Connect with us

Kabar

Gugusan Pulau Terluar RI di Maluku Jadi Target Cengkeraman AS-China

Published

on

MALUKU, JAYAKARTA NEWS – Konflik agraria di Kepulauan Aru-Maluku terpanggang panas. Nyaris sulit berkesudahan. Dari analisis geopolitik Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Engelina Pattiasina, konflik masalah pertanahan di wilayah perbatarasan Indonesia – Australia itu tak terlepas dari tarung pengaruh di Pasifik Selatan.

Kepada JayakartaNews, Sabtu petang (8/7/2023), Dipl.Oec tamatan Bremen University Jerman itu memastikan AS dan China yang bakal unjuk kekuatan dalam pertarungan penguasaan merebut pengaruh politik, ekonomi, maupun pertahanan itu di Kawasan Pasifik itu.

Engelina sempat menggelindingkan narasi itu saat menjadi narasumber pada seminar bertajuk “Penguatan, Percepatan Pelaksanaan, dan Perlindungan Masyarakat Adat Kepulauan Aru untuk Penyelesaian Konflik Agraria”. Seminar diselenggarakan oleh Papua Study Center di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin-Jakarta, Rabu lalu (5/7/2023).

Narasumber lain yang dihadirkan: Guru Besar Kajian Politik Agraria IPB Prof. Endriatmo Soetarto, Anggota DPR-RI Mercy C. Barends, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia Mufti Fathul Barri,  Komisioner Komnas HAM Saurlin Siagian, dan Fungsionaris Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Erasmus Cahyadi.

Engelina, mantan anggota DPR-RI Fraksi PDI Perjuangan, menyebut pergeseran geopolitik ke kawasan Pasifik menjadi latar utama mendidihnya syahwat ekspansi AS-China (RRC) untuk menancapkan pengaruh kekuasaan kawasan geopolitik maupun geoekonomi baru.

Engelina Pattiasina

Aliansi AUKUS

China, kata dia, mengandalkan kekuatan pertarungan melalui permodalan, duit. Adapun AS, mengkonternya melalui kekuatan menggandeng konco kental: Australia dan United Kingdom (Britania Raya). Gayung pun bersambut, dan terbentuklah aliansi anyar pada 2021 berjuluk AUKUS (Australia-United Kingdom-United State of Amerika). 

AS pun tak kepalang tanggung memperkuat AUKUS bertarung lawan RRC.  Kepada sesama konco AUKUS, pada Maret 2023, AS menyatakan komitmen bahwa di negara kanguru, Australia, akan AS siap kembangkan delapan armada kapal selam nuklir, berdaya jelajah dan berkecepatan tinggi.

Engelina mengatakan, kekuatan dan jarak jelajah delapan armada ikan besi bersenjata nuklir itu, hampir mustahil tidak menjadikan perairan kawasan timur sebagai jalur perlintasan.

“Ya, memang seperti itu daya persaingan pengaruh di kawasan Pasifik. Tetapi, kita (negara) sepertinya melupakan kawasan ini,” tengarai putri Brigjen TNI-AD (Pur) Johannes M Pattiasina, pejuang kemerdekaan Indonesia 1945 dan  pelopor industri minyak di Indonesia ini.

Dia pun mengingatkan bahwa sebagian besar kawasan timur berada dalam gugusan Pasifik, yang dapat dilihat secara kultural dan etnosentris dari ras Melanesia. Untuk itu, menurutnya, Indonesia sesungguhnya harus memainkan peran yang strategis di kawasan ini.

Dia juga mengaitkan kunjungan Presiden Jokowi ke Australia yang berlanjut ke Papua Nugini. Menurutnya, kunjungan itu tidak lepas dari situasi Pasifik yang menjadi sasaran pertarungan kekuatan global. Apalagi, kata Engelina, di sekitar Kepulauan Aru ini memiliki sumber energi yang dapat dimanfaatkan dalam situasi pertempuran.

Kepulauan Aru, Maluku.

Kapal Selam AUKUS

Dalam telaah Engelina, apa yang terjadi di Kepulauan Aru, melibatkan banyak pihak yang berhasrat memiliki posisi strategis. Itu lantaran gugusan pulau berada di sekitar Laut Arafura, suatu posisi langsung berhadapan dengan Australia. “Tidak mungkin kalau kapal Selam AUKUS itu jadi tidak beroperasi di Arafura,” tandas Engelina.

Namun dia mengatakan, pemerintah harus memastikan jaminan perlindungan terhadap masyarakat lokal di Kepulauan Aru, termasuk berbagai sumber daya alam. Dia meminta agar pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan secara ajeg, konsisten.

Pertahanan Negara yang terbaik, imbuhnya menjelaskan, adalah menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat, bukan dengan membangun basis militer. Apalagi sampai mengorbankan rakyat. Masyarakat berhak mempertahankan ruang kehidupannya. “Berikan mereka kesejahteraan karena itu pertahanan terbaik,” ujar Engelina.

Menurutnya, dengan pergeseran geopolitik global ke kawasan Pasifik, sudah saatnya Indonesia mulai membangun dari kawasan timur. Akan tetapi, jika terus mengabaikan kawasan timur, maka Indonesia akan semakin tertinggal di Pasifik.

Engelina juga menyoroti kemiskinan di Maluku, seperti halnya di Papua dan NTT. Menurutnya, kemiskinan di sana sangat sulit diatasi, karena keberadaan sistem yang membuat kawasan timur tidak bisa mengejar ketertinggalan.

Dana alokasi umum, ungkap dia, ditetapkan dengan menggunakan kriteria jumlah penduduk dan luas wilayah darat. Sementara Maluku jumlah penduduknya sedikit dan luas darat sangat kecil, karena terdiri dari pulau-pulau kecil. “Sampai kapan pun anggaran yang ada di Maluku akan tetap kecil, karena diatur seperti itu,” tegasnya.

Menurut Engelina, dana dari pusat ke Maluku stagnan dari tahun ke tahun, karena jumlah penduduk sedikit, luas daratnya pun kecil. Kalau situasinya terus seperti ini, maka akan sulit untuk keluar dari kemiskinan. Sementara investasi dari luar terus mengalir yang berpotensi menjadikan masyarakat adat dan lokal tersisih.

Engelina mengingatkan, agar permasalahan tanah yang menyulut konflik di Kepulauan Aru direspon dengan cerdas, sehingga masyarakat lokal tetap memiliki ruang lingkungan yang memungkinkan kenyamanan.

Kalau mengedepankan pendekatan hukum semata, yang kental prosedural, kata Engelina, maka sudah terlalu banyak pengalaman menunjukkan, masyarakat lebih sering kalah melawan institusi negara dan korporasi. Maka, pungkas Engelina, masyarakat memperkuat konsolidasi untuk melakukan perlawanan politik yang dapat berujung pada konflik vertikal. (Leste)

Continue Reading
Advertisement
1 Comment

1 Comment

  1. Otto Idris RH Tuasamu

    July 10, 2023 at 10:27 am

    Sengketa Agraria di Kepulauan Aru . Konflik Horizontal masyarakat hukum adat Kepulauan Aru dengan pihak TNI Al dan Corporate, perlu mendapat perhatian khusus dari Pemerintahan Jokowi. — Masyarakat adat Aru harus dilindungi termasuk hak-hak kepemilikkan tanah maupun tata ruang lingkungan hidup mereka.–Konflik pertanahan di Aru, menurut Engelina Pattiasina, secara secara sadar atau tidak, bahwa pemerintah seakan memberi beban kesenjangan yang begitu tak merata(inequity) terhadap realitas kehidupan sosial di Aru. Sederetan panjang kasus tanah masyarakat adat yang semestinya di”Finalisasikan” dengan baik , justru menjadi “bola panas” bagi kepentingan kekuatan modal. –Kekwatiran Engelina Pattiasina,adalah bentuk kepedulian sosial terhadap konflik antara masyarakat dengan pihak- pihak yang meng-atas namakan, demi kepentingan teritorial negara.— Perlu kesadaran Kolektifitas untuk memposisikan diri sebagai “juru selamat” bagi kepentingan masyarakat hukum adat, bukan sebaliknya, segala tetek-bengek ditukangi, dikemas,kemudian ditentukan oleh Jakarta, pemerintah pusat. “Kemasan” perampasan hak milik tanah adat Aru ( ulayat) sangat bervariatif modelnya yang dilakukan oleh pihak- pihak terkait, Itu sama halnya pemerintah telah mencederainya hak- hak dasar masyarakat hukum adat Aru Provinsi Maluku.-Oleh karena itu konflik sengketa tanah adat Aru dapat dikatagorikan sebagai pelanggaram HAM, dimana pelanggaran ini termasuk dalam katagori pelanggaran mendasar, paling esensial. — Meminjam Prof Dr,Muladi, SH, sehubungan dengan perampasan hak milik seseorang, hak milik orang banyak( masyarakat), bahwa dinyatakan sebagai hak privasi kemanusiawian semesta (universal) yang tidak boleh sama sekali diganggu oleh apapun dan siapapun,apalagi dibuat tak berdaya dan dicedarai. — Dalam tulisaanya,”In Dubio Pro Reo'(2012), Prof Muladi membedah permasalahan HAM dalam tiga fase perkembangan atau tiga fase generasi sebagai pencerahan pemahaman dalam lanskap pembangunan:” Pada generasi pertama, HAM mencakup hak-hak sipil dan politik.– Generasi berikutnya, kedua, HAM merentang meliputi HAM ekonomi, HAM sosial dan HAM budaya.– Pada generasi ketiga, HAM merentang lebih jauh lagi menyentuh hak lingkungan hidup yang sehat atau HAM lingkungan.— HAM generasi ketiga inilah merupakan HAM kekinian yang mencakup tiga persoalan utama yang sangat asasi: Pertama, adalah: Hak untuk bebas (merdeka) dari rasa takut atau rasa kwatir (freedom from fear). Kedua yaitu, Hak untuk bebas (merdeka) dari kemiskinan ( freedom from want). Berikutnya dan yang ketiga adalah,Hak untuk bebas (merdeka) dalam suasana hidup dan kehidupan yang bermartabat atau freedom to live in dignity.- Hak- hak inilah, merupakan faktor prinsipil HAM yang tidak boleh dilirik dengan sebelah mata oleh sebuah negara.Pendekatan teoriritis Prof Muladi ini, dapat Saya pakai sebagai salah satu rujukan terhadap konflik agearia yang kini dialami oleh masyarakat Adat Kepulauan Aru. Dengan demikian capaian dan target penyelesaian konflik tanah di Aru, sejajar dengan visioner Direktur Archipelago Solidarity Foundation,artinya, kita menyelesaikan konflik dan sengketa agraria di Aru dengan pendekatan Politik will sebagai media paling ampuh dan memperoleh legalitas dari negara. – Jika upaya ini tidak mendapat ” ruang dan tempat” bagi penyelesaian secara konprehensip, maka Saya kira Provinsi Maluku yang juga punya andil besar terhadap RI ini, akankah ” Berteriak”!!! . — – Komentar,Otto Idris RH, Matras news.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Advertisement