Connect with us

Kolom

Regulasi Sudah Ada untuk Membenahi Transportasi Penyeberangan

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Musibah Kapal Motor Penyeberangan Royce 1 terbakar di alur Penyeberangan Merak, Provinsi Banten, ke Bakauheni, Provinsi Lampung, Sabtu (6/5/2023), hendaknya menjadi momentum untuk sungguh-sungguh membenahi transportasi penyeberangan secara menyeluruh, agar keselamatan dan layanan lebih terjamin

Carut marut pengoperasian transportasi penyeberangan di negeri ini harus segera diakhiri, jika musibah seperti KMP Royce 1 tidak akan terulang kembali. Regulasi untuk membenahinya sudah ada sejak lama dan infrastruktur pendukung sudah tersedia, tinggal menanti nyali untuk membenahinya.

Regulasi Penguat

Sejumlah regulasi berikut ini akan menjadi patokan untuk membenahi transportasi poenyeberangan. PM Nomor 115 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengangkutan Kendaraan di Atas Kapal. Dalam pasal 3 (1) menyebutkan setiap pelabuhan yang digunakan untuk mengangkut kendaraan dengan menggunakan kapal harus menyiapkan alat timbang kendaraan di area pelabuhan untuk menimbang kendaraan sebelum diangkut di atas kapal.

Setiap kendaraan yang akan diangkut di atas kapal wajib dilengkapi informasi mengenai jenis dan berat muatan termuat dalam Pasal 5 (1). Sementara di Pasal 8 (1), menyebutkan perusahaan angkutan di perairan bertanggungjawab terhadap keselamatan dan keamanan kendaraan beserta penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.

Untuk kendaraan di atas kapal diatur dalam Pasal 17, yaitu kendaraan harus ditempatkan memanjang (membujur) searah haluan atau buritan kapal dan tidak boleh melintang kapal; ruang penempatan kendaraan harus steril dari adanya penumpang selama pelayaran; jarak kendaraan dengan dinding kapal harus sedemikian rupa, sehingga tidak boleh menutupi kran atau katup pemadam kebakaran dan akses jalan orang; dan mesin kendaraan harus dimatikan, perseneling dan rem tangan harus diaktifkan serta semua kendaraan harus diikat ( lashing) dengan alat lashing yang sesuai dengan jarak dan kondisi cuaca pelayaran serta roda kendaraan harus diganjal.

Melihat aturan di atas, nampaknya pelabuhan penyeberangan di Indonesia belum ada yang memiliki alat timbang kendaraan. Sangat berisiko dan akan merugikan perusahaan angkutan jika terjadi musibah kecelakaan di perairan. Oleh sebab itu, secara bertahap harus diadakan alat penimbangan itu di pelabuhan penyeberangan. Jika tidak memenuhi aturan itu, penyelenggara pelabuhan berhak menolak kendaraan untuk masuk ke kapal.

PM Nomor 62 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Penyeberangan mengatur adanya informasi atau himbauan antara lain memuat dilarang merokok, dilarang menghidupkan mesin kendaraan selama pelayaran sampai pintu ramp dibuka kembali, dilarang membuang sampah ke laut, dilarang bersandar di reling, dan pemberitahuan ketika kapal akan berlayar dan sandar.

Pasal 6 PM Nomor 25 Tahun 2016 tentang Daftar Penumpang dan Kendaraan Angkutan Penyeberangan, menyebutkan pengemudi kendaraan wajib menyampaikan informasi kepada penumpang mengenai larangan penumpang berada dalam kendaraan selama pelayaran.

Pasal 5 PM 30 Tahun 2016 tentang Kewajiban Pengikatan Kendaraan pada Kapal Angkutan Penyeberangan, menyatakan jarak antara salah satu sisi kendaraan sekurang-kurangnya 60 cm; jarak antara muka dan belakang masing-masing kendaraan sekurang-kurangnya 30 cm, dan untuk kendaraan yang sisi sampingnya bersebelahan dengan dinding kapal, berjarak 60 cm dihitung dari lapisan dinding dalam atau sisi luar gading-gading (frame).

Pasal 9 PM Nomor 45 Tahun 2012 tentang Manajemen Keselamatan Kapal. Setiap perusahaan harus mengembangkan, melaksanakan dan mempertahannkan sistem manajemen keselamatan yang mencakup fungsi yang dipersyaratkan meliputi (a) kebijakan keselamatan dan perlidungan lingkungan, (b) tanggungjawab dan wewenang perusahaan, (c) personal darat yang ditunjuk ( Designated Persons Ashore/ DPA); (d) tanggung jawab dan wewenang nakhoda; (e) sumber daya dan personil; (f) pengoperasian kapal; (g) kesiapan keadaan darurat; (h) pelaporan dan analisa atas ketidaksesuaian, kecelakaan, dan kejadian berbahaya; (i) perawatan kapal dan perlengkapannya; (j) dokumentasi; dan (k) audit, tinjauan ulang, dan evaluasi perusahaan.

PM Nomor 62 Tahun 2019 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Penyeberangan. Terkait fasilitas keselamatan, yaitu (a) jaket keselamatan ( life jacket) tersedia sebanyak 110 persen dari jumlah kapasitas penumpang; (b) jumlah rasio pengguna life raft, life buoy, dan sekoci; (c) lemari/kotak tempat jaket keselamatan ( life jacket) kapasitas 1 lemari maksimal memuat 100 jaket keselamatan ( life jacket) dan tidak terkunci serta sesuai dengan kapasitas penumpang yang tertera pada SKKP (Sertifikat Keselamatan Kapal Penumpang); dan (d) jumlah ketersediaan life jacket anak sebanyak 10 persen.

Pasal 3 (2) PM 103 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Pengendalian Kendaraan yang Menggunakan Jasa Angkutan Penyeberangan, menyebutkan pemuatan kendaraan beserta muatannya ke dalam kapal harus memperhitungkan jarak aman ( clearance) dengan sprinkler yang terdapat di ruang kendaraan agar sprinkler dapat bekerja maksimum pada saat terjadi kebakaran.

PM 25 Tahun 2016 tentang Daftar Penumpang dan Kendaraan Angkutan Penyeberangan, mengatur pengemudi kendaraan sebelum membeli tiket wajib mengisi daftar penumpang pada kendaraan dan data kendaraan pada formulir yang telah disediakan oleh operator pelabuhan (pasal 8 ayat 1), perusahaan angkutan umum orang di bidang lalu lintas dan angkutan jalan yang melayani trayek tetap lintas antar negara, antar kota antar provinsi dan antar kota dalam provinsi wajib membuat manifes, manifes wajib diserahkan kepada pengemudi, pengemudi kendaraan angkutan umum sebelum masuk pelabuhan wajib melakukan pengecekan dan/atau penyempurnaan manifes (pasal 11).

Pasal 2 di dalam PM 28 Tahun 2016 tentang Kewajiban Penumpang Angkutan Penyeberangan Memiliki Tiket, menyebutkanv penumpang angkutan penyeberangan terdiri dari penumpang pejalan kaki; dan penumpang pada kendaraan. Setiap penumpang angkutan penyeberangan memiliki tiket.

PM 66 Tahun 2019 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan bertentangan dengan PM 25 Tahun 2016 tentang Daftar Penumpang dan Kendaraan Angkutan Penyeberangan. Yang berlaku sekarang tarif angkutan penyeberangan untuk kendaraan penumpang dan kendaraan barang beserta muatannya ditetapkan berdasarkan panjang kendaraan yang diukur melalui fasilitas pengukur dimensi kendaraan di pelabuhan dan satuan unit produksi sesuai dengan golongan kendaraan (Pasal 5 Ayat 1). Sementara, tarif untuk penumpang, kendaraan penumpang, maupun kendaraan barang beserta muatannya dihitung berdasarkan jarak dan satuan unit produksi (Pasal 16).

Untuk mendapat manifes yang jelas, maka mestinya diterapkan PM 25 Tahun 2016 tentang Daftar Penumpang dan Kendaraan Angkutan Penyeberangan.

PM 91 Tahun 2021 tentang Zonasi di Kawasan Pelabuhan yang Digunakan untuk Melayani Angkutan Penyeberangan, sistem zonasi meliputi Zonasi A untuk orang;

Zonasi B untuk kendaraan; Zonasi C, untuk fasilitas vital; Zonasi D untuk daerah khusus terbatas; Zonasi E, untuk kantong parkir di luar pelabuhan penyeberangan bagi Kendaraan yang akan menyeberang (Pasal 3 ayat 1).

Zonasi E merupakan area parkir untuk antrian kendaraan yang sudah memiliki tiket namun belum waktunya untuk masuk pelabuhan penyeberangan. Bagi pelabuhan penyeberangan yang telah menetapkan tiket secara elektronik, untuk penumpang dan kendaraan yang berada di area zona A1 dan Zona B1 wajib memiliki tiket.

Transportasi penyeberangan/foto: istimewa

Langkah Pembenahan

Direktorat Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan akan melakukan 12 langkah pembenahan.

Pertama, akurasi manifest, seperti (a) kewajiban membuat mengisi data penumpang dan kendaraan untuk mendukung proses pembuatan manifest sesuai PM 25 Tahun 2016 tentang Daftar Penumpang dan Kendaraan Angkutan Penyeberangan; (b) terdapat praktik agen liar yang tidak akurat mengisi data penumpang, sehingga perlu dilakukan pelarangan kegiatan operasional penjualan tiket oleh agen di sekitar pelabuhan dan memberi kesempatan kepada Online Travel Agent (OTA), E-Commerce, dan Mobile Banking sebagai bentuk perluasan sales channel sekaligus sebagai media sosialisasi kepada pengguna jasa; (c) penumpang kendaraan yang naik di kapal perlu diverifikasi sebelum naik ke kapal melalui fasilitas shelter di pelabuhan; (d) saat ini penumpang di dalam kendaraan tidak dikenakan tiket, sedangkan berdasarkan regulasi PM 28 Tahun 2016 mengatur setiap penumpang wajib bertiket, sehingga perlu diatur tarif penumpang dalam kendaraan; (e) identifikasi golongan kendaraan belum berjalan secara optimal dikarenakan fasilitas sensor dimensi kendaraan yang dimiliki oleh ASDP belum dioperasikan sehubungan dengan adanya tolerensi yang disepakati di pelabuhan penyeberangan untuk itu perlu dilakukan harmonisasi regulasi perihal toleransi dimensi kendaraan; (f) CCTV kapal sesuai dengan SPM agar diintegrasikan dengan monitoring room yang berada di Badan Pengelola Transportasi Darat (BPTD) dalam upaya optimalisasi fungsi pengawasan operasional, loading unloading, dan faktor keselamatan; (g) fasilitas akses data produksi dan data manifest Ferizy secara real time telah tersedia namun belum dimanfaatkan oleh seluruh operator pelayaran, sehingga perlu dilakukan percepatan penggunaan akses tersebut untuk optimalisasi fungsi pengawasan dari masing-masing operator pelayaran.

Kedua, filterisasi kendaraan menuju pelabuhan penyeberangan. Pengguna jasa kendaraan yang menuju ke pelabuhan masih belum disiplin dalam hal kepemilikan tiket dan kesesuaian data manifest. Untuk itu dapat dilakukan langkah pembenahan, diperlukan penerapan Zonasi E, yaitu kantong parkir di luar pelabuhan penyeberangan sesuai dengan PM 91 Tahun 2021 tentang Zonasi di Kawasan Pelabuhan yang digunakan untuk Melayani Angkutan Penyeberangan.

Ketiga, manajemen keselamatan, berupa (a) pelaksanaan ISM Code Elemen 9 dan PM 45 Tahun 2012 tentang Manajemen Keselamatan Kapal; (b) pelaksanaan lashing kendaraan sesuai PM 30 Tahun 2016, penyiapan tenaga khusus untuk melakukan lashing di setiap dermaga untuk mempercepat proses pemuatan; (c) standarisasi dan kewajiban pakaian seragam untuk crew kapal (misal, atasan berwarna putih) untuk memudahkan pengguna jasa mengenali crew kapal khususnya dalam keadaan darurat; (d) penyiapan kapal dengan trip khusus untuk mengangkut kendaraan yang membawa barang berbahaya yang terpisah dengan penumpang dan kendaraan lainnya, sesuai PM 103 Tahun 2017 dan PM 16 Tahun 2021; dan (e) kapal belum boleh berlayar apabila belum memenuhi standar keselamatan pelayaran (penumpang belum turun, lashing, mesin kendaraan belum dimatikan).

Keempat, optimalisasi fungsi pengawasan. Performansi kapal penyeberangan perlu diawasi secara berkala kinerjanya, mengingat beberapa sertifikat kapal termasuk SPM diterbitkan periode 1 (satu) tahun sekali, maka (a) BPTD akan mengeluarkan evaluasi performansi kinerja operasional kapal setiap 3 bulan yang menjadi acuan para operator pelayaran untuk membenahi performansi operasional kapalnya; (b) sesuai dengan PM Nomor 6 Tahun 2023 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPTD Pasal 2 dan Pasal 3, yaitu peran BPTD dalam hal pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan di penyeberangan.

Kelima, melakukan chek in di gerbang tol ( tol gate). Keenam, petugas harus optimal melakukan validasi jumlah penumpang dan identitas dalam tiket dengan jumlah riil dalam kendaraan. Ketujuh, saat naik kapal, petugas pelayaran harus menghitung ulang, agar lebih akurat (alasan keteratasan waktu port time). Kedelapan, seting Ferizy, membatasi daya tampung kapal berbasis penumpang (sesuai kecukupan life jacket).   Jadi lapanan kapal ada pada jumlah penumpang. Kondisi sekarang, daya tampung kendaraan cukup, tapi daya tampung penumpang berlebih.

Kesembilan, memisahkan dermaga penumpang dengan angkutan barang. Kesepuluh, barang mudah terbakar dilarang naik kapal penumpang/penyeberangan, seperti truck angkut batubara. Kesebelas, apabila aturan tentang manajemen keselamatan yang diatur dalam Peraturan Menteri diabaikan atau tidak dijalankan oleh penumpang, nahkoda dapat tidak memberangkatkan kapal. Keduabelas, BPTD wajib mengawasi, mengontrol dan dapat menjatuhkan sanksi sesuai ketentuan.

Hasil tambang batubara di Sumatera Selatan dilarang menggunakan truk masuk kapal penyeberangan menuju Cirebon (Jawa Barat). Selain melanggar aturan muatan barang berbahaya juga selalu kelebihan muatan dengan ukuran atau dimensi kendaraan lebih, sehingga dapat mempercepat kerusakan jalan, membahayakan pengguna jalan lain.

*)Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan dan Penguatan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *