Connect with us

Kabar

Artis dan Kru Film harus Baca Kontrak Kerja agar tak Kena Jebakan Batman

Published

on

Para nara sumber dalam diskusi film sekitar kontrak kerja (foto toto)

JAYAKARTA NEWS— Kontrak kerja bagi artis dan kru film sangat sensitif. Maklum, hal ini menyangkut honorarium.

Menurut pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan, definisi kontrak kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban. Salah satu fungsi kontrak kerja adalah sebagai alat untuk menciptakan rasa tenang.

Demikian hal-hal yang mengemuka dalam diskusi film seputar kontrak kerja bagi artis dan kru film di Gedung Perpustakaan Kemdikbud Ristek RI, Jakarta, baru-baru ini.

Praktisi film Budi Sumarno menjelaskan bahwa UU kontrak kerja itu untuk melindungi hak artis dan kru film termasuk produser.

“Organisasi perfilman dipastikan harus berfokus pada pembinaan dan peningkatan kemampuan anggotanya. Mereka harus membaca dan memahami isi UU kontrak kerja sebelum menekennya. Yang penting isi UU ini terkait honor, jam kerja dan jaminan keselamatan kerja,” ujar Budi Sumarno yang juga penggerak Serikat Pekerja Film.

Segendang sepenarian pendapat Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), Gunawan Pagaru.
“Artis dan kru harus membaca UU kontrak kerja secara teliti dan gak terburu-buru agar gak terkena jebakan Batman. Baca baik, benar dan sampai tuntas. Jangan abai terhadap isi kontrak kerja. Iqra (bacalah) isi UU yang biasanya berhalaman tebal,” tegas Gunawan Pagaru.

Memang sutradara ‘Issue’ dan ‘Syahadat Cinta’ ini mengakui belum ada kasus menyangkut penyimpangan terhadap UU kontrak kerja yang dibawa ke pengadilan.

“Tetapi harapan saya enggak adalah. Dulu pernah dikenal kontrak kerja di bawah pohon atau kontrak batin. Biasalah, boss selalu terus cari cuan lewat produksi film yang dibuatnya. Enggak peduli jam kerja dari subuh ke subuh lagi. U bantu I, I bantu J, anggapan si boss,” tutur Gunawan Pagaru yang berharap ada standardisasi kontrak kerja untuk artis dan kru film.

Di sisi lain, Ketua Tim Advokasi BPI, Rully Sofyan memaparkan di ranah film, ‘bargaining position’ dibatasi sehingga ini merugikan hak para pekerja film.

“Kita sudah saatnya ada ‘talent agent’ yang melindungi hak dan keselamatan kerja para artis dan kru film. Kalau kita enggak berhati-hati dalam melangkah dan bekerja, mampus kita,” urai Rully Sofyan blak-blakan.

Diskusi yang menarik yang digelar Yayasan Sehati Seprofesi ini akhirnya di-gong-i Adi Satria Noer, SH, MH. “Dapat kita simpulkan bahwa kontrak kerja itu memuat informasi mengenai hak dan kewajiban karyawan atau para pekerja khususnya film, termasuk gaji, tunjangan, jam kerja, cuti dan aspek penting lainnya,” kata pegiat masalah hukum ini.

Setiap insan film berhak berkreasi/berinovasi, dapat jaminan sosial, perlindungan hukum, dapat asuransi dan menerima pendapatan yang sesuai dengan standar kompetensi serta dapat honorarium dan/atau royalti yang sesuai dengan perjanjian.

“Dengan demikian kontrak kerja memberikan kejelasan mengenai apa yang diharapkan dari kru/pekerja dan apa yang akan diterima sebagai imbalan atas pekerjaannya,” timpal Adi Satria Noer, SH, MH. (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *