Connect with us

Feature

Hulu-Hilir Satu Komando

Published

on

Jayakarta News – Virus corona satu hal, banjir Jakarta hal yang lain lagi. Keduanya masuk kategori bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendefinisikan, corona masuk bencana non-alam, sedangkan banjir adalah bencana alam.

Fokus dan sibuk mengurusi corona, tidak berarti menomorduakan urusan banjir. Corona sudah masuk Indonesia. Sedangkan banjir, masih menjadi ancaman, setidaknya hingga akhir bulan Maret 2020 ini.

Terkait banjir, BNPB menginisiasi Focus Group Discussion (FGD) Penanganan Bencana Banjir di Jakarta dan Sekitarnya. FGD digelar Senin (2/3/2020) siang sampai sore di Graha BNPB, Jl Pramuka, Jakarta Pusat. Semua pihak yang berkepentingan hadir.

Sekadar menyebut peserta FGD, hadir antara lain Menko PMK Muhadjir Effendy, Kepala BNPB Doni Monardo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, serta Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Unsur TNI/Polri juga dihadiri Pangdam Jaya dan Pangdam III/Siliwangi, Kapolda Metro Jaya, serta Kapolda Jawa Barat.

Gubernur Banten Wahidin Halim tidak hadir, dan hanya diwakili oleh Kalaksa BPBD Provinsi Banten. Ia tampak duduk bersama Kalaksa BPBD Provinsi DKI Jakarta dan Kalaksa BPBD Jawa Barat. Di samping, Kalaksa BPBD Kabupaten/Kota yang ada di wilayah DKI Jakarat, Jawa Barat dan Banten.

Sedangkan Bupati/Walikota yang hadir, di antaranya Walikota Tangerang, Walikota Tangerang Selatan,  Bupati Bogor, Walikota Bogor, dan Bupati Karawang. Ruang Serbaguna Dr Sutopo Purwo Nugroho di lantai 15 itu tampak penuh dengan hadirnya unsur-unsur lain dari PUPR, Kementerian ATR/Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Pertanian.

Selain mereka, hadir pula narasumber istimewa, Emil Salim. Di luar berbagai jabatan setingkat menteri di era Orde Baru, ia tercatat menteri terlama di pos lingkungan hidup, yakni sejak 1978 hingga 1993 (15 tahun).

Kepala BNPB Doni Monardo membuka FGD. (foto: BNPB)

Kembali ke topik FGD Penanganan Bencana Banjir di Jakarta dan Sekitarnya. Doni Monardo membuka dengan pernyataan, bahwa peristiwa bencana kebakaran ataupun banjir merupakan peristiwa berulang dan sifatnya rutin. Untuk itu, solusinya berupa solusi permanen. Di antara banyak pilihan penanganan, yang utama adalah mengelola ekosistem, agar dapat mengurangi dampak bencana.

“Penanganan banjir tidak dapat diselesaikan secara sektoral. Dibutuhkan sebuah program yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir. Saya harap, hasil FGD ini bisa melahirkan satu gambaran yang utuh tentang akar masalah dan rekomendasi solusi permanennya,” tegas Doni.

Dalam kesempatan itu, sumber Ditjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, KLHK menyimpulkan dua hal penyebab banjir Jakarta. Pertama, curah hijan tingga hingga ekstrem. Kedua, limpahan air dari Bogor dan Depok.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. (foto: BNPB)

Pernyataan itu dibenarkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Untuk mengatasi, maka pendekatannya tidak cukup dengan sungai-sungai dan waduk-waduk. Pemerintah harus menjadi institusi pertama yang menerapkan sistem zero run off (sistem tata air hujan). “Di samping, membangun sumur resapan yang berfungsi sebagai tempat tampungnya air hujan yang jatuh,” ujar Anies.

Sementara, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menuding sifat angkuh manusia, menjadi salah satu sebab terjadinya banjir, di samping jumlah sungai dan anak sungai yang banyak. Kang Emil, begitu ia akrab disapa, sedia mengubah lahan kebun seluas 12 hektare menjadi hutan yang memiliki nilai ekonomis dan ekologis.

Bukan hanya itu, ia juga sudah mencanangkan gerakan menanam 50 juta bibit pohon di Jawa Barat, termasuk menanam vetiver untuk vegetasi. Aksi penambangan liar yang sudah banyak ditutup, masih akan dilanjutkan dengan penutupan penambangan-penambangan liar lain yang masih relatif banyak di wilayah Jawa Barat.

“Di luar danau dan situ yang sudah ada, kami juga merancang danau baru. Semua program butuh anggaran. Sumber anggaran juga ada di luar Jakarta, di samping tentu saja anggaran pemerintah pusat dan Pemda DKI Jakarta. Harus ada cross anggaran secara proporsional,” paparnya.

Para peserta FGD yang aktif dan antusias. (foto: BNPB)

Peta Persoalan

FGD berlangsung sangat produktif. Di luar pemateri, para peserta juga terlibat aktif bertanya-jawab. Dalam kesimpulannya, Kepala BNPB Doni Monardo pun mengatakan, bahwa melaui FGD ini pihaknya mendapatkan gambaran hidup tentang persoalan apa saja yang terjadi di semua kawasan.

Bicara kawasan, katanya, ia membagi dalam tiga klaster. Pertama, klaster hulu, terjadinya perubahan vegetasi dan alih fungsi lahan. Kedua klaster tengah, terjadi perubahan ekosistem terutama untuk infrastruktur. Ketiga, klaster hilir, perubahan iklim, yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut.

Menyitir apa yang dikemukakan Prof Emil Salim, bahwa di pesisir utara terjdi proses sedimen yang membuat permukaan tanah di daratan menjadi lebih rendah dari permukaan air laut. “Persoalan-persoalan tersebut tidak mungkin ditangani oleh satu pemerintah provinsi, apalagi satu pemerintah kabupaten/kota. Untuk itu diperlukan payung hukum yang bisa mempersatukan pusat, daerah, kementerian/lembaga dan semua momponen masyarakat, TNI/Polri guna menyelesaikan semua persoalan yang ada di tiga klaster tadi,” papar Doni.

Lahirnya kesepakatan bersama, oleh BNPB akan dirumuskan serta disampaikan kepada Menko PMK sebagai bahan rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo. “Pertemuan ini menjadi formula menyelesaikan persoalan dari hulu sampai hilir secara terintegrasi. Satu komando, tidak penting siapa yang memegang komandonya nanti,” ujar Doni.

Solusi permanen itulah yang diharpakan bisa menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Untuk itu, diperlukan kerelaan hati saling menempatkan diri pada posisi yang tepat, tidak perlu menyalahkan satu sama lain, sama-sama kita pikirkan bersama metode menyelesaikan masalah di hulu, tengah dan hilir. (rr)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *