Connect with us

Buku & Sastra

Misteri Cinta SIM: Aneh, Kejam, dan Lembut

Published

on

Dari kiri: Simon Iskandar (SIM), cover komik MANDOLIN jilid 2, panil-panil komik Mandolin.

Seno Gumira Ajidarma

© 1967 NN

SIM adalah nama pena Simon Iskandar, satu dari ‘the big five’ dalam Kelompok Eres. Di antara tiga besar penggubah komik roman tahun 1970-an, SIM mendalami misteri kehidupan para tokohnya, seperti terlihat dari “Mandolin 2”.

_____________________________________________________________________________

Misteri Kehidupan Marisa

Mandolin (1969) saya baca hanya jilid 2. Mungkin karena itu saya tidak menjumpai mandolin satu pun. Namun pembukaan dengan panil berikut mempesona saya dengan corat-coret pada tembok dan suasana mencekam yang diberikannya.

Mandolin 2 / 64 halaman
8 Juli 1969 / U.P.Prasidha (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)
Tidak seperti biasanya komik roman yang memberi ilusi kegemerlapan urban, panil ini memperlihatkan realitas di baliknya. (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)

Dalam jilid 2 ini, latar cerita adalah wilayah dan tempat tinggal Marisa, yang semula hanya dikenal Dhany, narator atawa ‘Aku’, sebagai Irene dalam sebuah pesta, dan rupa-rupanya membuat jatuh cinta. Namun Irene mengatakan ia tak mungkin menjalin hubungan, karena ayahnya akan mengetahui dan menyiksanya. Sebagai bukti, Irene memperlihatkan bekas cambukan di punggungnya.

Sepanjang cerita, pembaca tidak akan melihat bekas cambukan itu. (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)

Diceritakan, karena kejadian itu Dhany frustrasi dan jadi pemabuk, meski akhirnya bisa kembali mengatasi dan mencari rumah Irene.

Dengan perasaan seperti itu, ia mencari-cari Irene, tetapi hanya menjumpai Nenny, gadis cilik, anak Irene, dan pengasuhnya, Nenek Munah.

Dari Munah inilah Dhany mendapat jawab atas pengetahuannya tentang sebuah villa yang terbakar (tentunya dari jilid 1) saat Irene masih berusia menjelang 14 tahun dan duduk di kelas VI sekolah dasar. Tampaknya hanya Irene yang berhasil diselamatkan, dan ditampung seorang Oom.

Munah meneruskan bahwa ada sebuah villa lain yang dibencinya di situ, karena tempat itu ‘hampir setiap malam disewakan untuk adegan mesum’. Menurut Munah, meski penduduk pernah melapor kepada polisi, ‘mereka sangat kuat sekali keuangannya, di samping itu bukti-buktinya pun tidak ada.’ Dhany bertanya-tanya dalam hati, apakah itu villa Oom-nya Irene.

Dhany juga menduga-duga apakah Oom itu memang terlibat, dan  apakah begitu pula Irene, dalam perbuatan seperti itu? Dalam pekerjaannya sebagai ‘penulis naskah’ yang juga menyewa villa, Dhany rupanya memiliki waktu untuk menyelidik, dengan mobil menuju villa yang menghebohkan, seperti ditunjukkan Nenek Munah.

Kedua panil ini sama-sama menggambarkan Bandung,
dari dua sisi yang kontras. (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)

Di sini mobilnya berpapasan dengan sedan dari villa itu. Sepintas seperti Oom dan Irene di dalamnya. Dhany berbalik dan mengejarnya, tetapi ia kehilangan jejak sesampainya di Bandung. Terpaksa pula ia menginap di hotel, meski karenanya ia pun pergi ke tempat Nenny, anak Irene itu.

Sangat perlu rupanya bagi SIM untuk memperlihatkan teko di hadapan Marisa di rumahnya yang sederhana (kiri); memberi nuansa lain dibanding rumah keluarga kaya yang memungutnya (kanan). Bandingkan pula dinding dan jendela kedua rumah ini. (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)

Kali ini Irene, yang kini mengaku adalah Marisa, berada di rumah gubuk sederhana tersebut, dan menceritakan lebih lengkap dari Nenek Munah. Bahwa orangtuanya tiada lagi sebelum dikenalnya. Ibu kandungnya seorang pelayan bar. Sejak usia 3 tahun dipungut keluarga kaya, yang ketika usianya 17 dilarang berhubungan dengan laki-laki. Sayangnya, meski Marisa sudah melanggar larangan, kekasih itu meninggalkannya dalam keadaan hamil.

Oom itulah yang membantunya dalam perongkosan kelahiran Nenny, sekaligus mengikat Marisa bekerja untuknya sebagai penyanyi bar. Kiranya cambukan yang diterima adalah salah satu bentuk ikatan itu. Nenny belum tahu Riwayat hidup ibunya.

Mendengar itu, Dhany tidak berubah pikiran agar Marisa hidup bersamanya. Marisa tetap menolak, tetapi Dhany bertahan, sehingga Marisa meminta waktu berpikir, hanya untuk memastikannya dengan surat.

Dalam surat itu Marisa menganggap Dhany layak mendapat Perempuan yang lebih baik. Ia berpendapat Dhany lebih mengasihani daripada mencintainya. Adapun bagi dirinya, karena Oomnya ditangkap polisi, dan villanya dibeslah, maka ia harus membawa Nenny meninggalkan Dhany, karena, tulisnya dalam surat untuk Dhany, ‘aku punya duniaku sendiri!!’.

Dengan gontai Dhany pun meninggalkan rumah yang sudah kosong itu.

Hujan, kekumuhan, dan kesendirian, menyusun kesenduan dalam panil terakhir “Mandolin”. (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)

Isolasi Kemuraman

Tentu banyak lubang perbincangan, (seperti apakah villa-villa itu terdapat di Lembang?) karena saya hanya membaca jilid 2, yang tidak memungkinkan penafsiran atas judul Mandolin. Namun dapatlah dicatat bahwa hubungan Marisa sebagai Irene dan Dhany, dari jilid 2 ini, belumlah terjadi, walau kedalamannya tak teringkari: sebetulnya saling mencintai.

Irene rupanya menjadi misteri bagi Dhany, membuatnya terobsesi. Jilid 2 ini menunjukkannya: mencari rumahnya, menggali riwayatnya, yang setelah diungkap Marisa sungguh mengecewakannya.

Pertama, karena ia tidak merasa mengasihani, melainkan sungguh mencintainya.

Kedua, tentu tak akan bisa diterimanya alasan Marisa, bahwa ‘Aku sudah tidak berhak menerima cintamu itu! Aku sudah cemar, penuh noda!’

Ketiga, bahkan Marisa perlu menghilang, bersama Nenny kecil dan Nenek Munah, hanya meninggalkan surat di meja, di rumah yang kosong.

Antara gambar dan tulisan pada komik djadoel: berbagi dan berebut peran. (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)

Keempat, lingkar nasib bahwa ibu kandungnya pelayan bar, Oom yang suka mencambuk adalah manajer bar, dan kerja tak tetap Irene adalah penyanyi bar, yang dalam dirinya sendiri secara etis tak bermasalah, terinsinuasi sekaligus tetap termisterikan dalam kalimat-kalimat seperti: ‘Apakah Irene seorang … akh, aku tidak mau berpikir yang bukan-bukan.’ (balon renungan Dhany), atau ‘Aku bukanlah Irene yang kau kenal dulu.’; mengambangkan kepastian bahwa sebagai Irene, Marina adalah seorang penjual cinta (baca: seks).

Kelima, terdapat percabangan yang secara mutualistis mendukung misteri: Marisa menghilang karena dirinya bisa ikut ditangkap, sekaligus (atau salah satu saja?) bentuk jiwa besar agar Dhanny mendapat ‘teman hidup yang melebihi aku’.

Kelima faktor ini menyisakan kesenduan dalam ketidakpahaman seperti, ‘Hidup ini aneh. Apakah betul aneh? Kadang-kadang dia bisa kejam dan bisa lembut.’

Kalimat ini terdapat dalam surat Marisa maupun balon renungan Dhany, sebagai dimensi misteri kehidupan yang membungkus kisah cinta Mandolin, kisah cinta yang gagal, tetapi terandaikan melepas denyar-denyar melankoli yang menyentuh pembacanya.

Pada panil ini Dhany mendengarkan Marisa alias Irene yang bercerita, sembari menatap kegelapan. (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)

Secara visual, penggubah cenderung menggambarkan suasana muram dalam nuansa suram, yang berhasil memberi perasaan tertekan, karena cinta tak pernah mendapat jalan.

Sejak panil pertama jilid 2 ini, ketika Dhani terjebak di sebuah lorong kumuh, nuansa suram tidak pernah pergi, walau cerita tentang kekerasan Oom pada Marisa (pencambukan) sudah menghindari penyanderaan emosional (emotional hostage) pembaca.

Perbincangan atas cinta, noda, dan cambuk. (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)

Tidak seperti kecenderungan komik roman, yang memberi peluang untuk menjadi sentimental, wajah Marisa tetap dingin setiap kali topik pencambukan itu muncul.

Penggambaran kesederhanaan rumah Irene sebagai Marisa. (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)

Dalam pendekatan realisme, atau penggambaran merujuk realitas visual, penggubah menempatkan sosok ayu Marisa di rumah sederhana, dengan rincian peralatan dapur, lampu teplok, jalinan dinding gedhèk, teralis jendela tanpa kaca dan tanpa daun jendela, yang membuat nyamuk bebas masuk.

Jika nyamuk tidak diandaikan menimbulkan penderitaan, dapatlah dianggap penggubah menggambarkannya dari sudut pandang kelas sosial yang hidupnya tiada asing dengan denging nyamuk di malam hari.

Satu-satunya panil berkhalayak ramai: Peran yang ingin segera kembali sendiri. (© 1969 SIMON ISKANDAR / U.P. PRASIDHA)

Betapapun, realisme visual ini tidak dengan sendirinya menjadi penggambaran realitas sosial secara menyeluruh, karena hanya ada satu panil yang menampilkan pemandangan khalayak. Namun isolasi para peran dari kehidupan ramai, dapat pula berarti mengisolasi kemuraman, agar hadir tanpa gangguan dari keramaian hidup sehari-hari, yang berpotensi mencairkan kemuraman itu sendiri.

SENO GUMIRA AJIDARMA,
partikelir di Jakarta.

Continue Reading
Advertisement
2 Comments

2 Comments

  1. Alfonzo

    August 2, 2024 at 5:23 am

    Keren seperti menonton film, sayang jilid 1 nya belum ketemu. Kenapa judulnya mandolin?

    • Seno Gumira Ajidarma

      August 3, 2024 at 5:24 am

      Seperti arkeologi, tempat perbincangan mungkin dilakukan walau yang ditemukan patung tanpa kepala; begitu pula komik djadoel sebagai barang langka 🙏😇

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *