Connect with us

Kabar

Catatan Hari Anak Nasional di Masa Pandemi

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Pandemi Covid-19 di Indonesia sudah berlangsung selama 16 bulan lamanya, sudah dua kali perayaan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh setiap 23 Juli 2021dirayakan secara daring. Selama 16 bulan juga, anak-anak Indonesia mengalami pembatasan aktivitas bermain belajar dan bersosialisasi dengan teman sebaya.

“Ada beberapa catatan kondisi anak Indonesia selama pandemic yang saya dapatkan dari berbagai pengawasan yang dilakukan, seperti kesiapan dan ujicoba Pembelajaran Tatap Muka (PTM), angka putus sekolah yang meningkat, dan layanan kesehatan terutama vaksinasi”, ujar Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan.

Retno menambahkan,”Saya juga melakukan pemantauan di media social maupun media massa terkait banyak anak-anak yang kehilangan salah satu orangtua, bahkan kedua orangtuanya karena Covid-19, misalnya kasus ananda Vino, anak tunggal, kelas 3 SD yang kehilangan kedua orangtunya hanya dalam selisih 1 hari saja. Ibunya yang hamil 5 bulan dan memiliki komorbid asma meninggal pada 19 Juli, sehari kemudian ayahnya juga meninggal. Vino yatim piatu setelah kedua orangtuanya meninggal karena Covid-19”.

Adapun catatan dalam rangka peringatan HAN di masa Pandemi adalah sebagai berikut :

Pertama. Pemerintah Daerah terus berupaya memenuhi infrastruktur adaptasi kebiasaan baru (AKB) di satuan pendidikan, termasuk pendampingan lapangan, namun focus utama umumnya di sekolah-sekolah atau madarasah-madrasah negeri. Hasil pengawasan menunjukkan bahwa 79.8% sekolah/madrasah yang diawasi siap pada infrastruktur dan SOP/Protokol Kesehatan AKB. Bahkan, ada sebagian kecil pemerintah daerah yang melakukan pelatihan bagi para pendidiknya untuk pelaksanaan PTM nantinya, misalnya Dinas Pendidikan DKI Jakarta;

Kedua, Pemerintah Daerah juga menggalakkan vaksinasi covid-19, baik di kalangan pendidik (sejak April 2021) dan di kalangan peserta didik mulai Juli 2021. Hal ini juga sebagai upaya membentuk kekebalan komunitas, sehingga diharapkan ketika warga sekolah sudah di vaksin sebanyak 70% maka sekolah tatap muka dapat digelar dengan aman. Hanya sebagian kecil pendidik yang menolak di vaksin, namun ada juga pendidik yang memang tidak bisa di vaksin. Begitupun vaksinasi untuk peserta didik, ada orangtua yang menolak anaknya divaksin dengan merek vaksin tertentu, padahal hanya merek itu yang tersedia;

Ketiga, Program vakinasi anak usia 12-17 tahun yang dilakukan pemerintah daerah dengan membangun sinergitas antara Dinas Pendidikan dengan Dinas Kesehatan setempat membuat program vaksinasi berjalan efektif, meskipun capaiannya rata-rata baru sekitar 70%. Pencapaian tersebut terjadi dikarenakan cukup banyak peserta didik yang sedang menjalani isolasi mandiri, bahkan ada sebagian kecil yang di rawat di rumah sakit, ada juga anak-anak yang belum 3 bulan sejak terinfeksi covid 19, dan ada anak-anak yang orangtuanya tidak mengijinkan anaknya divaksin dengan merek vaksin tertentu;

“KPAI sudah melakukan pengawasan ke sentra-sentra vaksin sekolah di DKI Jakarta, misalnya di SMPN 30 Jakarta, SMPN 270 Jakarta, dan SMAN 22 Jakarta, bahkan sentra vaksin di Pulo Gadung Trade Center (PGC)”, ujar Retno.

Keempat, Pandemi meningkatkan anak-anak yang putus sekolah karena alasan ekonomi, diantaranya karena tidak mampu membayar SPP selama berbulan-bulan lamanya, tidak memiliki alat daring, terpaksa harus bekerja membantu orangtuanya, dan bahkan memutuskan menikah di usia anak.

“Tahun 2020 ada 119 kasus anak putus sekolah karena menikah dan pada tahun 2021 (April 2021) mencapai 33 kasus. Padahal Pemerintah sedang menurunkan angka perkawinan anak.

Kelima. Pandemi Covid-19 telah muncul sebagai krisis atas hak anak. Anak-anak kehilangan orang tua dan pengasuhnya karena virus Covid-19, membuat mereka sangat rentan dan tanpa pengasuhan orang tua. Jika merujuk pada kasus Corona di India per data 5 Juni 2021 usai kasus Covid melonjak di India, sebanyak 3.632 anak menjadi yatim piatu karena kedua orangtuannya meninggal akibat Covid-19. Kemudian 26.176 anak yang kehilangan salah satu orangtuanya karena covid-19. Data serupa bisa saja menimpa anak-anak Indonesia pasca lonjakan kasus Covid di Indonesia dua bulan terakhir.

Keenam, Layanan dasar pendidikan berupa pemberian imunisasi dan vaksin (polio, hepatitis B, dll) pada anak-anak balita menurun sejak pandemic covid-19, hal ini disebabkan para orangtua khawatir membawa anak-anaknya tertular Covid-19 jika di bawa ke fasilitas kesehatan. Pemberian imunisasi dasar dan vaksin pada anak-anak harus terus diberikan bahkan ditingkatkan agar anak-anak memiliki kekebalan, hal ini juga untuk mencegah wabah lain muncul setelah pandemic Covid-19.

Rekomendasi

  1. KPAI mendorong Pemerintah Daerah memastikan pemenuhan hak anak-anak yang kehilangan orangtuanya tersebut, seperti pemenuhan keberlangsungan hak atas pendidikannya, memastika anak-anak tersebut dalam pengasuhan oleh keluarga terdekat, hak pemenuhan kesehatannya, dan sebagainya. Pengasuhan anak yang kehilangan orangtunya akibat Covid-19, harus dipastikan pengasuhannya dilakukan oleh kerabat/keluarga besar mereka, Panti asuhan seharusnya menjadi pilihan terakhir. Penanganan ini tentu memerlukan kehadiran Negara serta dukungan APBN dan APBD demi kelangsungan hidup dan masa depan anak-anak yang masih di bawah umur;
  2. KPAI mendorong pemerintah dan pemerintah daerah melengkapi Imunisasi dasar untuk Balita dan anak-anak, karena program imunisasi pada anak menurun selama pandemi, sehingga bisa memicu wabah lainnya. Program Pemerintah Indonesia dalam pembangunan kesehatan bukan masalah Covid-19 saja, tapi program rutin lain terkait anak tidak boleh diabaikan.
  3. KPAI mendorong Pemerintah dan pemerintah daerah Percepatan program vaksinasi anak usia 12-17 tahun, agar segera terbentuk kekebalan komunitas, termasuk kekebalan di lingkungan satuan pendidikan ketika PTM digelar kedepannya.
  4. KPAI mendorong Pemerintah dan Pemerinmtah daerah untuk memberikan beasiswa dan fasilatas belajar daring sehingga anak-anak yang putus sekolah karena alasan ekonomi, diantaranya karena tidak mampu membayar SPP selama berbulan-bulan lamanya, tidak memiliki alat daring, terpaksa harus bekerja membantu orangtuanya, dan bahkan memutuskan menikah di usia anak. Dapat dicegah.***/ebn
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *