Kabar
Ironi Kebaya
JAYAKARTA NEWS— Pandangan mata kita tentu tak abai untuk melihat busana para tamu undangan yang menghadiri pernikahan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang dan Erina Gudono, 11 Desember lalu. Kalangan pejabat, pebisnis, dan pesohor lainnya hadir dengan busana nasional.
Para bapak mengenakan busana kebanggaan yakni batik, ada pula memakai jas, sedangkan kaum ibu nyaris semuanya berkebaya. Masif berkebaya. Laksana busana kebesaran, balutan kebaya itu mencitrakan penampilan lebih menawan dan elegan. Ini bukan sesuatu yang fenomenal, melainkan adat kebiasaan di tanah air. Menghadiri pesta pernikahan maupun acara kenegaraan kaum wanita Indonesia umumnya mengenakan kain kebaya.
Jika realita itu kita sandingkan dengan perbincangan akhir-akhir ini terkait kebaya yang siap didaftarkan negara-negara jiran (Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand) ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda, tentu ini cukup ironi. Apalagi kita (Indonesia) sempat ditawari untuk joint/ bergabung. Lalu komunitas dan pecinta kebaya di tanah air pun akhirnya sepakat untuk joint nomination setelah melalui diskusi panjang. Bukan single nomination.
Memang ini bukan masalah klaim suatu hak milik karya, melainkan lebih pada upaya melestarikan dan merawat suatu budaya. Kita pun merawat dan melestarikan, bahkan kreativitas mengekplor tampilan kebaya dilakukan oleh desainer Indonesia, seperti Anne Avanti. Namun, tampaknya kita kurang tergerak untuk berinisiatif sebagaimana yang dilakukan keempat negara ASEAN di atas.
Di antara bangsa-bangsa ASEAN, perempuan Indonesia paling sering dan masif mengenakan busana kebaya , lebih-lebih dalam acara resmi atau formal, termasuk acara kenegaraan. Kain dan kebaya merupakan pakaian nasional perempuan Indonesia sudah puluhan tahun silam.
Perwujudannnya dapat dilihat dalam pelbagai kegiatan. Perempuan Indonesia ketika mendampingi suami dalam pelantikan jabatan biasanya juga mengenakan kain kebaya. Menghadiri pernikahan pun umumnya berkebaya. Yang punya gawe dan perempuan lain yang berperan dalam acara tersebut umumnya berkebaya. Dan pengantinnya melanggengkan tradisi sekaligus menghadirkan sentuhan kemewahan berkebaya dengan benang-benang warna keemasan yang menyiratkan rona glamor. Baik adat Jawa Yogya, Solo maupun gaya kontemporer dengan-kreasi kekinian namun tetap menghadirkan keanggunan.
Kita pun menyadari, pemakaian kebaya bagi kaum perempuan di tanah air sudah beberapa abad lalu dan masif pula. Namun kita juga mengakui di beberapa negara ASEAN tersebut ada pula kaum perempuan yang kadang bekebaya meski beda desain dan pernik-pernik lainnya.
Seperti diberitakan Jayakarta News beberapa minggu lalu, untuk urusan ke UNESCO, komunitas kebaya Indonesia telah memutuskan joint nomination. Alasannya antara lain, dengan joint nomination menunjukkan jiwa besar Indonesia untuk bersama menjaga dan berbagi budaya. Ini pendapat antropolog D Kumioratih yang juga anggota tim riset Timnas Hari Kebaya dalam suatu diskusi.
Pernikahan Kaesang Pangarep-dengan Erina Gudono seperti membangkitkan lagi ingatan atas isu kebaya. Pesta pernikahan akbar 11 Desember 2022 itu mirip even budaya karena serangkaian prosesi pernikahan tersebut mengeksplor tatacara dan simbol maknawi dari seluruh tahapan yang digelar. Apalagi ada arak-arakan pengantin yang melewati jalan protokol dengan Kereta Kencana menuju Pura Mangkunegaran, tempat perhelatan berlangsung. Dan para tamu khususnya kaum perempuan hampir semuanya berkebaya.
Abad XV di Kraton Yogyakarta
Menurut Siti Nikandaru Chairina dari keluarga Kraton Yogyakarta, secara historis, sejak abad XV kebaya sudah menjadi busana para perempuan di kraton Yogyakarta. Para permaisuri maupun para selir raja sama-sama mengenakan kebaya. Pendapat ini didukung penuturan budenya, Sulasmi Noordijattiroe yang berprofesi sebagai guide Kraton,
Sampai sekarang pun permaisuri dan kelima putri Sri Sultan Hamengku Buwono ( HB X), juga anak , serta menantu Sultan HB IX dalam upacara tradisi seperti Ngabekten, nyebar udik-udik, nyekar, ngapem, & kegiatan formal lainnya selalu memakai kebaya polos maupun kembang. Sementara para kerabat dalem memakai kebaya warna hitam, sedangkan abdi dalem kembenan tanpa kebaya.
Menurut putri sulung Ibnoe Chaeri ini, para perempuan Kraton juga mengenakan kebaya pada saat pisowanan ndalem, grebeg maulud, dan tentu saat ngabekten. Biasanya kebaya dengan desain tanpa kutu baru.
Ketika mengomentari isu kebaya yang ramai dibincangkan belakangan ini terkait upaya keempat negara ASEAN mendaftarkan warisan budaya tak benda tsb ke UNESCO, guru di sebuah SMA di Yogya ini tidak begitu heran. Rina yang juga pekerja seni ini mengatakan, kita acap bergerak terlambat. . “Kita baru berteriak, seperti kehilangan harga diri ketika adat busana itu hendak didaftarkan negara lain ke UNESCO. Akan lebih elegan tentunya jika melakukan tindakan preventif, “ kata Rina yang tinggal di ndalem Pakuningratan, Jalan Sompilan12 Yogyakarta.
Rina juga menuturkan, generasi muda, khususnya di lingkungan kraton, berbusana kebaya boleh dikatakan kegiatan sehari-hari. “Ya, ketika gladhen beksan (latihan menari) para remaja di bangsal Kraton memakai kebaya hitam, tanpa kutu baru, “. Selain gladhen, momen yang pasti harus berkebaya adalah saat ngabekten (bersimpuh di depan Sultan pada hari raya Idhul Fitri). Lalu kain yang dikenakan dalam padu padan kebaya adat Kraton Yogya adalah kain jarit dengan latar putih/coklat dengan jenis gelung tekuk. *** iswati