Kesehatan
Kanker Payudara Penyebab Kematian Tertinggi
KASUS kanker payudara menjadi penyebab kasus kematian tertinggi di Indonesia dengan angka kemarian 21,5 per 100.000 orang. Tingkat kematian akibat kanker dapat ditekan apabila terdeteksi dan ditangani semenjak dini, kata Ketua Umum Yayasan Kanker Payudara Indonesia, Linda Agum Gumelar.
Hal itu disampaikan Linda pada seminar nasional “Pemahaman tentang Payudara dan Terapi Psikologisnya” yang diselenggarakan Universitas Bhayangkara Jaya, Rabu (30/8/2017). Linda yang juga survival kanker payudara ini mengungkapkan, kanker payudara merupakan kasus kanker paling tinggi di antara jenis kanker lainnya yang penderitanya menjalani rawat inap di rumah sakit Indonesia. Prosentase kasus kanker ini pada wanita mencapai 43,1%, disusul kolorektal 14,3%, kanker leher rahim 14%, kanker paru 13,6%, kanker korpus uteri 8,3%, kanker perut 5,7% dan kanker ovarium 3,8%.
Belum tersebarnya informasi mengenai kanker payudara dan kanker lainnya secara merata, lanjut mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu, menjadi salah satu penyebab terlambatnya deteksi adanya kanker. “Jadi, ketika datang ke dokter sudah stadium lanjut,” katanya.
Menurut Linda, yang tidak kalah pentingnya dalam pengobatan adalah dukungan psikologis dari keluarga dan lingkungannya, agar penderita tetap bersemangat. “Jangan ketika ngobrol dengan penderita bicara tentang bagaimana kemoterapi menyebabkan rambut rontok, leher lengket. Itu bikin down,” kata Linda.
Linda menilai, sangat tepat kalau kemudian Universitas Bhayangkara Jaya mendiskusikan kanker payurara bukan hanya pada aspek medisnya saja tetapi juga ditilik dari aspek psikologinya. Linda mengaku beruntung, karena suami dan seluruh keluarganya sangat mendukung dan menyemangatinya untuk sembuh.
Dia menambahkan, Yayasan Kanker Payudara Indonesia memberikan layanan pemeriksaan mammografi melalui unit mobil kelilingnya secara gratis. Pada tahun 2016 lalu, dari 2.515 (14,8) perempuan yang memeriksakan, sebanyak 372 orang terdeteksi memiliki tumor jinak dan 29 (1,2%) orang lainnya dicurigai ada tumor ganas (kanker). Untuk tahun 2017 hingga Juli, dari yang 1.368 orang yang diperiksa 201 orang (14,75%) ada tumor jinak dan 20 orang (1,5%) ganas. “Berarti ada peningkatan, karena ini baru sampai bulan Juli,” tandasnya.
Dokter Walta Gautama Sp B (K) Onk yang menjadi pembicara pada seminar itu menduga, kanker payudara dan jenis lainnya merupakan fenomena gunung es. Data seperti yang diunjukkan Linda, hanya sebagian kecil, karena hanya menyangkut orang yang dengan kesadarannya memeriksakan diri. Mereka yang belum terjangkau informasi kanker, tidak memeriksakan diri.
Linda berharap, ada terobosan baru dari BPJS Kesehatan untuk penderita kanker. Sifat berjenjang dalam penanganan pasien, menyebabkan terlambatnya penanganan terhadap penderita kanker. “Ketika sampai ke dokter spesialis, sudah parah. Ya, karena kanker sering kali cepat menyebarnya,” ujar Linda.
Yayasan Kanker Payirara Indonesia menurut Linda, selain memberikan layanan pemeriksaan secara gratis, juga memberikan dukungan lain kepada penderita kanker payudara yang menjalani pengobatan di RS Kanker Dharmais, Jakarta. Pihaknya menyediakan rumah singgah dengan cukup memberikan kontribusi biaya kebersihan Rp 15.000 per hari. Bukan hanya untuk pasien, tetapi pengantarnya juga bisa menginap di rumah singgah yang beralamat di Jl Anggrek Neli Murni A 38 ittu. Lokasinya cukup dekat dengan RS Kanker Dharmais.
Rektor Ubhara Jaya Bambang Karsono berharap, seminar ini memberi kontribusi yang penting bagi masyarakat akan pemahaman kanker payudara. Materi seminar ini sangat penting diketahui oleh para ibu-ibu dan mahasiswi, tandasnya.