Kabar
Ketua MPR RI Bamsoet Raih Predikat Cumlaude Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
BANDUNG, JAYAKARTA NEWS – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad) Bandung dengan predikat cumlaude karena mendapatkan IPK 4.0. Ia berhasil mempublikasikan dua artikelnya di dua jurnal internasional terindeks Scopus, serta masa studi kurang dari tiga tahun.
Bamsoet berhasil mempertahankan disertasinya “Peranan dan Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) Sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan dalam Menghadapi Revolusi Industri 5.0 dan Indonesia Emas”, di hadapan 10 penguji.
Para penguji terdiri dari Ketua Sidang Rektor UNPAD Prof. Rina Indiastuti, Sekretaris Sidang Prof. Huala Adolf, Ketua Tim Promotor Prof. Ahmad Ramli dan Co Promotor Dr. Ary Zulfikar, dan Representasi Guru Besar Prof. I Gde Pantja Astawa. Serta Oponen Ahli yang terdiri dari Menkumham Prof. Yasonna H. Laoly, Menkopolhukam Prof Mahfud MD, Guru Besar Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra, Dr. Adrian E. Rompis, dan Dr. Prita Amalia.
Hasil penelitian menunjukan bahwa bangsa Indonesia sangat memerlukan PPHN sebagai pedoman untuk memastikan pembangunan nasional berjalan berkesinambungan pada setiap pergantian pimpinan nasional atau daerah, sehingga tidak ada pembangunan yang mangkrak dan uang negara rakyat yang terbuang sia-sia. Khususnya dalam menghadapi Revolusi Industri 5.0 dan Indonesia Emas yang penuh tantangan dan dinamika. Tanpa perencanaan jangka panjang yang matang, tidak mungkin Indonesia mampu mewujudkan Indonesia sejahtera, gemah ripah loh jinawi, tentrem kerto raharjo.
“Penelitian juga menemukan dua novelty atau temuan baru. Pertama, gagasan mengenai rekonstruksi GBHN menjadi PPHN tanpa amandemen. Kedua, rekonstruksi GBHN menjadi PPHN dapat dilakukan dengan berlandaskan pada konvensi ketatanegaraan delapan lembaga tinggi negara (Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MK, MA, dan KY) dengan penyesuaian beberapa ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Karena itu, menjadi lebih sempurna jika penjelasan pasal 7 ayat 1 UU No.12 tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No.15 Tahun 2019 dihapus. Sehingga kekuatan TAP MPR yang bersifat regeling (pengaturan) bisa hidup kembali sebagai bentuk hukum PPHN yang tidak bisa ditorpedo melalui Perppu ataupun di judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Bamsoet dalam paparannya di Sidang Terbuka Promosi Doktor Ilmu Hukum dari FH Unpad, di Bandung, Sabtu (28/1/23).
Selain Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Ketua DPR RI Puan Maharani, Panglima TNI Laksamana TNI Yudo Margono dan tiga Kepala Staf Angkatan yang hadir secara virtual menyampaikan ucapan selamat, turut hadir pimpinan lembaga negara dari tiga cabang kekuasaan, eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, semenjak kemerdekaan, Indonesia telah melalui dua periode pemerintahan, yaitu Orde Lama dan Orde Baru yang dalam pelaksanaan pembangunannya memiliki pola dan nama yang berbeda.
Pada masa Orde Lama pelaksanaan pembangunan dilakukan berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 1/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN, Ketetapan MPRS Nomor II/ MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-pedoman Pelaksanaan GBHN dan Haluan Pembangunan.
Pada masa Orde Baru pelaksanaan pembangunan dilakukan berdasarkan Ketetapan MPR tentang GBHN, dan untuk merealisasikan GBHN ditetapkan Rencana Pembangunan Lima Tahun yang terwujud dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Sedangkan sejak masa Reformasi hingga saat ini, TAP MPR ditiadakan sebagai dasar hukum dan GBHN tidak lagi dipraktekan sebagai instrumen pelaksanaan pembangunan, tetapi dilakukan berdasarkan undang-undang, dengan dibentuk UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang kemudian diturunkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Menengah, dan Pendek. UU SPPN dan UU RPJPN mengandung beberapa kelemahan, misalnya tidak mengatur keharusan kesinambungan pelaksanaan pembangunan manakala terjadi pergantian kepemimpinan di tingkat nasional hingga daerah.
“Akibatnya, setiap presiden, gubernur, hingga walikota/bupati terpilih memiliki paradigma pembangunannya masing-masing. Misalnya, Presiden Abdurrahman Wahid yang kemudian dilanjutkan Presiden Megawati Soekarnoputri menghasilkan peraturan perundangan yang menjadi konsep clean and good government. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghasilkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), serta Presiden Joko Widodo dengan Nawacita. Masing-masing paradigma tidak memiliki keterkaitan, sehingga pembangunan yang dilakukan antar periode pemerintahan terkesan tidak selaras dan tidak berkesinambungan,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menerangkan, keberadaan PPHN dapat menjaga kesinambungan pembangunan nasional karena mempunyai kekuatan hukum mengikat, meskipun terjadi peralihan kekuasaan lembaga eksekutif, yaitu presiden, termasuk juga lembaga legislatif yaitu MPR, DPR dan DPD, bahkan hingga di tingkat pemerintahan yang paling kecil yaitu desa.
Pengawasan pelaksanaan PPHN dapat dilakukan sesuai sistem ketatanegaraan menurut UUD NRI Tahun 1945. Mekanismenya dapat dilakukan oleh DPR RI berupa pengembalian RUU APBN untuk diperbaiki oleh pemerintah manakala tidak sesuai dengan PPHN.
“Kehadiran PPHN dapat membuat pembangunan nasional kembali menemukan roh dan jati dirinya sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan konstitusi. Sekaligus mengingatkan kita pada gagasan pentingnya perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dikemukakan oleh pendiri bangsa pada tahun 1947, sebagaimana terlihat dalam Tujuh Bahan-bahan Pokok Indoktrinasi, yang tujuannya adalah mewujudkan Indonesia yang maju, sejahtera, dan makmur.”
“Jika di tahun tersebut, Presiden Soekarno dan pendiri bangsa sudah mampu menggambarkan pentingnya pemanfaatan Nikel di Sulawesi, Emas di Papua, Gas Alam dan Timah di Sumatera, serta Batubara di Kalimantan, seharusnya saat ini kita juga harus mampu membuat perencanaan jangka panjang dalam memanfaatkan potensi kekayaan alam Indonesia untuk memakmurkan Indonesia,” pungkas Bamsoet.***/din