa kalau orang tua tidak sekolah, anak juga tidak sekolah. Kan kasian,” tandasnya.

Ia juga memikirkan perkembangan kampungnya kelak. Jika warganya bertumbuh dan berkembang  tanpa pendidikan, bagaimana jadinya nanti. Jika anak-anak hanya tumbuh dengan pendidikan seadanya, kemudian saat remaja dinikahkan karena dianggap sudah layak, hal ini hanya memperpanjang rantai kebodohan.  

Ini kondisi yang sangat memprihatinkan baginya. Kebutuhan yang paling penting di tempat ini adalah pendidikan. Karena itu, dengan langkah berani, Denny pun mendirikan sekolah gratis sebagai upayanya menjawab kebutuhan pendidikan di tempat tinggalnya, yang kini menjadi kampungnya, yaitu Kampung Cina, Bogor.   

Langkah Berani Sekolah Gratis

Denny mendapat dukungan dari beberapa temannya yang juga menaruh perhatian untuk pendidikan. Mereka membentuk yayasan yaitu Yayasan Sinar Cahaya Kasih. Yayasan ini resmi berdiri pada  23 Maret 2010.  Denny Dirk sebagai Ketua Yayasan.

Dengan payung Yayasan Sinar Cahaya Kasih, berdirilah Sekolah Sinar Kasih pada Juli  2010. Sasarannya saat itu, anak-anak  yang layak masuk Taman Kanak-kanak. “Kami hanya berpikir, mereka bisa sekolah, dimulai dari Taman Kanak-kanak,” papar Denny.

Dibantu istri, Denny memberitahu warga sekitar agar bersedia mengirim anak-anak mereka untuk sekolah di tempatnya dan tidak perlu bayar uang sekolah. Gayung bersambut.  Sebanyak 52 siswa menjadi murid awal Sekolah Sinar Kasih. “Kami sangat bersyukur, ada 52 siswa bisa belajar saat itu. Terbagi dalam Kelompok Bermain,  Kelompok A dan Kelompok B,” ujar Merlita yang ikut berbincang dengan Jayakarta News.  

Tenaga pendidik saat itu, ada 5 guru. Merlita dibantu  teman-temannya Rosdiana Lase, Erlina Hulu, Ibu Aritonang dan Vivi Telaumbanua. Mereka mengajar di ruang kelas seadanya yaitu dengan memakai ruang ibadah Gedung Gereja Presbiterian Injili Indonesia Jemaat Antiokhia. Gedung gereja yang sederhana ini dibangun tahun 2004, tempat Denny melayani sebagai Pendeta.

Sebagian siswa SD dan SMP foto bersama para guru (foto:istimewa)

Ruang ibadah berukuran 5 meter x 9 meter itu dijadikan 3 bagian kelas dengan dibatasi papan triplek. Digunakan setiap hari Senin sampai Jumat. Kemudian Jumat sore, triplek dibongkar agar Sabtu dapat digunakan sebagai ruang ibadah anak-anak dan hari Minggu untuk ibadah umum. Setelah ibadah, ruangan kembali dibatasi dengan triplek-triplek, siap digunakan sebagai ruang kelas di hari Senin hingga Jumat.

Bantuan Demi Bantuan

Langkah berani Denny disambut beberapa pihak yang juga memberi perhatian untuk pendidikan. Diawali pembuatan akte yayasan yang serba gratis. Guru-guru yang tidak menuntut sejumlah bayaran. “Waktu kita mau mulai, uangnya belum ada lho,” kisah Merlita. Tetapi, mereka yakin, apa yang diperbuat dengan niat baik, pasti ada pertolongan Tuhan.

Mahasiswa Ukrida saat memberikan pelajaran kepada siswa kelas 2 SD (foto:istimewa)

Sepuluh hari sebelum TK berjalan, bantuan pertama didapat dari keluarga Soelaiman Pello, yang berkedudukan di Singapura dengan mengirimkan dana sejumlah Rp2.000.000. Bantuan ini lah yang digunakan untuk membeli berbagai keperluan sekolah, dari alat tulis sampai bangku dan meja belajar murid TK. “Saya ingat sisanya waktu itu, 500 ribu. Uang itu  kami berikan kepada guru-guru yang membantu sebagai tanda kasih untuk mereka di bulan pertama, masing-masing 150 ribu,” ujar Merlita dengan nada bergetar menahan haru.

Berjalan satu bulan, pada Agustus 2010 ada bantuan dari Yayasan Bina Mandiri atau  Gereja AbbaLove. Gereja AbbaLove mendukung untuk operasional sekolah atau hal-hal lain yang insidentil. Setiap bulan bantuan diberikan gereja AbbaLove ini. Namun, pada Desember 2021, mereka akan menghentikan bantuannya.  

Bantuan lain yang diterima Sinar Kasih, datang dari Tang Center, melalui Missionaris Seong KyongDk. Bantuan diberikan setiap bulan, sejak Oktober 2016, berlangsung  hingga saat ini. Pada tahun 2017, Tang Center memberikan bantuan membangun ruang kelas SD, sejumlah 6 kelas. Kemudian pada 2019, membangun ruang kelas untuk TK. Selanjutnya di tahun 2020, pembangunan ruang kelas SMP dan SMK.

Sementara itu, bantuan lain juga datang dari GKI Pondok Indah. Gereja ini memberi bantuan berupa perlengkapan kelas, seperti bangku, meja, lemari perpustakaan dan buku-buku perpustakaan. Bantuan GKI Pondok Indah sudah bejalan sejak 6 tahun lalu. Setiap tahun gereja ini mengirim bangku dan meja belajar di kelas, juga untuk guru sebagai tambahan dan memperlengkapi ruang-ruang kelas Sinar Kasih.

Sekolah gratis ini semakin lengkap dengan adanya bantuan dari Univ. Kristen Krida Wacana (UKRIDA) berupa program Kampus Mengajar sejak 3 tahun lalu. Kemudian, pada November 2021 dilanjut dengan kesepakatan kerjasama selama 5 tahun untuk program Kampus Mengajar ini.

Sekolah ini juga menerima bantuan dari pihak lain, yang tidak rutin. Sehingga Sinar Kasih bisa terus berjalan sampai sekarang dengan jenjang pendidikan dari TK sampai  SMK.

138 Siswa Belajar Gratis  

Diawali dengan sekolah TK, Sinar Kasih berjalan terus, walau banyak tantangan. ”Tidak mudah, banyak tantangannya,” kisah Denny. Seperti mengurus ijin sekolah. Atau ‘penolakan’ dari sekolah lain yang sejenis di wilayah tersebut.

Siswa SMP foto bersama para Guru (foto:istimewa)

Perlahan namun pasti, setelah murid TK lulus, dibukalah tingkat SD. Atas permintaan warga dan orang tua murid TK yang sudah lulus, maka pada Juli 2011 SD Sinar Kasih berdiri. “Jumlah siswa SD saat itu, hanya 6 orang,” ujar Denny lagi.

Setelah berjalan 3 tahun, Denny dan Merlita menyewa sebuah rumah warga di sekitar tempat tinggal mereka  untuk proses belajar mengajar murid SD. “Kami menyewa tempat,  selain karena tidak dapat menampung siswa yang ada saat itu, juga yang terpenting sebagai salah satu syarat mendapatkan ijin dari pemerintah.”

Untuk mendapatkan ijin operasional sekolah, bukanlah hal yang mudah. Ini pun penuh tantangan. “Cukup sulit dan memakan waktu yang panjang serta  tantangan yang cukup berat,” ujar Merlita agak terbata. Namun, pada akhirnya, perjuangan mendapatkan ijin pun berhasil.  TK mendapatkan ijin pada 2015 dan SD mendapatkan ijin di tahun 2019. Kemudian, September 2021, SD Sinar Kasih mendapatkan Akreditasi B.

Sekolah ini terus berkembang. Tahun 2019, SMP Sinar Kasih dibuka dengan jumlah siswa 14 orang. Tahun 2021, dibuka tingkat SMK jurusan TKJ (Teknik Komputer Jaringan) dengan 8 siswa.  

Telah 11 tahun Sekolah Gratis Sinar Kasih berdiri.  Unit yang diselenggarakan terus bertambah, dari TK sampai dengan SMK. Jumlah murid ada 138 anak, tersebar di TK 34 siswa, SD 65 siswa, SMP 31 siswa dan SMK 8 siswa. Dan, total guru 29 orang.

Jumlah murid yang belajar di sekolah ini telah menggambarkan bahwa  pendidikan sudah mulai menjadi bagian penting bagi penduduk Kampung Cina. “Sekarang ini, sudah banyak orang tua, jauh-jauh hari mendaftarkan anaknya untuk masuk TK disini,” ujar Merlita dengan suara riang.

Para Guru di Sekolah Sinar Kasih (foto:istimewa)

Ada 29 guru yang mengajar di sekolah gratis ini dengan dedikasi tinggi. Mereka berkomitmen dengan para murid. Mengajar dengan baik. Dan, tidak hitung-hitungan dalam hal pendapatan. Mungkin banyak orang akan tercengang jika melihat berapa setiap bulannya yang mereka dapat.

Setiap guru berbeda. Bahkan ada yang hanya mendapatkan Rp200 ribu per bulan sebagai pengganti transportnya. Tidak ada guru yang mendapatkan lebih dari satu juta setiap bulannya. Namun, semangat dan komitmen para guru jelas terlihat. Dan, ini tentu menjadi modal bagi para murid untuk menghargai  kesempatan belajar yang diberikan.   

Harapan Baru, Generasi Berpendidikan

Kampung Cina, kini bukan lagi kampung yang dihuni orang-orang tanpa mengenyam pendidikan. Kampung ini akan dipenuhi generasi penerus yang berpendidikan.  Seperti Tiara, Grace dan Amelia.  

Tiga remaja putri ini, sejak TK sudah belajar di Sinar Kasih. Kini mereka duduk di Kelas 9 (SMP Kelas 3). Semangat menyongsong masa depan terpancar jelas di wajah mereka.

Tiara misalnya, ketika berbicara mengenai cita-cita, ia menyatakan keinginannya menjadi dokter. Dengan paras cantik dan murah senyum,  ia mengakui sangat senang bisa mendapatkan pendidikan di sekolah ini. Jarak dengan rumahnya, tidak jauh dan tidak perlu membebani ekonomi orang tuanya. Sehingga tahap demi tahap  proses pendidikannya, bisa dilalui dengan baik.

Dalam usia remajanya, Tiara Octaviani, telah bertekad akan ikut mengabdikan dirinya di sekolah ini. Bisa dalam bentuk dana atau kehadirannya memberikan pelajaran.  Bahkan, di usianya saat ini, Tiara telah membuktikannya. Ia mencoba mempraktekan ilmunya untuk murid kelas 3 SD, yaitu  menolong mereka belajar bahasa Inggris.

Tiara (belakang) dan Grace (kaos hitam) mengajar Bahasa Inggris untuk kelas 3 SD setiap hari Rabu (foto:istimewa)

Begitu juga dengan Grace Sela Priskila Misseyer. Remaja yang akrab dipanggil Grace ini, bersama Tiara mengajar bahasa Inggris untuk murid kelas 3 SD. Dia merasa senang bisa mengenyam pendidikan di sekolah ini. Rumahnya tidak jauh dari sekolah, bahkan berdampingan. Pendidikannya pun tidak membebani ekonomi orang tua. Grace sangat berharap bisa mencapai cita-citanya sebagai dokter.

Amelia,  sama dengan para sahabatnya, Tiara dan Grace, dia pun bercita-cita menjadi dokter. Rumah yang tidak jauh dan tidak bayar apa-apa untuk sekolah, membuatnya bisa terus melanjutkan pendidikannya di tempat ini. Sementara diakuinya, orang tuanya hanya tamatan SD. Amelia tentu tidak ingin seperti orang tuanya.  Amelia bangga dirinya kini hampir menyelesaikan tingkat SMP. Dia bertekad akan terus giat belajar demi tercapai cita-citanya.

Sementara itu,  Ferdi (38),  orang tua murid merasa sangat bersyukur dengan adanya sekolah gratis Sinar Kasih. Diakuinya, dia hanya tamatan SD. Dia tidak mau jika anaknya tidak sekolah. Maka kesempatan sekolah gratis untuk anaknya, sangat disyukurinya. Ia telah menyekolahkan putranya di sekolah ini sejak TK hingga sekarang kelas 3 SMP.  “Saya mau anak saya sekolah. Jangan seperti saya,” ujar ayah dari murid bernama Daniel Julius Lei ini.

Dari kiri: Amel, Tiara, Grace dan Daniel mewakili generasi muda Kampung Cina yang punya cita-cita tinggi (foto:istimewa)

Tiara, Grace, Amelia dan Daniel, adalah contoh generasi muda Kampung Cina, Tajur Halang, Kabupaten Bogor saat ini. Bila diurutkan,  mereka adalah keturunan ke-8 dari generasi sebelumnya. Kampung Cina merupakan Perkampungan masyarakat etnis Tionghoa yang telah ada sejak 320 tahun lalu. Sebagian besar warganya adalah para  generasi penerus.

Melihat Tiara, Grace, Amelia dan Daniel, ini artinya melihat generasi baru di perkampungan ini. Mereka adalah generasi berpendidikan yang akan mengisi kampungnya dengan harapan baru. Melalui semangat Denny Dirk dan Merlita Misseyer yang membangun Sekolah Gratis Sinar Kasih, harapan baru telah nyata disini, di Kampung Cina ini.*** (Melva Tobing)  

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *