Feature
Kejahatan Pemilu (8)
Bagian ke delapan ini Ir. Andrari Grahitandaru MSc, Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik pada lembaga Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengungkapkan bahwa sistem e-verifikasi bisa menangkal kejahatan Pemilu. Namun, bagaimana respons KPU dan masyarakat? Simak hasil perbincangannya berikut ini.
Peraturan KPU untuk memberi peluang kepada pemilik KTP-elektronik ikut mencoblos meski tidak memiliki surat undangan. Bagaimana pengawasannya?
Ya bawa KTP el aja tetap bisa diverifikasi. Dari KTP dicocokkan fotonya, sama nggak.
Kalau KTP-el nya palsu bagaimana?
Ya nggak bisa. Makanya itu, karena ada peraturan bisa ikut nyoblos dari jam 12.00 sampai jam 13.00 tanpa surat undangan itulah akhirnya menjadi peluang orang memalsukan KTP-el. Karena di situ terbuka lebar kan.
Memang nggak akan ketahuan kalau KTP el nya palsu?
Nggak ketahuan. Coba kalau dulu desain KTP-el itu chipnya kelihatan kayak kartu kredit. Ini kan dibungkus. Nggak kelihatan jadinya. Dan yang terjadi kan memalsu KTP-el jadi mudah. Apa susahnya sih? Kartu PVC biasa diisi sendiri datanya terus dilaminating saja udah jadi. Makanya dengan reader ini, begitu ditempel nggak ada bunyi ‘NUT’, berarti KTP-el nya palsu.
Sebetulnya, fungsinya apa sih DPT itu diupload ke laptop?
Fungsinya adalah pertama, mencegah NIK ganda. Kedua, mencegah NIK tidak sesuai domisili, ketiga, mencegah NIK fiktif. Kalau secara manual, bayangkan ini kan cuma secarik kertas kan? Nanti pada prakteknya pemilih yang datang dengan nomor urut sekian, ditulis. Nah, ketika ini kami praktekkan di Pilkades, apa yang terjadi? Terbukti banyak pelanggaran kan? Karena ini sistem. File nya di up load ke sini (laptop). Kalau ada NIK ganda, ditolak mbak. Nggak bisa. Ini sudah dipraktekkan di 160 desa lho.
Hasilnya bagus ya?
Oh iya. Kalau nggak, kami nggak akan rekomendasikan e-verifikasi ini ke tingkat nasional.
Konsep e-verifikasi ini sudah diajukan ke KPU Pusat?
Sudah, berulang kali.
Tanggapannya bagaimana?
Hehehe… ya begitulah. Mungkin dengan kejadian KTP-el palsu ini, baru mereka mau membuka mata. Ceritanya begini. Waktu FGD (Focus Group Discusion) pertama kami menyampaikan konsep ini, awal Mei 2016 lalu. Apa katanya? Yang ribut LSM. Bu, kan nggak semua orang punya KTP. Begitu dia bilang. Lalu saya katakan, coba Pak Dukcapil yang jawab, jangan saya. Jawaban Pak Dukcapil apa? Kalau nggak punya KTP ya bukan WNI dong. Hehehe…
Mengada-ada nih LSM. Terus apa lagi komentar yang lain?
Ada lagi yang tanya, kalau orang Tanah Tinggi dan banyak daerah yang abu-abu bagaimana? Kan pemerintah nggak akan memberikan KTP bagi warga yang tinggal di daerah abu-abu? Contohnya Tanah Tinggi. Pak Dukcapil tak suruh jawab lagi pertanyaan ini.
Jawaban Dukcapil apa?
Yaa.. pemerintah itu boleh memberikan KTP tapi tidak harus di alamat daerah abu-abu. Satu rumah boleh KKnya ada 10. Lebih juga boleh. Orang-orang yang tinggal di daerah abu-abu itu, coba ditanya, belum tentu nggak punya KTP. Kalau nggak, dia nggak bisa ngurus apa apa. Tapi, KTPnya tentu KTP daerah. KTP nebeng tetangganya. KTP nebeng keluarganya. Tapi, dia pasti punya KTP. Ini celah ya. Nanya terus orang itu.
Ada lagi komentar miring?
Ada lagi yang komentar, itu orang Ahmadiyah kan nggak mau ditulis agamanya Islam. Jadi dia nggak mau punya KTP. Soalnya nanti ditulis agamanya Islam, padahal dia nggak mau. Ya ampun sampai segitunya lho. Terus jawaban Dukcapil begini, kan kolom agama boleh nggak diisi. Hahaha… mati kutu dia. (bersambung)