Connect with us

Feature

Si Buta dari Kemang Buntu

Published

on

BUTA. Satu kata buatan manusia, yang artinya tidak bisa melihat. Semudah itu melafalkan kata “buta”. Pernahkah Anda menempatkan diri sebagai penyandang kebutaan?

Mata terbuka atau terpejam, yang ada hanya gelap. Berkacamata hitam atau tidak, yang ada di pelupuk mata adalah pekat. Keindahan dunia bukan milik mereka. Indahnya pelangi pasca turun hujan, tak bisa ia rasakan. “Lebih menyesakkan lagi bagi penyandang buta mata yang bukan bawaan sejak lahir seperti saya,” ujar Widyanarko Budi Prihantono, akrab disapa Koko.

Lelaki 46 tahun kelahiran Magelang, Jawa Tengah ini, pernah melihat dengan satu mata. Mata yang kanan. Seiring waktu, syaraf retina mata kanan andalannya pun mulai rusak, dan akhirnya “menemani” mata yang kiri. Berdua mereka menjadi buta.

Koko adalah sedikit dari sekian banyak penyandang cacat mata yang akhirnya berhasil meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Muhammadiyah Solo, tahun 2008. “Saya sudah dua kali melakukan operasi. Pertama di Yogyakarta. Karena belum tuntas, dirujuk ke Jakarta. Sudah sempat diperiksa, tapi sebelum operasi saya putuskan untuk mengurungkan. Selain saya tahu prosesnya lama, juga ada konsekuensi biaya yang besar,” ujarnya.

Ya, kebutaan total dialami ketika ia sudah dewasa, bahkan sudah membangun rumah tangga. Koko bertekad tidak akan membebani siapa pun. Ia memilih fokus mencari nafkah untuk bisa hidup mandiri. Membiayai hidup keluarga, termasuk membayar kontrakan rumahnya di Kemang Buntu, Jatibening Baru, Bekasi.

Sekarang dia tinggal bersama istri yang kedua Natalia Fatimah Vanessa Linggar (Lia), yang juga menyandang divabel tuna netra seperti dirinya. Berbagai usaha pernah dijalani untuk menopang hidup. Antara lain, pernah memiliki usaha butik dan kini aktif di bisnis online, ditemani putrinya yang sehat dan cantik Binangkit Fortuna Prihaftanti biasa dipanggil Monik (6 tahun).

Di tengah keterbatasan fisik, Koko memiliki banyak kelebihan lian. Di antaranya, menguasai beberapa alat musik seperti piano, kendang, gitar, serta panda bernyanyi. Atas itu semua, Koko dipercaya mengajar di beberapa sekolah luar biasa (SLB) di wilayah Jakarta Timur, di antaranya Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) 7 Jakarta, SLB Kembar Karya 1 Klender, SLB Assafiah Cilangkap, SLBC Angkasa Halim dan SLB Budi Asih Duren Sawit. “Tiap hari ya ngojeg,” ujarnya.

Tidak cukup hanya mengandalkan pendapatan gaji dari guru honorer, dia pun memanfaatkan waktu sengangganya untuk mencari penghasilan tambahan dengan cara mengamen. Rute yang biasa dia tempuh adalah jurusan Bekasi-Tangerang-Merak, Blok M-Tanah Abang. Sementara Sabtu dan Minggu acap diajak manggung di pentas musik acara hajatan.

Sedangkan dalam kehidupan sosialnya dia bergabung di paguyuban Sambungroso. Hal ini dia lakukan untuk menambah teman dan saudara.

Sebenarnya bagi Koko, masih ada harapan untuk bisa kembali melihat indahnya dunia. Tetapi saat ini sosok pria yang murah senyum ini hanya bisa berharap Allah SWT memberikan mukjizat dan anugerah. Harapan utama Koko saat ini bukan kemampuan melihat, melainkan bisa melunasi semua utangnya, menyekolahkan anak, dan menjalani kehidupan rumah tangga yang cukup pangan, cukup papan, dan cukup sandang. Soal operasi mata, menjadi prioritas terakhir. “Kecuali ada bantuan BPJS dari pemerintah,” ujarnya lirih.

Satu harapan lain, adalah perhatian pemerintah kepada masyarakatnya penyandang cacat. Tidak untuk mengasihani, melainkan memberi perhatian. Yang tidak berkemampuan, diberi pelatihan. Yang punya kemampuan, bisa mendapatkan pekerjaan. ***

Continue Reading
Advertisement
4 Comments

4 Comments

  1. suryadi

    March 15, 2017 at 1:10 pm

    Saya sangat bangga atas kepedulian terhadap sesama apalagi kususnya kpd kaum tuna : netra, susila , rungu dls, mdh”han dgn terexpusnya meraka ada dermawan / donatur yg mau membantunya,
    sukses buat yg meliput , Mas Nanang , s, dn jayakartanews.com

  2. Sam

    March 15, 2017 at 1:30 pm

    Inspiratif sekali

  3. Dina

    March 15, 2017 at 1:41 pm

    Bagus tdk gampang putus asa…contoh yg baik

  4. poniman

    March 15, 2017 at 1:41 pm

    Patut diacung kanjempol untuk mas Koko yang serba bisa, banyak teman kita senasib dengan mas koko tapi kurang mempunya ketrampilan, bersukur untuk mas Koko, jangan menyerah untuk berjuang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *