Feature
Talent School, Kenali Minat, Bakat dan Gaya Belajar Anak
JAYAKARTA NEWS— Sejumlah lima siswa Talent School duduk berbaris lesehan di sebuah pendapa restoran “Kopi Ngebul” di kawasan Pakem Yogyakarta, Kamis (23/6). Mereka, Rifky, Yunus, Belinda, Quinncy dan Reza akan mementaskan langen carita dengan lakon “Medang Kamulan Aji Saka”. Acara ini digelar dalam rangka tutup tahun 2021-2022. Ada sembilan siswa sekolah yang berada di kawasan Pakem Yogyakarta ini. Empat yang lain, siswa online, mengikuti acara secara daring dari rumah masing-masing.
Pentas dimulai. Diiringi musik gamelan jenis gendang dan kenong, para remaja itu fokus membawakan peran masing-masing. Ada Aji Saka, Patih Dora dan Sembada, prajurit Aji Saka, dan Prabu Dewata Cengkar raja pemangsa manusia penguasa Medang Kamulan.
Para penonton asyik menyimak. Dialog yang dilagukan dalam langen carita itu menggunakan Bahasa Jawa Kromo. Tampak fasih para remaja itu bertutur dan berlagu. Pentas berakhir dengan kemenangan Aji Saka mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka pun diangkat menjadi Raja Medang Kamulan. Sayang, dua prajuritnya, Dora dan Sembada, harus bertarung. Pertarungan ini berakhir dengan kematian keduanya yang sama-sama sakti.
Samijo (85 tahun) salah satu guru Talent School yang mendampingi murid-murid belajar nembang (menyanyi) lagu Jawa pun didaulat MC tampil ke atas pentas. Ia mendapatkan tugas menjelaskan Langen Carita yang baru saja dipentaskan. Maklum, tidak semua orang tua dan para tamu undangan paham. Ia mereview langen carita yang baru saja dibawakan anak-anak asuhannya.
Samijo memaparkan, “Langen carita tadi berkisah mengenai kedatangan Aji Saka ke Tanah Jawa sekaligus asal mula aksara Jawa. Perantau yang berasal dari Bumi Majeti itu berkehendak datang ke Pulau Jawa. Ia mengira sudah sampai ke Pulu Jawa, namun info yang didapat Aji Saka di kemudian hari adalah bahwa ia dan rombongan belum menginjakkan kaki di tanah Jawa. Aji Saka berangkat ke Tanah Jawa bersama Dora, patihnya. Kepada Sembada ia berpesan, kelak aku akan menjemputmu. Namun setelah Aji Saka berkuasa, ia mengutus Dora untuk menjemput Sembada. Sembada yang teringat pesan bahwa Aji Saka yang akan menjemputnya, menuduh Dora pembohong. Keduanya bertarung. Dora dan Sembada sama-sama gugur”.
Lanjutnya, “Akibat menanti kehadiran patihnya yang tak kunjung tiba, Aji Saka berangkat menjemput mereka. Sampai di tempat tujuan ia mendapatkan kabar bahwa kedua patihnya wafat dalam sebuah pertarungan. Peristiwa itu menginspirasi Aji Saka untuk menyusun Aksara Jawa: “ha na ca ra ka” berarti ada dua utusan, “da ta sa wa la” berarti keduanya bertarung, “pa da ja ya nya” berarti sama-sama hebatnya, dan “ma ga ba tha nga” yang berarti keduanya wafat. Legenda Aji Saka membawa peradaban baru di Tanah Jawa”.
Mengolah Rasa
Kepala Sekolah Talent School, Thomas Hartanta, memaparkan bahwa lewat teater, seni rupa, karawitan, anak-anak Talent School belajar mengolah rasa. Di Talent School mengolah rasa menjadi agenda sehari-hari. Sebab, lewat rasa inilah karakter anak dikembangkan. “Saya meniru Ki Hajar Dewantara, bermula dari rasa, akan muncul kemampuan cipta dan karsa pada anak,” tuturnya. Thomas menegaskan, mengolah rasa penting untuk membangun karakter anak.
Pentas acara tutup tahun pagi itu kental dengan hasil olah rasa. Sebelum pentas langen carita, setiap siswa tampil membawakan tembang Jawa. Ada yang menyanyikan Pocung, Bapak Pocung, Durno, juga Mas Kumambang. Lagi-lagi, Samijo mendapatkan tugas menjelaskan arti masing-masing tembang tersebut.
Berbekal rasa, lima orang siswa Talent School itu menciptakan karya. Sejumlah karya memenuhi salah satu sisi pendapa. Ada peta Indonesia yang berbahan dasar koran bekas, lukisan, kerajinan dari botol mineral juga aneka keramik yang bernilai seni tinggi. “Anak-anak belajar membuat keramik di studio keramik PPPG Kesenian yang berada di kawasan Besi Sleman Yogyakarta,” kata Thomas.
Analisa Sidik Jari
Thomas memahami siswa-siswinya. Mayoritas dari mereka adalah anak berkebutuhan khusus yang tersebar mulai dari jenjang SMP hingga kelas 11 SMA. Satu siswa Reguler, Rifky Maulana Ikhsan, baru saja menamatkan SMP dan ia berniat akan melanjutkan ke SMK jurusan tata boga. Ia hobi masak, kebetulan hasil analisa sidik jarinya mendukung.
“Kami mendampingi setiap anak dengan gaya belajar masing-masing,” tuturnya. Gaya belajar itu ia ketahui lewat analisa sidik jari. “Setiap siswa kami analisa sidik jarinya. Dari hasilnya kami tahu gaya belajar seperti apa yang mereka sukai sekaligus kami tahu potensi, minat dan bakat anak,” tambah Thomas.
Nining, bunda dari Belinda Azalia Sipravashti pun mengamini. Putri keduanya itu belum lancar membaca dan menulis saat masuk ke SMP Talent School kelas 1, lima tahun lalu. “Talent School banyak membantu perkembangan kepribadian dan intelektual Belinda. Ia senang sekolah di sini karena klop dengan guru pembimbing yang bisa mendampingi dan melihat potensi Belinda,” aku Nining.
Nining mendapatkan kejutan saat menonton penampilan Belinda memerankan tokoh Aji Saka dalam langen carita. Putri keduanya itu lancar menghafal dan melagukan dialog. Hanya satu baris yang ia sempat kelupaan, namun setelah dipancing oleh Samijo dari kursi penonton, Belinda lancar membawakan peran hingga akhir cerita.
Cerita Yunus pun tak berbeda. Siswa yang bernama lengkap Muhammad Yunus Khoirusyams ini adalah siswa dengan ADHD dan autis. Prima, sang bunda pun bercerita, Yunus semangat dan senang sekolah di Talent School. “Yunus naik kelas 3 dan kelak SMA tetap akan melanjutkan di Talent,” kata Prima.
Sementara Reza yang bernama lengkap Muhammad Reza Yuliawan pun mengaku gembira selama bersekolah di Talent School. “Tempatnya nyaman, gurunya juga enak,” aku Reza yang suka menggambar. Gambar peta Indonesia yang dipajang di pendapa adalah karyanya.
Nyaman bersekolah juga dirasakan Rifky. Ia dulu anak pindahan pada semester 2 kelas 1 SMP dari sebuah sekolah di Gunung Kidul. “Di Talent nggak ada buli, nggak dibeda-bedakan satu sama lain, bebas berpendapat dan semua serasa keluarga sendiri,” tutur pemeran Prabu Dewata Cengkar ini. Rifky menginap di Talent School dari Kamis hingga Jumat. Sabtu dan Minggu ia dijemput orang tuanya pulang ke Gunung Kidul.
Thomas Hartanta mengatakan, kapasitas Talent School mencapai 15 anak di luar siswa siswi online. Sekolah ini berdiri di tanah seluas 360 meter persegi. Ia pun tinggal di tempat yang sama. Untuk siswa boarding tersedia dua tempat.
Saat ini, dengan lima siswa di sekolah dan empat siswa online, maka untuk pembiayaannya Thomas harus pandai-pandai mencari danatur dan sumber lainnya. Tidak mungkin semua dibebankan kepada siswa.
“Analisa sidik jari yang berbiaya Rp 350 ribu menjadi sumber pendapatan untuk membantu keberlangsungan sekolah,” kata Thomas. Analisa sidik jari ini terbuka untuk umum. Ia bercerita, usia paling kecil bisa dianalisa sidik jarinya adalah 2 tahun. “Jika pada usia itu data sidik jari sudah diketahui, maka orang tua juga sekolah akan mudah dalam membimbing dan mengarahkan putra putri atau siswa siswinya. Tinggal mengikuti saja minat, bakat dan gaya belajarnya,” tegasnya. (Ernaningtyas)