Connect with us

Feature

TNI-Polri Netral, Harga Mati

Published

on

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian. Foto: Ist

MINGGU ketiga bulan Juni 2018, bisa jadi sejumlah daerah berada pada tensi politik tinggi. Sebab, kurang lebih dua minggu pasca Idul Fitri dilangsungkan pemungutan suara pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di 171 daerah tingkat I dan II di seluruh Indonesia.

Data KPU menunjukkan pada DPS (Daftar Pemilih Sementara) Pilkada 2018 di 171 daerah, ada 152,8 juta pemilih. Dari jumlah itu, terdapat 7,4 juta pemilih yang berdasar data Badan Pengawas Pemilu (Bappilu), diduga belum punya KTP-elektronik ataupun surat keterangan pengganti KTP-elektronik.

Persoalan pemilih tanpa KTP-elektronik suka-tidak-suka, harus diartikan sebagai potensi konflik. Hal ini berkaca pada pengalaman Pilkada-Pilkada yang telah lalu, di mana hal itu menjadi dispute dan berlanjut ke gugatan hukum. KPU sendiri pada prinsipnya memegang teguh kehati-hatian dalam menetapkan daftar pemilih. KPU juga berpegang pada ketentuan bahwa pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT, tetap bisa menggunakan hak pilihnya satu jam sebelum penutupan TPS dengan membawa KTP-elektronik atau surat keterangan pengganti KTP-elektronik.

Akan tetapi, persoalan Pilkada tidak semata-mata persoalan identitas pemilih. Di antara waktu kampanye hingga minggu tenang, masyarakat akan disuguhi hiruk-pikuk kampanye. Masyarakat pendukung pasangan calon (paslon) yang satu dan lainnya, berpotensi terlibat konflik. Baik konflik yang terbentang di spanduk-spanduk dukungan, konflik terbuka di media sosial, hingga bentrokan fisik.

Pada galibnya, semua pihak menghendaki sebuah penyelenggaraan Pilkada yang jujur dan adil. Pemungutan suara pun berlangsung langsung, umum, bebas, dan rahasia (Luber). Dengan berpegang pada prinsip Jurdil dan Luber itu pula, masyarakat akan mencermati dengan seksama jalannya Pilkada, termasuk di dalamnya melihat netralitas penyelenggara Pilkada hingga netralitas aparat keamanan, sejak masa kampanye, pemungutan suara, hingga pengumuman pemenang.

Pilkada yang mulai diperkenalkan tahun 2005, pada galibnya sudah memiliki riwayat yang lumayan panjang, 13 tahun. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.

Begitu dinamisnya politik Pilkada, sampai-sampai Undang-Undangnya pun telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan pertama ditandai dengan diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan atas undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Perubahan kedua ditandai dengan terbitnya UU Nomor 1 Tahun 2015 tetang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang. Tahun yang sama, terbit UU pengganti, yakni UU Nomor 8 Tahun 2015 perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang.

Setelah itu terbit UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang.

Dalam semua proses, TNI (Tentara Nasional Indonesia) maupun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tegas dinyatakan tidak boleh terlibat politik praktis. Memang, acap dirasakan masyarakat, adanya netralitas semu, manakala di suatu daerah terdapat kandidat yang berlatar belakang TNI atau Polri.

Netralitas semu itulah yang dari tahun ke tahun, terus dikikis oleh TNI dan Polri. Tak terkecuali di Pilkada 2018, di mana TNI dan Polri sudah menyatakan komitmen tegasnya untuk bersikap netral. Bukan saja jaminan netralitas, tetapi juga jaminan kelancaran dan keamanan.

Panglima TNI dan Kapolri saat melakukan kunjungan kerja bersama ke wilayah Palembang. Foto: Humas Mabes Polri

Demi menegaskan komitmennya, baru-baru ini Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto melakukan kunjungan kerja bersama ke lima kota: Banda Aceh, Medan, Pekanbaru, Palembang, dan Bandung. Lima daerah di antara 171 daerah yang bakal menggelar Pilkada Juni 2018. Di luar kunjungan bersama, Panglima TNI maupun Kapolri dalam setiap kunjungan resmi maupun tak resmi, tak henti-henti menginstruksikan prajuritnya agar konsistem menjaga netralitas, serta manjamin kelancaran dan keamanan Pilkada.

Instruksi bersama Panglima TNI dan Kapolri bahkan ditindaklanjuti dengan pembentukan tim gabungan TNI-Polri untuk mengawal jalannya Pilkada. Tim gabungan ini bahkan secara langsung akan menindak personel atau anggota yang kedapatan melanggar netralitas. “Kokohnya sinergi dan soliditas TNI-Polri jadi modal penting menghadapi ancaman. Sinergi dan soliditas harus diwujudkan dalam bentuk netralitas di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019,” jelas Kapolri Jenderal Pol Haji Tito Karnavian.

Sementara Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengingatkan, ada lima hal yang perlu dijadikan pedoman selama Pilkada dan Pemilu. “Selain menjaga kepercayaan rakyat, juga kemampuan deteksi dini jika ada ancaman, netralitas di atas semua golongan, dan mampu menjadi perekat kemajemukan dan kebinekaan,” ujarnya.

Komitmen TNI dan Polri itu diapresiasi banyak pihak. Salah satunya dari Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti. Ia menilai, kunjungan kerja bersama itu merupakan inisiatif yang baik dari Kepala Polri dan Panglima TNI. Inisiatif itu adalah bentuk tanggung jawab untuk menjaga netralitas serta kekompakan semua personel TNI dan Polri terkait kontestasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.

DEMOKRASI

Perubahan sikap Polri juga menapakkan jejak yang jelas. Dalam buku “Polri dalam Arsitektur Negara’ yang disunting Hermawan Sulistyo, gerakan reformasi 1998 menuntut adanya perubahan Polri menjadi institusi kepolisian yang berperan dalam penguatan demokrasi. Polri diharapkan menjadi organisasi sipil yang mandiri dan secara institusional, Polri langsung di bawah Presiden.

Dari sejarahnya yang berawal dari pasukan Bhayangkara di zaman Majapahit, seiring perkembangan zaman, kepolisian di Indonesia terus mengalami perubahan. Meski dikritik dari kanan dan kiri, kepolisian Indonesia adalah institusi yang terus berbenah dan konsisten mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tonggak terpenting dari perubahan di tubuh kepolisian adalah ketika secara konstitusional, Polri tidak lagi menjadi bagian dari ABRI/TNI.

Dalam kaitan Pilkada 2018, semua personel Polri diharapkan tidak terlibat politik praktis. Kalau mau terlibat dalam politik, harus keluar dari institusi Polri dan TNI, seperti yang terjadi ketika putra Susilo Bambang Yudhoyono yang bernama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang mencalonkan jadi calon gubernur DKI Jakarta dari Partai Demokrat di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu.

Dalam masa kampanye Pilkada 2018, walau suasananya tampak relatif tenang dan adem, kampanye SARA dan hoax tetap menjadi ancaman. Dengan gencarnya pemerintah, TNI-Polri dan berbagai elemen masyarakat yang melancarkan imbauan agar menghindari SARA dan penyebaran hoax, diharapkan dua kegiatan sensitif itu bisa berkurang bahkan hilang sama sekali.

Kampanye cerdas tampaknya mulai diutamakan dan disukai masyarakat, terutama mereka yang berpendidikan tinggi dan lebih memprioritaskan profesionalisme. Namun, harus kita akui, masyarakat dari strata paling bawah juga harus ditengok dan dijenguk. Mereka tergolong sensitif terhadap isu-isu SARA, dan karena keterbatasan akses informasi, terkadang mudah terhasut hoax.

Adalah menjadi tanggung jawab para kandidat saat turun ke tengah masyarakat, untuk tidak sekadar mengumbar janji dan membagi-bagikan sembako, tetapi juga harus mengingatkan masyarakat pemilih agar tidak terhasut isu SARA dan berita hoax.

Bagaimana halnya dengan money politics? Banyak pengamat yang pesimis, money politics akan hilang dari perhelatan Pilkada maupun Pemilu di Indonesia. Setidaknya, belum akan hilang dalam waktu dekat. Karena itu, sejumlah pengamat ada kalanya mengimbau, “Terima saja sembakonya… terima saja uangnya, tetapi soal pilihan harus sesuai dengan hati nurani. Tidak usah terpengaruh dengan sembako dan uang,” ujar beberapa pengamat dan praktisi politik yang acap terlansir di media massa.

DEMOCRATIC POLICING

Beberapa waktu lalu, Kapolri Jenderal Pol Haji Tito Karnavian dan Prof (Ris) Hermawan Sulistyo meluncurkan buku berjudul “Democatic Policing” (Penerbit Pensil-324, 2017). Buku itu lagi-lagi menegaskan sikap pucuk pimpinan Polri yang profesional, dan diharapkan menjadi warna baru kepolisian Indonesia.

Dalam buku itu antara lain dikemukakan bahwa sejak berdiri menjadi bagian institusi sipil, Polri justru semakin diuji tantangan yang lebih besar. Polri mau tidak mau harus lebih berintegrasi dengan sistem demokrasi sipil, dimana institusi ini harus menjadi bagian pelayan dan pengawal nilai-nilai sipil. Pendekatan karakter militeristik yang dulu pernah disandang harus ditinggalkan. Pendekatan dan kecenderungan represif dan berorientasi kekuasaan harus diganti menjadi berorientasi demokratis dengan warna pendekatan sipil yang menjadi pokok prinsip yang harus ditonjolkan.

Buku karya Tito Karnavian dan Hermawan Sulistyo ini sangat penting dan menjadi referensi pokok yang dapat memberikan pemahaman mengenai pemolisian demokratis (democratic policing), penghormatan kepada HAM (Hak Asasi Manusia) serta bagaimana upaya Polri menjaga NKRI. Semua petugas kepolisian, tanpa reserve, bertujuan menjaga NKRI dan mengawal demokrasi.

BACA JUGA: https://jayakartanews.com/polisi-jaman-now-harus-paham-democratic-policing/

Di kesempatan terpisah, Profesor UIN Jakarta dan Anggota Komisi Kebudayaan AIPI, Azyumardi Azra menulis esai “Politik Keadaban” di Harian Kompas (26 April 2018). Menurutnya, kita tidak perlu takut dan cemas di tahun politik 2018 dan 2019 yang panas ini. Dikatakan, Tahun Politik 2018 dan 2019 – the years living dangerously – suhu politik semakin eskalatif dalam tahun-tahun ini, kelihatan berbahaya. Pergulatan politik meningkat dengan berbagai kasak-kusuk dan lobi untuk meraih dukungan guna mendapat jabatan publik tinggi.

Politik keadaban adalah politik yang memegang dan menerapkan keadaban atau nilai-nilai adab yang luhur. Indonesia kaya dengan nilai-nilai luhur dan mulia yang terkandung dalam adat, tradisi, hukum dan agama. Menumbuhkan politik keadaban merupakan tantangan yang perlu direspons elite politik, elite keagamaan dan elite sosial lainnya. Termasuk juga elite kepolisian RI. Selama Polri dan TNI masih ada, selama itu juga NKRI masih eksis dan tegak berdiri. Ancaman disintegrasi bangsa gara-gara Pilkada pun menjadi “jauh panggang dari api”. Astungkara. ***

SIMAK LINK :

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *