Connect with us

Entertainment

Women from Rote Island: Korban Kekerasan Seksual di Sekitar Kita

Published

on

Produser, sutradara dan pemeran 'Women from Rote Island' (foto Bintang Cahaya)

JAYAKARTA NEWS— Korban kekerasan seksual ada di sekitar kita. “Enggak usah jauh-jauh. Bisa isteri, keponakan atau adik kita. Hati-hati. Bisa pelakunya kawan atau tetangga kita sendiri,” lontar sutradara Jeremias Nyangoen usai menyaksikan debut penyutradaraannya dalam pertunjukan gala film berjudul ‘Women from Rote island,” di XXI Epicentrum, Jakarta.

Produksi Bintang Cahaya Cinema dan Langit Terang Sinema ini berkisah tentang Orpa yang baru pulang menjadi TKW di Sabah, Malaysia.

Di kampung halamannya di Pulau Rote (NTT) ia mengidap trauma dan depresi. Setelah suaminya wafat ia mengalami perlakuan kurang senang dari lingkungan sekitar. Orpa dilecehkan secara seksual oleh seorang pria bejad setempat. Bahkan, anaknya bernama Martha juga mengalami nasib serupa.

“Saya menulis cerita ini berdasar kisah nyata,” cetus Jeremias Nyangoen yang pernah menulis skenario dan berperan sebagai aktor.

Korban-korban kekerasan seksual umumnya wanita yang masih direndahkan harkat, martabat dan emansipasinya karena budaya patriarki.

“Film ini saya buat tentang wanita. Tentang ibu. Saya punya ibu, anak dan keponakan juga cewek. Ini dilemanya,” terang Jeremias jujur. “One shoot long take,” timpalnya menanggapi pertanyaan wartawan ihwal banyaknya tembakan long shoot di film perdananya.
“Ini konsep saya. Dalam satu tembakan kamera mengisahkan satu efek, satu peristiwa,” imbuh Jeremias lagi.

Produser Rizka Shakira menjelaskan 2,5 % dari pendapatan penayangan film akan diperuntukkan untuk korban-korban wanita akibat kekerasan seksual. “Ini isu sensitif. Tapi kami insan film harus berani mengungkapkan peristiwa ini,” tegas Rizka Shakira yang membawa film ini ke FF Internasional di Busan, Korea Selatan dan beberapa FF lain.

Di dalam negeri, ‘Women from Rote Island’ juga mendapat apresiasi sebagai film terbaik di FFI di Jakarta 2023 (4 piala Citra), film terbaik di FF Tempo dan diputar di JAFF Netpac di Jogjakarta.

Beberapa pemeran lokal menghiasi keelokan film ini, duantaranya Irma Rihi, Linda Adoe, Sallum Ratu Ke, Van Jhoov, Willyam Wolfgang dan banyak lagi pemeran lain. Linda Adoe terpilih sebagai Orpa dalam tes pemeran.

“Saya lihat matanya selalu berair. Dia bekerja sebagai ASN (aparatur sipil negara) di Kupang. Pas jadi Orpa,” komentar Jeremias Nyangoen.

Diakurasi LSF untuk 17 tahun ke atas, film ini akan beredar di bioskop 22 Februari 2024 dan juga bakal ditayangkan di 6 negara jiran.

Sinematografer Joseph Christophorus Fofid secara apik sukses memindahkan keelokan dan keindahan panorama laut nan tenang dan keakraban kaum wanita di Rote ke kamera. Nilai tambah juga patut diberikan kepada Penata musik Leodet.

Irama musiknya begitu bergelora dinamis saat wanita Rote diperkosa dan dilecehkan. Pas tembakan kamera mengarah ke birunya laut nan tenang menghanyutkan, nada musik berubah menjadi kalem merasuk jiwa.

Tiada pemeran terkenal dan bintang dari Jakarta. Syuting di daerah terpencil di NTT dan jauh dari Ibukota RI, toh Women from Rote Island berhasil menyodok nurani kita : ini film terbaik !
Ini kisah kita. One shoot long take! (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *