Connect with us

Ekonomi Kreatif

Meraup Rezeki Saat Pandemi

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Melawan pandemi Covid-19, masyarakat diimbau Work From Home (WFH) yaitu bekerja, berolahraga dan beribadah di rumah. Jangan kemana-mana kecuali penting, misalnya membeli lauk, mengambil uang di ATM atau urusan keluarga.

Menyikapi hal demikian, kalangan wartawan ada yang memanfaatkan waktu luangnya dengan menjual  kuliner lewat online. Shandy Gasela, yang acap menulis kritik dan esei film dan budaya di Kumparan.com, baru 8 hari mencoba jualan makanan lewat online.

Tepatnya, 27 Maret 2020 yang lalu, dengan mempromosikan empal gentong, nasi goreng kimchi, nasi goreng wagyu dan siwangbon (terasi bawang rebon). Shandy menjual produknya dari rumahnya di kawasan Andara, Jakarta Selatan.

“Yah..kecil-kecilan saja..skala rumahan,” kata ayah seorang anak yang berwajah tampan ini. Dengan modal pokok 1 juta rupiah, respon pasar cukup baik.

“Kami bisa dapat sehari 800 ribu rupiah. Ini lebih dari lumayan” katanya. Kalau ramai, Shandy dan isterinya bisa menerima 22 pesanan. Kalau sepi, dapat cuma 7 pesanan.

 “Yang pesan kebanyakan di lingkungan perumahan Andara. Tapi ada juga teman yang memesan lewat Gofood atau Grabfood dari kawasan Kuningan, Jendral Sudirman dan Gatot Subroto.

Siwangbon yang laris manis– foto dok shandy

Insan film ada yang pesan ? “Malah enggak ada. Ini kan baru mulai, step by step lah. Mungkin mereka banyak yang belum tahu,” tutur Shandy merendah.

Yang dipesan kebanyakan nasi goreng kimchi dan nasi goreng wagyu (pakai daging sapi empuk),” imbuhnya. Harga-harga kuliner dengan trade mark dirinya ini cukup terjangkau dalam suasana kritis ini : empal gentong Rp 25.000, nasgor kimchi Rp 19.500, nasgor wagyu Rp 25.000 dan 1 stoples siwangbon Rp 30.000.

Awalnya, ibu mertuanya yang dipanggil mbah Oen yang berasal dari Mandiracan, Cirebon  pernah ikut di rumah Shandy dan isteri selama 1,5 tahun. Mbah Oen acap memasak empal gentong, makanan khas dari Cirebon. Kemudian, Shandy memutuskan untuk mendaftar ke Gofood.

“Ketika anak saya pertama sudah bisa jalan, mbah Oen pulang ke desanya dan saya ambil alih. Ini untuk melanjukan usaha dari rumah dan empal gentong ini bisa dicicipi orang,” lanjutnya.

Usaha yang semula coba-coba ini akhirnya menjadi profesi. Shandy yang tak mengira, jadi ramai dan banyak pesanan. Apakah setelah situasi normal, jualan ini akan diteruskan ?

“Ya, kenapa enggak? Saya sudah berjuang dari bawah dari membeli bahan  makanan dan kemasan. Kalau saya sibuk, isteri bisa memasak dan menerima pesanan,” tandas Shandy yang masih aktif menulis.

Jamu Sejiwa produk Retno Hemawati–foto dok retno

Sedikit berbeda dengan Retno Hemawati, wartawati koran Media Indonesia. Retno mengkhususkan jualan jamu bermerek ‘Sejiwa’. Yang dijual adalah kunyit asem, gula asem, sambiloto, jahe wangi, rosella, jus kacang ijo, empon-empon, kejem (kencur, jahe, madu) berukuran setengah liter.

Harganya bervariasi antara Rp 20.000 sampai Rp 25.000. “Ihwal mahal atau murah, ini relatif. Saya ambil jalan tengah, pricing strategy,” lontar Retno.

Soal pesanan, lewat WA Retno. Boleh pesan sendiri, H-1 pesanan akan dikirim setelah pembayaran dan akan dikirim lewat grab (dikenakan ongkos kirim oleh pemesan).

“Kita memakai teknologi internet dan e-banking,” kata Retno yang masih melajang ini. Bahkan, untuk belanja botol, pesan stiker, bahan baku dll via marketplace.

“Kita gunakan konsep ‘win win solution’ dalam rangka mendukung UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah),” lanjut Retno. Berawal dari skala rumahan, dari sebuah ruang kecil di dapurnya. “Saya orangnya enggak bisa diam. Selalu ingin bergerak. Saya juga enggak suka nongkrong tapi suka berkreasi apa saja,” ujarnya.

Banyakkah teman-teman di kantor pesan?

“Ya, lumayan banyak teman di kantor di Kedoya pesan. Lama kelamaan banyak perusahaan yang dengar, misalnya ada launching produk atau peluncuran buku, EOnya pesan minuman jamu ke saya. Ini kan jamu enggak pakai pengawet, jadi untuk pemesan luar kota, belum bisa saya penuhi,” urai Retno.

Perempuan ulet ini ingin ‘business to business’, dalam arti saling menjaga kepercayaan. Kenapa lebih tertarik ke bisnis jamu, bukan makanan, Retno berkilah. “Awalnya saya menjual garang asem, arem-arem dan  setup buah. Lalu saya berpikir, investasinya terlalu lama. Kemudian, saya banting setir ke jamu. Dari bahan, kemampuan dan waktu serta pasarnya, ada. Cocok,” cerita Retno. Ya, bisnis jamu ini adalah sekoci saat masa krisis. Buat persiapan masa datang.

“Saya gembira saja menjalani bisnis ini. Saya enggak mau neko-neko, bahkan belum terpikir punya toko. Ada kerinduan kaum urban dengan minuman tradisional. Indonesia ini kaya rempah-rempah dan apa salahnya saya manfaatkan menjadi jamu penyehat tubuh” timpal Retno lagi.

Bisnis skala rumahan dengan merek Sejiwa ini kini makin mengembangkan sayap, selangkah demi selangkah. Pesan lewat online, bayar dimuka dan jamu akan dikirim dari Aneka Buana, Cirendeu, Tangsel. Semoga ‘teman jiwa’ (orang yang minum jamu Sejiwa) bisa temu jodoh (yaitu sama-sama suka minum jamu) di masa krisis ini. Bekerja, berkreasi dan minum jamu dari rumah. (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *