Feature
Indahnya Pemandangan Pusuk Buhit di Pagi Hari, Kabut yang Berangsur Hilang

MEDAN, JAYAKARTA NEWS – Setelah melewati simpang Sidikalang, lima kilometer menuju kawasan Kabupaten Samosir, tepatnya sebelum memasuki persimpangan Tele atau Menara Pandang Tele, perlahan suhu udara tinggi berubah menjadi suhu rendah, dan mulai terasa menembus lapisan jaket, baju, kulit badan, dan tubuh agak menggigil, mungkin karena tak biasa tinggal di daerah dataran tinggi yang bersuhu rendah. Pagi itu menunjukkan Jam 06.05 WIB.
Kendaraan pribadi roda empat mulai mengurangi kecepatan, perlahan belok kiri memasuki kawasan Tele melewati Menara Pandang Tele, menuju Pangururan Ibukota Kabupaten Samosir, dan bisa menuju sejumlah desa perkampungan penduduk sekitarnya.
Kendaraan melaju antara 20 sampai 30-an kilometer per jam, sesekali melaju 10 kilometer per jam dan bahkan lebih melambat saat di tikungan, dalam jarak pandang sekitar 15 meter ke depan terhalang kabut. Sang sopir, sangat berhati-hati nyetir kendaraan menuruni pebukitan Tele, landai, berbelok, meliuk dan mengitari ke arah bagian ujung bawah pebukitan.
Tampak dedaunan basah bukan karena rintik hujan, tapi lebih kepada fenomena cuaca yang berproses secara alami, titil-titik air di atas permukaan dedaunan, orang mengatakan itu embun pagi. Kaca mobil pun terimbas si embun pagi, wiper diaktifkan, dan bersamaan sang sopir menyeka/usap-usap kaca bagian dalam mobil sehingga pandangan terlihat lebih terang dan menambah perasaan lebih nyaman.

Mobil berpenumpang tujuh orang itu, turun menjelajah pebukitan Tele bak ular melingkar, mendekati Menara Pandang Tele, mulai terlihat di kejauhan bentangan panorama alam Danau Toba, sejumlah perkampungan penduduk, dan Gunung Pusuk Buhit tak jauh atau serasa di depan mata.
Seakan ada yang kurang bila kesempatan itu tak diabadikan, dengan mengenggam handphone dari hand bag dan posisi kamera ON, jepretan kamera tertuju ke Pusuk Buhit yang ‘berselimut’ kabut, puncak bagian atas gunung tertinggi di Kabupaten Samosir itu nyaris tertutup kabut.
Di sebagian perkampungan penduduk di lereng gunung, seperti perkampungan di sekitar Desa Limbong, Sianjur Mulamula dan Sagala, tak luput berkabut. Persis di bagian atas “kepala” perkampungan, seakan tertimpa kabut, rumah-rumah penduduk hampir tak terlihat mata.
Kondisi jalanan masih sunyi sepi, kendaraan roda empat pun baru terlihat satu persatu datang dari arah bawah menanjak lambat menuju Puncak Tele, dan sebaliknya dari arah Puncak Tele satu – dua kendaraan turun menelusuri jalan, jalan yang berada diantara pepohonan rimbun. Dan sekitar Jam 6.30 WIB, saat melintas di Menara Pandang Tele, juga terlihat belum ada aktifitas alias masih sepi.
Meskipun rasa kantuk datang, namun fokus mata tetap tertuju ke arah Pusuk Buhit dan perkampungan di sekitar bawah gunung tersebut. Dari sekedar pengamatan kasat mata, kelihatannya terjadi perubahan pada kabut, sekitar satu jam sebelumnya kabut yang “menyelimuti” Pusuk Buhit dan menutup bagian atas perkampungan, sedikit demi sedikit berangsur-angsur pecah.

Seiring matahari “genit” muncul di ufuk timur, terjadi peningkatan suhu udara, perlahan kabut tebal menguap mengikuti panasnya matahari dan kembali menjadi gas, seterusnya kabut sirna, sehingga suasana terang. Karenanya, sebagian rumah-rumah warga di perkampungan dalam wilayah Limbong, Sagala, Sianjur Mulamula dan Pusuk Buhit mulai terlihat lebih jelas, sebelumnya buram.
Cerita singkat perjalanan delapan tahun silam dari Kota Medan melewati Puncak Tele sampai persimpangan Gotting itu, hanya gambaran sekilas menikmati pemandangan alam dari dalam mobil, air Danau Toba tenang, Gunung Pusuk Buhit dan perkampungan di sekitarnya dalam suasana di pagi hari, mengisyaratkan kedamaian. Biasanya kalau sengaja liburan, selalu tiba di kampung menjelang petang.
Dan tak jarang kabut juga datang di sore hari. Tapi suasananya berbeda dengan kabut di waktu pagi, lebih sejuk, jalanan sunyi sepi dan aktivitas tak ramai. Tanpa terasa lelah, sekitar Jam 08-an WIB, mobil yang kami tumpangi berhenti di Huta Siganjang, tempat almarhumah dimakamkan. (Monang Sitohang)