Connect with us

Agribisnis

Keberadaan Satgas PKH Bakal Gerus Penerimaan Negara dari Komoditas Sawit

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Pemerintah diminta memahami duduk persoalan 3,5 juta hektare (ha) lahan sawit yang ditanam secara ilegal di kawasan hutan. Karena keberadaannya akibat kesalahan pemerintah di masa lalu.

“Meski pun secara histori belum sepenuhnya benar. Karena keberadaan lahan sawit di kawasan hutan tersebut akibat kesalahan pemerintah di masa lalu,” ujar anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo dalam keterangan resminya, Selasa (1/4/2025).

Dalam prosesnya, kata Firman, dari data Kementerian Kehutanan ditemukan tentang industri sawit, terdapat ketelanjuran jumlahnya 3,5 juta ha lahan.

“Bagaimana cara menyelesaikannya? Kan tidak bisa yang seperti itu kita lepaas. Faktanya juga kita memungut pajak dari mereka, kita dapat feedback dari dana ekspor,” ungkap Firman.

Akhirnya, lanjut Firman, dicarikan solusi, dengan melakukan pemutihan terhadap ketelanjuran lahan sawit di kawasan hutan. Pemutihan yang diusulkan berupa legalisasi lahan sawit yang dikategorikan ilegal.

Namun, kata Firnan, setelah DPR bersama pemerintah melakukan penyisiran data, terdapat setidaknya 3 pengelompokan data terkait kepemilikan lahan sawit di atas 3,5 juta ha lahan yang terindikasi ilegal.

“Pertama itu ada kelompok petani yang juga bagian dari petani-petani yang mendapatkan program transmigrasi di zaman Pak Harto kemudian setelah reformasi terlantar, ini menjadi tidak bertuan, tidak ada izin dan sebagainya. Ini yang kita putihkan,” tutur Firman.

Namun, masih kata Firman, ketika itu ada petani dengan kepemilikan luasan lahan mencapai 100 ha meminta pemutihan.

“Kami nggak mau! Kalau 100 hektare itu bukan petani, sudah masuk kategori pengusaha,” tegas Firman.

Sebagai solusi, DPR RI menggunakan terminologi yang ada di UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, bahwa kepemilikan lahan yang dikategorikan sebagai petani maksimal adalah 2 ha.

Tetapi dalam kasus sawit ini, lanjut Firman, akhirnya DPR menyepakati jumlah minimal kepemilikan lahan petani adalah 5 ha. Lebih dari itu dikenakan sanksi administrasi yaitu denda.

Firman mengatakan, ada kelompok dua, yakni pelaku usaha yang sudah memproses izinnya dan dibolehkan menanam sambil menunggu HGU.

Namun muncul surat keputusan Menteri Kehutanan di era Zulkifli Hasan tentang penetapan kawasan hutan. SK tersebut lantas memuat lahan sawit yang kadung memproses izin sebagai kawasan hutan.

“Nah lahan kelapa sawit yang ditanam oleh perusahaan ini tiba-tiba masuk di kawasan hutan. Entah bagaimana itu ceritanya,” tukas Firman.

Menurut Firman, permasalan itu bukan kesalahan pengusaha. Itu adalah sebab akibat dari kebijakan pemerintah.

“Maka tidak fair bila mereka dikenakan sanksi besar, oleh karena itu diberikan pengampunan dalam bentuk sanksi denda,” tutur politisi senior Partai Golkar ini.

Seharusnya, kata Firman, pemerintah memberikan concern penindakan dan pemberlakuan sanksi kepada kelompok ketiga, yakni perusahaan sawit yang menabrak aturan dan tak memproses izin tanam.

“Mereka tahu itu kawasan hutan, tapi mereka tetap memaksa menanam di situ. Nah ini yang harus dikenakan sanksi seberat-beratnya,” tegas Firman.

Menurut Firman, sanksi seberat-beratnya adalah dikenakan sanksi denda dan diberikan kesempatan dua siklus panen, setelah itu lahan wajib dikembalikan ke negara. (yog)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement