Connect with us

Kabar

Program LKLB Jadi Sorotan dalam Konferensi Kebebasan Beragama di AS

Published

on

JAYAKARTA NEWS –  Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang saat ini dikembangkan oleh Institut Leimena menjadi salah satu sorotan dalam konferensi kebebasan beragama internasional (International Religious Freedom – IRF) Summit 2023 di Washington D.C., Amerika Serikat (AS).

Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, sebagai salah satu narasumber dalam acara tersebut menyatakan program LKLB dianggap telah berkontribusi untuk memperkukuh kebebasan dan toleransi beragama secara luas.  

IRF Summit tahun ini diadakan pada 31 Januari-1 Februari 2023 sebagai sebuah inisiatif yang melibatkan masyarakat sipil, pemuka agama, dan pemerintah. Acara ini dibuka oleh IRF Summit Co Chair, Sam Brownback (Mantan Duta Besar Keliling AS untuk Kebebasan Beragama) dan Katrina Lantos Swett (President of the Lantos Foundation for Human Rights), serta sambutan lewat video oleh Menteri Luar Negeri AS, Antony J Blinken.  

Matius Ho bersama dua panelis lain yaitu Vice President of Global Operations Institute for Global Engagement (IGE), James Chen, dan Presiden Love Your Neighbor Community (LYNC), Wade Kusack, berbicara dalam breakout track session bertajuk “Developing IRF: Cross-Cultural Religious Literacy Program” (Mengembangkan Kebebasan Beragama Internasional: LKLB).  

“Sesi ini menampilkan pengalaman dari tiga negara dalam memperkukuh kebebasan dan toleransi beragama melalui pendekatan LKLB. Saya berbicara dari pengalaman Indonesia, sedangkan pengalaman lainnya adalah dari Vietnam (James) dan Kazakhstan (Wade),” kata Matius kepada IL News.  

Matius memaparkan kemajemukan Indonesia yang terdiri dari 273 juta orang mencakup 1.331 etnis dan 652 bahasa tersebar di 16.056 pulau. Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar sekaligus demokrasi ketiga terbesar di dunia.  
Dalam perjalanan sejarahnya, kemajemukan Indonesia dipersatukan oleh berbagai kesepakatan (kovenan) seperti Sumpah Pemuda 1928, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945. Persatuan Indonesia itu menggambarkan konsep covenantal pluralism (pluralisme kovenantal) yang menjadi landasan dalam pendekatan LKLB. Artinya, kemajemukan atau pluralisme yang berdasarkan kesepakatan.  

“Dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia, ada dua faktor yang melindungi keberagaman dan kebebasan beragama. Pertama, faktor bottom-up yaitu budaya yang mendukung komitmen timbal balik untuk saling melibatkan, menghormati, dan melindungi yang berbeda agama dan kepercayaan. Kedua, faktor top-down, yaitu kesetaraan hak dan tanggung jawab yang dilindungi Konstitusi,” ujar Matius.  

Menurutnya, kedua faktor itu menjadi karakteristik dari konsep pluralisme kovenantal yang dituangkan oleh Christopher Stewart, Chris Seiple, dan Dennis Hoover dalam artikel berjudul Toward a Global Covenant of Peaceable Neighborhood: Introducing the Philosophy of Covenantal Pluralism, The Review of Faith & International Affairs (2020) dan A Case for Cross-Cultural Religious Literacy, The Review of Faith & International Affairs (2021).  

“Mengapa membahas pluralisme kovenantal ketika bicara LKLB? Karena kata kunci dalam konsep pluralisme kovenantal adalah kovenan atau kesepakatan. Artinya, kesepakatan membutuhkan saling percaya diantara mereka yang bersepakat,” kata Matius.  

Matius menjelaskan rasa saling percaya (trust) tidak akan tumbuh tanpa ada hubungan. Di sinilah pendekatan LKLB menjadi penting karena pada prinsipnya sesuai dengan pepatah “tak kenal maka tak sayang”, sehingga perlu mulai membangun hubungan untuk memperkuat pluralisme kovenantal.  

LKLB pada intinya adalah kerangka untuk menolong kita mengembangkan kompetensi dan keterampilan untuk membangun hubungan dan bekerja sama dengan orang yang berbeda agama dan kepercayaan dari kita. Ada tiga kompetensi yang dikembangkan lewat LKLB yaitu pribadi, komparatif, dan kolaborasi.  

“Saling mengenal saja tidak cukup. Kita harus melangkah menjadi saling bekerja sama karena dalam kerja sama itulah dibangun rasa saling percaya satu sama lain,” lanjut Matius.  
Mitra Luar Negeri  

IRF Summit 2023 juga dihadiri para mitra luar negeri Institut Leimena yang pernah menjadi pembicara dalam webinar internasional seri LKLB yaitu Dubes Keliling AS untuk Kebebasan Beragama Internasional Rashad Hussain, Founder & President Hardwired Global Tina Ramirez, Wakil Presiden Asosiasi Lintas Agama G20 Katherine Marshall, Mantan Dubes Keliling AS untuk Kebebasan Beragama Rabi David Saperstein, Profesor Hukum di Brigham Young University Dr. Brett G. Scharff, dan termasuk Katrina Lantos Swett, James Chen, dan Wade Kusack.  

Hadir pula Ketua Umum Dewan Fatwa Uni Emirat Arab dan Presiden Forum for Promoting Peace in Muslim Societies Syekh Abdallah Bin Bayyah, yang pernah menjadi pembicara webinar internasional kerja sama Kementerian Agama RI dan Institut Leimena mengenai peran agama-agama Abrahamik untuk perdamaian dunia.  

Menurut Matius, kehadiran Institut Leimena dalam IRF Summit menjadi hal penting untuk membagikan pengalaman Indonesia dalam mengelola kemajemukan. Program LKLB di Indonesia merupakan best practice dalam memperkuat nilai-nilai dasar untuk mempersatukan bangsa yang majemuk.  

“Pengalaman bangsa yang besar seperti Indonesia amat penting bagi masyarakat dunia yang semakin terpolarisasi, seperti tertuang dalam laporan UNESCO berjudul Reimagining Our Futures Together. Di sisi lain, program LKLB di Indonesia telah mendapat respons antusias dari para guru dan pendidik hingga sekarang sudah mencapai sedikitnya 3.300 alumni LKLB,” ucapnya.  

Pelaksanaan IRF Summit 2023 merupakan kedua kalinya setelah pertama kali dilaksanakan tahun lalu pada 28-29 Juni 2022 di Washington D.C. Dalam IRF Summit 2022, Institut Leimena diwakili oleh Matius Ho dan Senior Fellow, Prof. Alwi Shihab, serta hadir pula Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Prof. Dr. Yasonna H. Laoly, sebagai pembicara kunci.  

Isu kebebasan beragama internasional menyentuh setiap budaya, bangsa, agama, dan sistem politik. Dikutip dari situs IRF Summit, hampir 80 persen penduduk dunia saat ini tinggal di negara-negara di mana terdapat tingkat pembatasan pemerintah atau sosial yang tinggi terhadap agama.

Pembatasan terus meningkat selama beberapa tahun, sehingga realitas itu berimplikasi menyentuh setiap bidang kehidupan.   IRF Summit diadakan untuk meningatkan kerja sama masyarakat sipil internasional demi mendukung kebebasan beragama di seluruh dunia. ***/isw      
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *