Connect with us

Feature

Impian Remaja Palestina di Bekas Bandara Gaza

Published

on

Abu Shalhoub (16), mencari burung di bekas bandara internasional Gaza (Foto: reuters)

Oleh: Leo Patty

Bandara internasional Jalur Gaza pernah berdiri dan beroperasi. Sekarang, keadaan sudah lama hancur lebur dan tinggal sisa-sisa bangunan saja. Bandara ini terjepit diantara Hemmed, pos perbatasan Mesir (Rafah) di selatan, dan di timur ada pos perbatasan Israel.

Kemudian ada Hamzah Abu Shalhoub (16 tahun) sedang mencari dan menangkap burung berkicau di bekas bandara internasional Gaza ini. Dia mencoba menangkap burung dengan cara mengundang mereka melalui kicauan burung di kandang, yang sebelumnya ditangkap.

Salah satu jenis burung berkicau, disebut burung emas, sangat berharga, jelasnya. Burung ini tetap rajin berkicau meski ada dalam kandang. Dia bisa mendapat sekitar 400 ribu rupiah se-ekor. Namun dia mengaku hanya sempat menangkap satu burung jenis ini dan lebih banyak menangkap burung berjenis lain, yang lebih murah.

Sementara kakak Shalhoub, Shadi (24 tahun) lebih beruntung. Dia berhasil menangkap 12 burung emas ini. Shadi sudah berprofersi menjadi pengangkap burung sejak 10 tahun lalu.

Buat kakak beradik ini pekerjaan sebagai penangkap burung bukan keinginan mereka. Menangkap burung diantara sampah, yang berserakan di gedung-gedung bekas bandara, tidak menyenangkan. Namun kemiskinan ditambah tingkat pengangguran, di kalangan muda, di Gaza sudah pada kisaran 70 persen. Mereka tidak punya banyak pilihan.

Shalhoub sendiri sudah berhenti sekolah sejak 7 tahun lalu pada usia baru 9 tahun. “Ketika masih sekolah, saya ingin sekali jadi guru, tapi ayah saya mengeluarkan saya dari sekolah agar bisa membantunya mencari uang untuk keluarga,” ujarnya sambil duduk dekat panci kopi yang sedang dididihkan. Dia juga mengatakan dia menyukai pelajaran bahasa Inggris dan Arab.

“Saya ingin kembali sekolah, tapi sudah tidak mungkin lagi, saya keluar ketika masih kelas empat,” tambahnya.

Mereka mencoba menarik burung Emas dengan cara mengikat kaki burung, yang sudah ditangkap, di tanah dan berharap burung lain akan mendekati burung tersebut. Jika ada burung mendekat, mereka langsung melemparkan jaring untuk menangkapnya. Mereka juga menaruh tiga tape yang memperdengarkan kicauan burung dengan harapan burung di udara akan turun. Harga burung, yang mereka tangkap, sekitar 25 ribu rupiah seekor —- cukup untuk membeli makanan.

Tempat berburu burung mereka juga bisa jadi simbol kehancuran harapan Palestina akan kemerdekaan dan independensi ekonomi, ditengah situasi menegangkan dan selalu dalam suasana perang. Sementara hubungan ke dunia luar, Palestina harus melewati Israel atau Mesir dan Gaza juga tidak memiliki pelabuhan sendiri.

Bandara internasional Gaza pernah dikunjungi oleh mantan Presiden AS Bill Clinton pada pembukaannya, 14 Desember 1998, lalu. Lapangan terbang ini juga pernah menerima sejumlah kepala negara termasuk mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela.

Israel menghancurkan bandara pada awal 2001, beberapa bulan setelah peristiwa 11 September 2001 – serangan ke New York. Pemerintah Israel menyatakan ada ancaman keamanan serius menyusul intifada kedua atau Al-Aqsa Intifada.

Pada akhirnya — memenuhi janji Perjanjian Oslo atau sebab keamanan lain — secara sepihak Israel menarik diri dari Jalur Gaza pada tahun 2005 lalu. Kala itu, Israel membongkar pemukimanYahudi dan menarik paksa ribuah pemukim Yahudi di Gaza. Kendati begitu, Israel masih mengontrol secara ketat perbatasan udara, darat, dan laut. Sementara di Selatan, Mesir juga mengontrol dengan ketat.

Pihak Israel menyatakan berbagai pembatasan, di perbatasan, ditujukan untuk mencegah senjata memasuki Jalur Gaza dan mengisolasi Hamas, yang sejak 2007 menguasai wilayah itu setelah mengusir keluar Fatah.

Namun akibat isolasi Israel dan juga Mesir, di selatan, selama bertahun-tahan telah menyebabkan perekonomian Gaza runtuh. Laporan Bank Dunia, September 2018, menyatakan perekonomian Gaza hancur akibat kombinasi dari perang, isolasi, dan pertikaian di dalam kawasan itu. Semua ini membuat masyarakat biasa marah.

Saat konflik terjadi terus menerus setiap hari, sekarang hanya sedikit orang ingat Gaza pernah punya bandara internasional. Abu Shalhoub masih terlalu kecil untuk mengingat bandara ini pernah beroperasi layaknya lapangan terbang internasional lain di dunia. Tapi dia duduk di antara puing-puing bandara, yang jadi pengingatnya.

“Saya bermimpi lapangan terbang ini dibangun kembali,” tuturnya saat beristirahat setelah lelah berburu burung. “Saya bermimpi jadi salah satu penumpang pesawat.”

“Saya juga bermimpi kembali bersekolah” Tutupnya.

Sumber informasi: reuters.com

 

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *