Connect with us

Feature

Reog, Nasibmu tak Setenar Namamu

Published

on

REOG Ponorogo, Jawa Timur pernah diklaim sebagai budaya Malaysia. Para begawan budaya dan masyarakat Indonesia pun berteriak lantang, Malaysia merebut budaya asli Indonesia, tepatnya budaya masyarakat Ponorogo.

Adalah Pemeritah Kota Surabaya, dalam hal ini Dina Pariwisata-nya, yang kemudian meneguhkan posisi reog sebagai budaya asli Indonesia, khususnya Jawa Timur, melalui kegiatan penampilan seni reog secara rutin setiap hari Minggu pagi. Grup-grup reog yang ada di Kota Surabaya, diberi kesempatan tampil secara bergilir di pelataran parkir Balai Pemuda, Surabaya.

Di lokasi yang sarat dengan nuansa sejarah mempertahankan kemerdekaan, kini menjadi area sakral bagi seni reog yang juga sakral. Di tempat inilah dulu, gerakan 10 November disusun oleh para pejuang kemerdekaan. Saat ini, di area yang sama, grup-grup reog menampilkan kepiawaian mereka dalam nuansa teater arena. Para penonton mengelilingi area pertunjukan.

Pergelaran reog Ponorogo, tersaji berurutan dari tari pembuka, tari para warok dan gelar kepiawaian memainkan reog. Gelar reog akan mengingatkan pada sejarah panjang Majapahit, saat prabu Bhre Wirabumi yang merupakan prabu kelima Kerajaan Majapahit berkelana keliling wilayah kekuasaannya untuk berdialog dengan rakyat. Dalam kesempatan itu, tidak arang Prabu Bhre Wirabumi mengeluarkan titahnya.

Reog dalam perkembangannya mengalami pasang surut. Kini, para pengabdi seni reog umumnya hidup dalam keadaan pas-pasan. Artinya, seperti halnya pelaku seni tradisi yang lain, maka para pemainnya tidak bisa mengandalkan seni reog sebagai gantungan nafkah.

Arief, seorang pekerja Sanggar Reog Simo, Surabaya mengatakan, sekali tampil, grupnya mendapat uang lelah sekitar Rp 5 juta. Dengan potongan ini-itu, bersih mereka terima Rp 4,2 juta. Sementara, menurut Arief, per sanggar hanya mendapat jatah tampil di pelataran parkir Balai Pemuda Surabaya dua kali dalam setahun. “Di Surabaya ini banyak sekali sanggar reog, jadi per sanggar hanya kebagian dua kali per tahunnya,” ujar Arief pula.

Dengan jumlah pemain yang belasan, bahkan puluhan orang, maka honor Rp 4,2 juta per sekali tampil, sangat tidak memadai untuk menutup biaya hidup. “Kami para pekerja seni reog di Sanggar Simo, menekuni reog semata-mata karena dorongan kuat untuk ikut melestarikan budaya warisan leluhur. Jangan tanya soal kesejahteraan,” ujar Arief, pelan. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *