Connect with us

Kabar

Audit BPK Pencegah Kebocoran Uang Negara

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Tindak pidana korupsi di Indonesia masih tetap menjadi momok yang menakutkan. Berbagai upaya dilakukan. Sejumlah aturan atau undang-undang  diterbitkan untuk meminimalkan kejahatan yang merongrong perjalanan bangsa ini.

Hasilnya, masih sangat tidak memuaskan. Bukan semakin berkurang, malah dari tahun ke tahun semakin bertambah.

Indonesia Corruption Watch (ICW)  mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 1.218 kasus dengan 1.298 terdakwa. Kerugian negara mencapai Rp56,7 triliun ditambah tindak pidana suap Rp322,2 miliar. Sementara pidana tambahan uang pengganti yang ditetapkan pada para  terdakwa  itu hanya sebesar Rp19,6 triliun dan total nilai denda hanya Rp156 miliar. Ada perbedaan menyolok antara total kerugian dengan pidana tambahan uang pengganti. Selain itu hukuman badan atau kurungan penjara pada terpidana kasus korupsi juga masih terlalu ringan. Rata-rata pidana badan untuk 1.298 terdakwa itu hanya 3 tahun 1 bulan.

Tidak aneh kalau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada  tahun 2020 alami penurunan tiga poin dibanding tahun sebelumnya. Jika sebelumnya  berada di skor 40, saat ini turun ke angka 37. Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara terkorup.

Bicara soal  mekanisme pengawasan alokasi dan penggunaan keuangan negara, sebenarnya sudah dilakukan dengan  sangat ketat dan berlapis. Pertanyaannya, kenapa masih ada saja kebocoran dan korupsi yang dilakukan atau pun melibatkan aparat negara?

Menariknya, saat ini korupsi  tidak hanya karena aspek pelanggaran prosedural mau pun administrasi yang mudah dilacak, tetapi sudah bergeser ke tindakan di luar dari proyek atau pun program pemerintah secara langsung.

Misalnya melakukan manipulasi harga atau pun pencurian dana proyek secara langsung. Caranya dengan menggunakan pengaruh atau pun wewenang untuk mendapatkan dana yang tidak langsung pada penyelenggaraan proyek tersebut.

Ada lagi konflik kepentingan, salah satu  faktor yang dapat mendorong pelaku untuk menyalahgunakan kewenangan atau kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain dengan menabrak aturan.

Sebut saja  kecurangan  tidak langsung dalam penentuan lelang, skema pembelian pengadaan barang dan jasa, suap, pemberian ilegal sampai pada pemerasan atau pun ancaman untuk tidak mendapat proyek lagi.

Tindak kecurangan ini sering juga disebut sebagai fraud, sehingga dikategorikan sebagai kejahatan karena dapat dituntut.

Sanksi hukuman yang ditetapkan  juga dinilai tidak membuat jera untuk para koruptor. Sanksi hukuman yang ada dalam sistem pengadilan di Indonesia sangat tidak membuat jera pelaku korupsi. Bahkan koruptor dapat melakukan perhitungan “untung-rugi” sebelum melakukan tindak korupsi. Sayangnya sanksi berupa pemiskinan, di mana  semua aset koruptor disita sehingga tidak ada  yang tersisa, belum sepenuhnya dilakukan.

Sudah waktunya hukuman penjara badan ditinjau sehingga  menimbulkan efek jera. Sanksi hukuman pemiskinan, sita habis semua aset koruptor dan sanksi sosial-politik dijalankan. Para koruptor tidak boleh mengikuti semua kesempatan untuk menjadi pejabat publik  di semua tingkatan dan tidak boleh mengikuti lelang semua projek dengan dana negara.

Istilah korupsi pertama sekali hadir di khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak  16 Agustus 1999 digantikan  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Melihat perkembangan peraturan pemberantasan korupsi harusnya ini merupakan cerminan niat yang kuat untuk meminimalkan tindak kejahatan ini. 

Peran Audit BPK

Di Indonesia, satu-satunya lembaga yang bertugas melakukan kegiatan audit Laporan Keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Melihat Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Instansi ini bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan  Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Peran BPK dalam 15 tahun terakhir ini bisa dilihat dari rekomendasi yang dihasilkan. Tercatat   560.521 rekomendasi yang diberikan untuk mendorong pemerintah, BUMN/BUMD dan badan lainnya bekerja lebih tertib, hemat, efisien  dan efektif. Dari seluruh rekomendasi,  416.680  (74,3%) telah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi. Secara kumulatif sampai dengan 2019, rekomendasi BPK atas hasil pemeriksaan periode tahun 2005 sampai dengan 2019 telah ditindaklanjuti entitas dengan penyerahan aset dan/atau penyetoran uang ke kas negara/ daerah/ perusahaan sebesar Rp106,13 triliun. 

Sejumlah Undang-undang (UU) yang menjadi dasar hukum BPK dalam melaksanakan tugas memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara. Antara lain Pasal 23 Bab VIII UUD 1945), Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1973, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945  Bab VIII A Pasal 23 E, Pasal 23 F, dan Pasal 23 G, Undang-undang  Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK (pengganti UU Nomor 5 Tahun 1973 tentang BPK), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara serta Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Selain BPK, negara juga mempunyai APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah) yang terdiri dari BPKP, Inspektorat dalam masing-masing tingkatan mulai dari Kementerian, Provinsi dan Kabupaten/kota yang mempunyai fungsi pengawasan intern mulai dari proses audit, review, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi kepemerintahan yang menggunakan uang negara sesuai dengan indikator pengawasan ketat yang telah ditetapkan. Sementara auditor eksternal diperankan  BPK.

Intinya,  BPK dapat memanfaatkan hasil pengawasan APIP terutama dari hasil review atas laporan keuangan pemerintah, mendukung manajemen pemerintah daerah dalam pelaksanaan rekomendasi BPK dan perbaikan sistem pengendalian internal. APIP yang profesional dan independen mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan yang dapat meningkatkan kewajaran laporan keuangan.

Kegiatan audit adalah salah satu komponen strategi pembersih korupsi. Di Indonesia, satu-satunya lembaga yang bertugas melakukan kegiatan audit Laporan Keuangan negara adalah BPK.

Sebut saja peran efektif BPK dalam pengungkapan 13.567 permasalahan senilai Rp8,97 triliun dalam pemeriksaan selama semester I tahun 2020.  Jumlah tersebut meliputi 6.713 permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), 6.702 permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp8,28 triliun, serta 152 permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp692,05 miliar.

Dari permasalahan ketidakpatuhan tersebut, sebanyak 4.051 senilai Rp8,28 triliun merupakan permasalahan yang dapat mengakibatkan kerugian senilai Rp1,79 triliun, potensi kerugian senilai Rp3,30 triliun, dan kekurangan penerimaan senilai Rp3,19 triliun.

Atas permasalahan tersebut entitas telah menindaklanjuti dengan menyerahkan aset atau menyetor ke kas negara/daerah/perusahaan selama proses pemeriksaan sebesar Rp670,50 miliar (8%) di antaranya Rp384,71 miliar merupakan penyetoran dari pemerintah pusat, BUMN, dan Badan Lainnya. Selain itu, 2.651 permasalahan ketidakpatuhan mengakibatkan penyimpangan administrasi.

Terkait penanganan Covid-19, BPK menyimpulkan  efektivitas, transparansi, akuntabilitas dan kepatuhan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam kondisi darurat pandemi  tidak sepenuhnya tercapai. Kesimpulan BPK atas pemeriksaan  tersebut disebabkan  alokasi anggaran  dalam APBN belum teridentifikasi dan terkodifikasi secara menyeluruh serta realisasi anggaran belum sepenuhnya disalurkan sesuai dengan yang direncanakan.  Pertanggungjawaban dan pelaporan, termasuk pengadaan barang dan jasa belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan program dan kegiatan manajemen bencana penanganan pandemi Covid-19 tidak sepenuhnya efektif.

Pemeriksaan atas PC-PEN merupakan salah satu pemeriksaan tematik yang dilakukan BPK pada semester II Tahun 2020. Pemeriksaan ini dilaksanakan dalam kerangka risk based comprehensive audit yang merupakan gabungan dari tujuan ketiga jenis pemeriksaan dengan memperhatikan audit universe. Alokasi anggaran PC-PEN pada pemerintah pusat, pemda, BI, OJK, LPS, BUMN, BUMD, dan dana hibah Tahun 2020 yang teridentifikasi oleh BPK sebesar Rp933,33 triliun, dengan realisasi Rp597,06 triliun (64%).

Pemeriksaan PC-PEN menjadi bagian dalam IHPS II Tahun 2020. IHPS memuat ringkasan dari 559 LHP, terdiri dari 28 (5%) LHP Keuangan, 254 (45%) LHP Kinerja, dan 277 (50%) LHP Dengan Tujuan Tertentu (DTT). Dari LHP Kinerja dan DTT tersebut, di antaranya sebanyak 241 (43%) LHP merupakan hasil pemeriksaan tematik terkait PC-PEN. Selain IHPS, BPK juga menyampaikan LHP LKPP Tahun 2020 kepada Presiden. BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian.

BPK dalam melaksanakan perannya sebagai pencegah kebocoran uang negara,  faktor manusia sangat dominan.  Ada lima  unsur menjadi  penyebab terjadinya korupsi. Adanya kesempatan, tekanan, pembenaran, kekuasaan dan kehilangan integritas. Dari kelima penyebab itu, faktor penyebab utama perilaku koruptif di Indonesia adalah hancurnya integritas.

Dengan kata lain, peran auditor sangat penting dalam mengurangi korupsi.  Sebab peran audit adalah memberikan keyakinan kalau semua berjalan sesuai komitmen yang telah ditetapkan.

Audit juga memberikan feed back mengenai apakah perencanaan periode mendatang dapat dilakukan berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan atas pelaksanaan kegiatan periode sebelumnya. Audit yang dilakukan dapat mendorong perwujudan tujuan bernegara dengan parameter kunci adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Auditor atau pemeriksa harus memastikan apakah pengelolaan keuangan negara telah dilaksanakan  instansi pemerintah dari tingkatan tertinggi sampai pada strata yang paling teknis. Sebab setiap instansi pemerintah wajib melakukannya secara efisien, efektif, ekonomis, profesional, berkeadilan dan memenuhi azas kepatutan.

BPK  harus mengikut kerangka pemikiran “The Accountability Organization Maturity Model”.   BPK itu adalah oversight untuk mendorong transparansi, akuntabilitas, meningkatkan ekonomis, efisiensi, efektifitas dari suatu kegiatan.  Jadi apabila di dalam pemeriksaan itu ditemukan kecurangan/fraud maka otomatis pemberantasan korupsi merupakan bagian mutlak dan utama untuk setiap audit untuk melihat oversight ini.

Dengan demikian, BPK memiliki kontribusi signifikan terhadap kebocoran uang negara karena BPK berwenang menghitung, menilai, dan/atau menetapkan kerugian negara dalam penggunaan anggaran oleh suatu entitas. Sesuai dengan amanat UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Temuan BPK yang mengandung indikasi pidana dilaporkan kepada aparat penegak hukum Komisi Pemberantasan korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian.

Salah satu satuan kerja di BPK yang sering bersinergi dengan aparat penegak hukum adalah Auditorat Utama Investigasi (AUI). Satuan kerja khusus yang dibentuk sejak November 2016 ini bertugas melaksanakan pemeriksaan investigatif atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, perhitungan kerugian kerugian negara (PKN), serta pemberian keterangan ahli (PKA). Laporan keuangan BPK ini terdiri dari audit terhadap laporan keuangan saja, audit atas  pengendalian internal, dan audit kepatuhan.

Sebagai satu-satunya lembaga yang berperan dalam audit Laporan Keuangan, maka Integritas sangat penting untuk mencegah perilaku koruptif seseorang. Sebagai eksternal auditor, peran BPK sangat penting untuk meyakinkan bahwa pengelolaan keuangan negara sesuai dengan ketentuan.

Terkait fungsi dan perannya yang pertama yaitu sebagai pemeriksa, dapat dipastikan BPK harus memeriksa tanpa pengaruh pihak mana pun. Sebab seorang pemeriksa harus mempunyai sikap independensi. Sikap ini harus dibarengi integritas yang  meliputi fisik, mental/spiritual, dan sosial.  Ketiga hal ini menjadi sebuah elemen yang kokoh dalam setiap tindakan.

Audit BPK yang efektif, dilengkapi dengan auditor yang memiliki integritas, akan mampu mencegah setidaknya meminimalkan kebocoran uang negara. Apalagi bila didukung sinergi dengan para aparat penegak hukum. Dengan  demikian,  “BPK Tangguh, BPK Tepercaya” menjadi tema yang tepat dalam usia ke-74, BPK menjalankan tugas-tugasnya dimasa pandemi Covid-19 ini. *** (melva tobing)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *