Connect with us

Buku & Sastra

Otobiografi Panda Nababan – Wartawan yang Petarung dalam Pusaran Kekuasaan

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Buku otobiografi adalah buku riwayat hidup yang ditulis oleh sendiri atau bersama orang lain mengenai gambaran kejadian atau peristiwa yang dialaminya sepanjang hidupnya, baik sisi kelam maupun rekam jejak yang dilaluinya.

Banyak tokoh terkenal baik di Indonesia maupun di dunia internasional yang menulis dan menerbitkan buku otobiografinya. Politikus, pengacara, pemimpin partai, pengusaha, seniman, olahragawan maupun wira usaha yang sukses dan bertabur nama harum menulis otobiografinya.

Berdasar catatan di Toko Buku Gramedia dan Gunung Agung, beberapa buku otobiografi sempat ‘best seller’ belakangan ini, misalnya buku tentang Bung Karno, RA Kartini, Mahatma Gandhi, Alex Ferguson (pelatih bola di Manchester United), Sutan Syahrir, Anne Frank, Tan Malaka, Panda Nababan dan masih banyak lagi.

Ada yang diangkat dari catatan harian, menulis sendiri semasa hidup atau ditulis oleh orang lain. Buku tentang perjalanan hidup dan kehidupan Bung Karno yang ditulis oleh Cindy Adams menuai pujian karena hampir setiap tahun dicetak ulang.

Demikian pula halnya catatan harian seorang demonstran dan aktivis kampus bernama Soe Hok Gie yang berserakan kemudian dikumpulkan dan ditulis kembali menjadi sebuah buku dan diterbitkan oleh LP3ES sukses ‘box office’ di pasaran (bahkan, setelah difilmkan oleh Riri Riza dan covernya diganti, buku ini sempat ‘meledak’ lagi).

Lalu, apa yang menarik dari buku biografi  wartawan senior Panda Nababan (Lahir sebagai petarung) ? Buku setebal 1050 halaman (terdiri atas 2 buku) yang diterbitkan oleh PT Mahkamah Keadilan Indonesia dan dicetak di Gramedia ini termasuk ‘laris manis” dan best seller (penjualan terbaik) yang diminati kalangan wartawan,   mahasiswa dan pustakawan.

Dalam buku satu ‘Menunggang Gelombang’ yang terdiri atas 18 Bab, Panda menceritakan ihwal naluri survive yang telah ditempa selama puluhan tahun di Siborong-borong, Sumatera, ternyata melahirkan nilai tambah bagi dirinya.

“Dalam melakukan kerja jurnalistik, saya kerap melakukan apa yang dianggap berbahaya bagi orang lain tapi saya sendiri memandangnya tak berbahaya untuk mendapatkan serta menyajikan informasi yang lebih lengkap dan lebih dalam lagi kepada pembaca,” tulis Panda di buku ini.

Panda muda kala itu berpikir tulisannya menyangkut kepentingan rakyat banyak, bangsa dan negara pun telah menjadi bagian dari kehidupan dirinya. Harga dari keingintahuan itu ternyata mahal juga.

“Ini benar-benar bekal yang sangat berharga yang membuat hasil liputan saya mendapat apresiasi dari banyak kalangan,” kata Panda yang pernah menerima penghargaan Adinegoro yang diadakan oleh PWI Jaya (sebagai wartawan pertama).

Maklum, saat itu di masa rezim Soeharto banyak informasi yang tak dapat disiarkan dan diberitakan.  Informasi itu puluhan tahun mengendap dalam arsip dokumentasi pribadinya.

Jujur, buku pertama otobiografi ini lebih menekankan pada perjalanan Panda sejak kecil sampai menjadi wartawan. Dalam bab 14, Panda secara rinci dan elok mengisahkan wawancara dengan Pramudya Ananta Toer (pengarang, aktivis Lekra/PKI) di Pulau Buru dan Westerling, gembong Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda yang bertanggung jawab atas pembantaian 40 ribu warga Makassar  pada tahun 1946. 

Ada perkataan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling bahwa dia tidak setuju dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang identik dengan Soekarno. Karena dalam pandangan Westerling, bentuk negara Federasi Pasundan dan Negara Indonesia Timur yang ia dukung gagal berdiri karena tindakan Soekarno dengan konsep NKRI.

Buku satu Panda Nababan ‘Menunggang Gelombang’

“Saya benci Soekarno karena dia orang Jawa. Saya hampir membunuh Soekarno tapi tidak jadi, karena nanti dia menjadi martir,” beber Westerling kepada Panda.

Dalam buku satu ini, banyak hal dan peristiwa menarik yang ditulisnya, misalnya ketika menjadi aktivis mahasiswa, berteman dengan seniman (Rendra, N Riantiarno, Iwan Fals dll), ditempa dan menempa harian Sinar Harapan, melindungi nara sumber harga mati, berkisar diantara Jaksa-Jaksa Agung, para Jenderal belajar politik, naluri dan nurani seorang wartawan, M Jusuf memecat para jenderal, rimba raya rezim politik Soeharto, tiga perbedaan Soeharto dengan HB IX, dan membidani Prioritas, Media Indonesia dan Forum Keadilan.

Dalam buku dua, (Dalam Pusaran Kekuasaan) diungkapkan lebih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang menarik yang belum pernah diceritakan (untold story), misalnya metamorfosis dari wartawan menjadi politisi (bab 19) ihwal kedekatannya dengan Taufiq Kiemas, suami Megawati,  (Ketua PDI P), berkiprah di Parlemen, memimpin kasus Trisakti dan Provinsi Babel, bersahabat dengan Prabowo Subianto dan Luhut Binsar Panjaitan, mempersiapkan tiga calon Kapolri, melawan peradilan sesat, siap mati minum Baygon demi terpilihnya Jokowi, tentang Megawati, Gus Dur dan TK dan bab terakhir (28) berjudul Kembali menjadi Wartawan.

“Setelah bebas dari penjara (Panda dua kali di penjara), karena menjadi korban peradilan sesat, Panda kembali lebih beraktifitas di Sumatera Utara dan terpilih sebagai Ketua DPD PDI Perjuangan untuk ketiga kalinya, sampai tahun 2015. Kebetulan, kawan-kawan lamanya mengajak Panda terlibat dalam pengelolaan majalah Forum Keadilan. Hal ini memicu kembali memorinya sebagai wartawan.

Ria Purba, isterinya yang menyemangati Panda agar dirinya kembali jadi wartawan. “Ria, saya sudah menjadi wartawan lagi, sesuai kesenangan dan kebanggaanmu. Dan, saya juga merasa berbahagia,” tulis Panda di bab terakhir (bab 28).

Kini, Panda telah berusia 78 tahun. Semangatnya sebagai petarung dan wartawan masih menyala-nyala. Sebuah buku otobiografi yang sangat berharga dan bernilai bagi wartawan dan generasi muda Indonesia. (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *