Connect with us

Polhukam

Menakar Partisipasi Pemilih di Pilkada 2020

Published

on

Oleh Husin Yazid

Peserta Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Diskursus atau isu partisipasi politik acapkali muncul menjelang perhelatan Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, atau Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada). Partisipasi pemilih secara spesifik merujuk kepada warga yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih terlibat dalam Pemilu. Isu partisipasi pemilih saat ini kian seksi, krusial, kompleks dan sulit ditebak (unpredicable) secara kuantitas maupun kualitas karena Pilkada Serentak 2020 digelar di tengah pandemi Covid-19.

       Secara teoritis, Huntington dan Nelson memaknai partisipasi politik kegiatan pribadi warga negara yang dilakukan untuk memengaruhi keputusan pemerintah.Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif. Sedangkan Miriam Budiarjo mendefinisikan, partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik.

       Mengenai bentuk atau tipologi partisipasi politik, Verba dan Nie (1978) menyebutnya ada empat dimensi partisipasi politik yaitu: pertama: voting, yaitu melakukan pemungutan suara termasuk memberikan suara pada saat Pemilu. Format partisipasi ini sering kali dinilai sebagai bentuk partisipasi politik yang paling konkrit. Kedua,  campaign activity yang mencakup kegiatan menjadi anggota atau bekerja untuk partai politik dan organisasi politik termasuk memberikan sumbangan (donasi) kepada partai politik atau kelompok politik.

       Ketigacontacting, yaitu kegiatan untuk menghubungi pemimpin politik atau pejabat publik guna menyampaikan pesan politik atau menyampaikan masalah atau persoalan-persoalan yang berdimensi publik seperti masalah ekonomi atau kesejahteraan masyarakat. Keempat, cooperative, atau kegiatan komunitas yaitu segala tindakan yang terkait dengan isu atau masalah komunitas lokal.

       Terkait dengan tipologinya, Rahman H.I  membagi partisipasi menjadi tiga jenis. Yakni: (1) partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi padaproses input dan output; (2) partisipasi pasif, yaitu partisipasiyang berorientasi hanyapada output, dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah,menerima dan melaksanakan saja setiap keputusanpemerintah. Dan (3) golongan putih atau kelompok apatis, karena menggapsistem politik yang ada menyimpang dari yangdicita-citakan.

       Signifikansi partisipasi dalam kontek Pemilu atau Pilkada bisa sangat beragam. Bagi Penyelenggara Pilkada atau pemerintah, partisipasi pemilih penting karena menjadi parameter keberhasilannya dalam menyelenggarakan  Pilkada yang sudah mengeluarkan dana besar. Bagi partai politik dan kandidat, partisipasi pemilih dianggap bermakna manakala banyak pemilih memberikan hak pilihnya kepada parpol dan kandidat bersangkutan.

       Dalam perspektif pemilih, partisipasi pemilih bisa berwujud dalam dua aspek, yakni: (1) mobilisasi dan (2) sukarela. Dari sini memunculkan, apa yang kemudian disebut dengan prilaku pemilih (political behaviour). Pemilih di Indonesia dikenal sangat beragam dari sisi orientasi dan prilaku politiknya. Ada yang masuk pada kategori rasional, kritis dan kalkulatif. Namun tidak sedikit pula yang dikategorikan sebagai economic oriented dan pragmatis. 

Tingkat Partisipasi Politik

       Demikian signifikannya partisipai politik terutama di Pemilu, tidak mengherankan manakala banyak negara menggenjot tingkat partisipasi pemilihnya dengan berbagai cara. Meskipun demikian, sebagaimana dikemukakan Syemor Martin Lipset dalam “Political Man: the Social Bases of Politics (1960), tidak mudah untuk mendongkrak tingkat partisipasi pemilih. Bahkan beberapa penelitian di sejumlah negara maju menujukkkan, temuan beragam yang menarik.

       Misalnya terkait dengan pendapatan dan pendidikan tinggi di kalangan pemilih, tidak serta merta mengakibatkan tingkat partisipasi pemilih lebih tinggi, bahkan justeru makin rendah. Contohnya di Amerika Serikat, prosentase pemilih pada 1990 hanya mencapai 55 persen. Sementara pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2020, tingkat partisipai pemilihnya dalam kisaran 60 persen.

       Sebaliknya partisipasi pemilih di negara Prancis dan Jerman pada tahun 1990 dan 1992 mencapai 86 persen dan 90 persen, di Inggris 77,7 persen pasa 1992. Namun pada Pilpres 2019, tingkat partisipasi pemilih di Perancis turun menjadi hanya sekitar 50-60 persen. Di negara Belanda tingkat partisipasi pemilihnya mencapai 86 persen dan Malaysia sebanyak 82 persen.

       Dengan mengesampingkan data statistik tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu di masa Orde Baru karena di masa itu Pemilu secara sistematis penuh kecurangan, tingkat partisipasinya biasanya sudah diskenariokan sejak awal, termasuk hasil Pemilu yang bisa dipastikan bakal dimenangkan Golkar. Bahkan pada Pemilu Legislatif tahun 1971, tingkat partisipasinya mencapai 96,6%.Atau hanya 3,4% dari penduduk Indonesia yang telah memiliki hak pilih yang tidak berpartisipasi.

       Setelah regim Orde Baru tumbang dan digantikan dengan era reformasi, tingkat partisipasi pemilihnya cenderung dinamis dan fluktuatif. Nyaris sulit ditebak. Termasuk hasil Pemilunya. Pada  Pemilu 1999 misalnya, tingkat partisipasi pemilih mencapai 92,6 persen. Kemudian  turun drastis menjadi 84,1 persen pada Pemilu 2004.

       Selanjutnya pada Pemilu 2009,    tingkat partisipasi pemilih semakin menurun yang hanya mencapai 70,9 persen. Partisipasi pemilih sempat membaik pada Pemilu 2014 (Pileg mencapai 75 persen persen. Lalu pada Pilpres 2014 mencapai 70%. Lalu meningkat cukup drastis di PemiluSerentak 2019  mencapai 81%.

       Sedangkan tingkat partisipasi pemilih pada  Pilkada 2015 mencapai 70 persen, pada Pilkada Serentak 2017mencapai 74,20 persen, dan Pilkada Serentak 2018mencapai 73,24 persen. Dari jumlah tersebut, tingkat partisipasi perempuan tercatat lebih tinggi, yakni: di angka 76,7 persen. Sementara tingkat partisipasi pemilih laki-laki hanya 69,32 persen

Pilkada Serentak 2020

       Bagaimana dengan tingkat partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2020? Apakah target KPU yang mematok tingkat partisipasi pemilih mencapai 77,5 persen, masih rasional? Banyak kalangan meragukan, angka partisipasi pemilih yang dipatok oleh KPU. Trend penurunan tersebut tak lain sebagai dampak dari mewabahnya pandemi virus corona (Covid-19) maupun kekuatiran dari banyak masyarakat akan terpapar Covid-19 manakala berpartisipasi aktif di Pilkada. 

Hal ini terkonfirmasi dari hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis pada Sabtu (5/9/2020) yang menyebutkan, tingkat partisipasi pemilih berpotensi terkoreksi 20-46 persen.  Angka tersebut didapatkan LSI setelah melakukan survei mengenai Pilkada 2020 di belasan daerah yang mengikuti pilkada. Sayangnya, LSI tidak menjelaskan secara rinci soal metode dan responden survei.

Prediksi serupa dilansir Indonesian Public Institute (IPI) yang menunjukkan, bahwa mayoritas responden atau hampir 80 persen menyatakan was-was datang ke TPS saat Pilkada 2020. Salah satu alasannya karena pemilih merasa takut lantaran pandemi Covid-19 yang sampai saat ini angka penularannya masih tinggi.

Sementara survei Indomatrik terhadap Pilkada Kabupaten Karawang sebagai case, yang dilakukan pada 31 Oktober hingga 4 November 2020 menghasilkan temuan, sekitar 65 persen, pemilih akan memberikan pencoblosan. Diantara alasannya karena kewajiban,ikut-ikutan tetangga, adanya pasangan calon yang harus menang untuk memperbaiki keadaan di Kabupaten Karawang, dan lain-lain. Sedangkan alasan tidak memberikan suara antara lain karena tidak tahu memilih pasangan yang mana, Pilkada langsung tidak ada gunanya dalam perbaikan keadaan,hanya menguntungkan calon saja, dan sebagainya.

Selain karena dampak pandemi Covid-19, trend turunnya tingkat partisipasi pemilih di Pilkaad 2020 terkait pula dengan kurang efektif dan maksimalnya  kampanye digital. Menurut catatan Bawaslu, pada 10 hari pertama kampanye, tercatat 69 kampanye digital. Pada 10 hari kedua, naik menjadi 98 kampanye digital. Periode berikutnya, menurun menjadi 80 kegiatan, dan pada 10 hari keempat berkurang lagi menjadi 56 kegiatan kampanye digital.

Melihat statistik tersebut, jika diasumsikan satu pasangan calon melakukan satu kali kampanye digital selama periode 10 hari, hanya 7,5% yang menjumpai calon pemilihnya melalui dunia maya. Artinya, lebih 90% pasangan calon yang masih memilih kegiatan kampanye tatap muka. Dampaknya, Bawaslu banyak menemukan pelanggaran terhadap Prokes Covid-19, yakni hingga mencapai 1.315 kasus.

Sedangkan data dari KPU menyebutkan, kampanye Pilkada melalui daring masih jarang dilakukan karena hanya sebanyak 0,4 persen. Sementara itu, kegiatan kampanye dengan pertemuan terbatas mencapai 42,7 persen. Data tersebut berdasarkan laporan monitoring kampanye pada Pilkada 2020 hingga 13 November 2020.  Menurut anggota KPU Hasyim Asyari dalam rapat Komisi II secara virtual, Rabu (18/11/2020), jarangnya kampanye daring dikarenakan akses internet yang masih belum menjangkau keseluruhan daerah.

Hal senada dikatakan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Henri Subiakto. Menurutnya,  ketersediaan infrastruktur digital menjadi kendala dalam kampanye daring. Terutama di wilayah 3T yakni: tertinggal, terdepan dan terluar Indonesia. Jumlahnya masih ada belasan ribu wilayah yang belum terjamah internet. Dengan demikian, kampanye daring di wilayah-wilayah tersebut menjadi tak memungkinkan.

Tantangan dan Pertaruhan

Mendongkrak partisipasi pemilih di Pilkada di tengah pandemi Covid-19 menjadi tantangan berat bagi semua pemangku kepentingan Pilkada, khususnya jajaran Penyelenggara Pilkada. Rasanya agak sulit untuk dapat mencapai tingkat partisipasi pemilih sebesar 75,5 sebagaimana dipatok oleh KPU. Bahwa hingga kini KPU belum pernah merevisi target partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2020?Ini menarik untuk diketahui argumen atau rasionalitasnya. Sayang jawaban dan informasi itu belum diperoleh.

Terlepas dari teka-teki mengenai kalkulasi KPU tersebut, diperlukan pemikiran dan langkah cerdas dan terukur agar tingkat partisipasi pemilih di Pilkada Serentak 2020 tidak anjlok drastis hingga di bawah 60 persen, apalagi hingga mencapai 50 persen.Pertama, pemangku kepentingan khususnya KPU dan Bawaslu harus mampu berkomunikasi dan meyakinkan publik bahwa gelaran Pilkada 2020 akan aman dari penularan Covid-19. Penegasan ini penting untuk menghindari keraguan publik akan bahaya Pilkada.

Kedua, pemangku kepentingan Pilkada mampu meyakinkan publik/pemilih akan makna penting dari Pilkada. Publik harus mampu diyakinkan, dengan berpartisipasi di Pilkada menjadi instrumen untuk melahirkan pemimpin-pemimpin lokal yang profesional dan berintegritas dalam mengatasi berbagai problem bangsa dan wilayahnya. Jika tidak bisa dilakukan, hal ini berpengaruh pada minat dan motivasi pemilih datang ke Tempat Pemungutan Suara.

Ketiga, untuk mampu mendongkrak tingkat partisipasi pemilih di kisaran angka 70-an persen, Penyelenggara Pemilu harus bekerja ekstra keras, penuh kreativitas dan inovasi mengampanyekan akan pentingnya Pilkada dan partisipasi pemilih. Jikapun terpaksa terjadi penurunan, maka penurunannya tidak sampai anjlokhingga ke level kritis = 40 atau 50 persen. Maksimal di kisaran 60 persen. Jika partisipasi pemilih anjlok dan apalagi menjadi klaster penyebaran Covid-19, pasti akan mendegradasi dan mendelegitimasi hasil Pilkada.

Pilkada 2020 menjadi pertaruhan tersendiri akan kredibilitas Penyelenggara Pemilu dan pemerintah. Karena dua institusi inilah yang paling ngotot melaksanakan Pilkada di tengah pandemi Covid-19. Padahal, banyak pihak menyarankan penundaan jadwal Pilkada.Sayangnya ketiga institusi tersebut tidak bergeming. Tentu kita tidak ingin berangan-angan negatif. Tetapi jika kenyataan pahit itu terjadi, yakni: partisipasi pemilih mengalami anjlok drastis, pemerintah dan Penyelenggara Pilkada tidak boleh lari dari tanggungjawab.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *