Connect with us

Kolom

Memelihara Momentum dan Spirit Ramadhan dan Idul Fitri 1444 H

Published

on

Oleh: Achmad Fachrudin, Dosen Komunikasi Islam Universitas PTIQ Jakarta

Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1444 H baru saja meninggalkan kita dengan segala suka cita dan kenangannya. Tetapi itu bukan berarti komunikasi umat dengan bulan yang penuh rahmah dan magfiroh tersebut  putus atau sirna sama sekali. Tidak demikian pemaknaan, penafsiran dan pensikapan yang tepat dan benar. Melainkan umat justeru mempunyai kewajiban dan tanggungjawab untuk memelihara (maintenance), mempertahankan, mengembangkan dan mengimplementasikan nilai, serta ruh ramadhan paska Idul Fitri 1444 H dalam kehidupan nyata dan sehari-hari.

Untuk mewujudkan hal tersebut tidak mudah, melainkan banyak tantangan, problem dan kendalanya. Hal ini disebabkan karena ada beberapa kondisi dan situasi yang membedakan antara bulan ramadhan dengan bukan bulan ramadhan.  Diantaranya: bila di bulan ramadhan, semangat atau gairah melakukan shalat malam (qiyamulllail),  membaca Al-Qur’an (qiratul Qur’an), berburu malam lailatul qadr,  menunaikan zakat fitrah, infak dan berbagai amal soleh sangat tinggi. Penyebab utamanya karena adanya stimulus dari Allah SWT yang menjanjikan orang-orang berpuasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan akan diampuni segala dosanya. 

Sebaliknya paska bulan ramadhan, yang banyak dikejar urusan dan kepentingan duniawi karena daya tarik sangat luar biasa dan menggiurkan bagi setiap manusia. Bahkan diantara kita ada yang terkena penyakit yang disebut Rasulullah SAW sebagai wahn (penyakit paling bahaya bagi umat Islam), yakni: cinta dunia dan takut mati (hubbun duniya wakarahiyatul akhirah).

Selain itu, bila di bulan ramadhan, mengutip salah satu sabda Rasulullah SAW, setan-setan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup sehingga umat lebih leluasa mendekatkan diri kepada Allah. Tetapi paska ramadhan, setan dan iblis dilepas borgolnya. Kembali ke habitatnya untuk menggoda dan mengajak manusia kepada jalan yang sesat. Kenyataannya tipu daya setan banyak yang berhasil mengecoh manusia sehingga memilih jalan yang sesat dan menyesat (dollun waadhollun).

Dari Silaturahmi Hingga Handphone

Perbedaan karakteristik lainnya diantaranya: pertama, bila di bulan ramadhan, atmosfir kehidupan beragama dan silaturahmi antar keluarga, sahabat, teman sekerja dan lingkungan masyarakat, sangat akrab, kental dan hangat. Salah satunya karena adanya instrument buka puasa yang mampu mempererat silaturahmi. Meskipun pemerintah akhirnya melarang pejabat melakukan buka puasa bersama untuk meminimalisir pemborosan. Di luar ramadhan, hubungan antar sesama renggang, hambar, inidividualistik, dan sebagainya.

Kedua, di bulan Ramadhan Allah SWT terasa dekat dan selalu hadir dalam satu bari kaum muslimin yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan keihklasan. Dampak dari kehadiran Allah SWT membuat rem spiritual umat relatif pakem sehingga mampu mengendalikan diri dari kemungkinan melakukan perbuatan dosa dan tercela. Sebaliknya paska ramadhan, rem spiritual umat variatif: sebagian masih pakem, sebagian lagi sudah mulai kendur dan bahkan banyak yang blong. Sehingga begitu mudah umat tergelincir melanggar perintah Allah SWT dan malah melakukan larangan-NYA.

Ketiga,  bila di bulan ramadhan, penggunaan handphone untuk berbagai kebutuhan sedikit berhasil ditekan karena sebagian waktu kita digunakan untuk ibadah dan amal soleh. Sementara di luar ramadhan, sebagian besar waktu kita nyaris dihabiskan untuk bermedia sosial. Hal ini mengacu laporan bertajuk “Digital 2023: Indonesia” yang menyebutkan, warganet Indonesia menghabiskan 7 jam 42 menit per hari untuk internetan. Dengan kata lain, hampir sepertiga hari warganet Indonesia dihabiskan untuk internetan. Sehingga membuat lupa diri, dan Allah SWT.

Bahkan tidak sedikit handphone atau gawai digunakan untuk membuat atau mengirim konten, narasi atau visual (gambar) yang terkadang berbau fitnah, namimah (adu domba), ghibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), buruk sangka, ajang permusuhan, perselingkuhan   dan sebagainya.  Padahal perbuatan tersebut sangat besar dosanya dan pelakunya disamakan dengan memakan daging saudaranya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam (QS:49:12).

Takwa Sebenarnya

Meskipun kondisi dan situasi atau karakteristik antara bulan ramadhan dengan bulan ramadhan memiliki perbedaan signifikan. Tetapi tidak boleh dijadikan justifikasi untuk melakukan pengingkaran, pengabaian dan melupakan hikmah, atmosfir, spirit, atau nilai ramadhan. Melainkan umat mempunyai kewajiban untuk memelihara, mengembangkan dan mengaktuanilisasikan nilai-nilai luhur dari bulan ramadhan, yakni: ketakwaan (QS:2:183).

Ap itu takwa? Menurut Tafsir Ibnu Katsir, “takwa” berarti menaati Allah SWT dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Orang-orang bertakwa disebut dengan muttaqien.  Al-Qur’an dalam surah Ali Imran ayat 133-136 memberikan ciri-ciri orang-orang bertakwa sebagai berikut: (1) Gemar menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah, (2) Mampu menahan amarah manakala menemukan atau menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, (3) Memberi maaf kepada orang yang minta maaf, (4) mengerjakan kebaikan bagi kemaslahan orang lain, dan (5) selalu mohon ampun atas kesalahan dan dosa, sengaja ataupun tidak disengaja.

Bukan hanya takwa. Bahkan Al-Qur’an mendorong umatnya untuk  mencapai predikat yang benar-benar bertakwa (haqqo tuqotihi) (QS:3:102). Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawai dari Abdullah Ibn Mas’ud, Nabi Muhmmad SAW  bersabda, makna “Ittaqullah haqqa tuqatihi” yang terdapat pada ayat tersebut adalah hendaknya Allah SWT ditaati tidak dimaksiati, disyukuri tidak diingkari, diingat dan tidak dilupakan.

Orang-orang yang mencapai derajat atau level haqqo tuqotih setidaknya ditandai oleh tiga kualitas spiritual. Pertama, dalam melaksanakan perintah Allah SWT,  tujuannya bukan semata-mata ingin mencari pahala, melainkan karena kecintaan (mahabbah) dan ingin beroleh ridha Allah SWT. Kedua, iman dan takwanya kepada Allah SWT tahan banting dalam segala situasi dan kondisi, baik senang maupun susah. Tidak berkurang atau surut, melainkan terus mengalami peningkatan kualitas maupun kuantitas. Ketiga, iman dan takwanya mengantarkannya menjadi pribadi muslim yang tidak hanya soleh secara ritual melainkan juga soleh secara sosial.

Istiqomah Plus

Untuk mencapai derajat haqqo tuqotih diperlukan sikap istiqomah atau konsisten di jalan Allah. Kata istiqomah  disebutkan Al-Qur’an setidaknya pada enam surat dan tujuh ayat. Menurut  Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi, ciri-ciri orang istiqomah sebagai berikut: (1) Beriman kepada Allah secara teguh dan tidak musyrik, (2) Beriman kepada Al-Qur’an dan kitab Samawi dengan menjalankan aturannya, (3) Beriman kepada Rasululullah  SAW, (4) Memohon ampunan Allah dan bertaubat, (5) Menepati janji, (6)  Keberanian yang jitu, dan  (7) Beramal soleh.

Agar istiqomah atau konsistensi dalam beragama (Islam) berlaku permanen atau langgeng, diperlukan sejumlah kompetensi. Diantaranya: kompetensi spiritual dengan terus memperbanyak bekal takwa (QS:2:2197); kompetensi pengetahuan, karena Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan (QS:58:11);  kompetensi profesional  (QS:17: 84); kompetensi sosial dengan terus meningkatkan amal soleh (QS:103:2-3); dan etos kerja tinggi (QS:94:7).

Aspek penting lain dalam ikhtiar mempertahankan sikap istiqomah dalam beragama adalah pandai dalam memilih kawan. Sebagaimana dipesankan Nabi Muhammad SAW, kawan cukup signifikan mempengaruhi sifat dan perilaku seseorang. Berkawan dengan orang baik memungkinkan seseorang menjadi baik. Sebaliknya berkawan dengan orang buruk, berpeluang membuat perangai seseorang menjadi buruk. Setidak-tidaknya berpotensi kecipratan citra buruk. Maka berkawankah dengan orang-orang baik, secara spiritual maupun non spiritual.

Konsistensi dalam beriman dan bertakwa akan makin sempurna manakala umat dibarengi dengan penguasaan kompetensi abad 21. Seperti: Critical thinking (pemikiran kritis), Creativity (kreativitas), Collaboration (kolaborasi),  Communication (komunikasi), Technology literacy (literasi teknologi), Leadership (kepemimpinan), Productivity (produktivitas), Social skills (keterampilan sosial), dan lain-lain. Al-Qur’an banyak mengandung pesan-pesan semacam itu. Masalahnya tinggal apakah kita mau dan mampu menangkap, menggali dan melaksanakan pesan-pesan Al-Qur’an secara total (kaffah)?

Manakala sikap konsisten dan istiqomah di jalan Allah ditambah lagi memiliki kompetensi abad 21 banyak terpatri pada mayoritas muslim di Indonesia, puasa berpeluang memberi kontribusi signifikan guna mewujudkan kualitas personal muslim yang sempurna atau paripurna (kaffah). Prototipe muslim seperti dicirikan sebagai berikut: pertama, bersikap totalitas, yakni:  ibadah, hidup dan matinya   hanya untuk Allah SWT (QS:6:162). Kedua. tidak memisahkan antara kehidupan duniawi (profan) dengan kehidupan ukhrowi (sacred). Ketiga,  selalu menjaga hubungan vertilal dengan Allah dan hubungan horisontal dengan antar manusia (hablun minallahi wahablun minannas), secara seimbang dan harmonis.

Idul Fitri dan Implikasinya

Akhir bulan Ramadhan, Umat Islam merayakan Idul Fitri 1444h H. Idul Fitri yang dirayakan oleh umat Islam merupakan penyempurna dari ibadah puasa, zakat fitrah serta berbagai amal soleh lainnya.  Selain juga sebagai ekspressi rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan nikmat begitu banyak dan tak terhingga nilainya (QS:2:185). Demikian agungnya makna Idul Fitri, tidak berlebihan bila hari raya ini dimaknai sebagai bonus atau hadiah paling berharga dari Allah SWT bagi orang-orang muslim yang melaksanakan ibadah puasa  dengan penuh keimanan dan ketakwaan

Secara etimologi Idul Fitri dapat dimaknai sebagai kembali kepada kesucian. Cendekiawan muslim Nurcholish Madjid mengartikan, Idul Fitri sebagai hari raya fitrah. Hari raya kesucian manusia. Disebut juga sebagai hari kembalinya kesucian kepada kita. Inilah hari raya yang resmi diajarkan agama Islam, selain Idul Adha.

Dalam bahasa Indonesia, istilah Idul Fitri diganti dengan antara lain Lebaran yang berasal dari kata ‘lebar’ yang ditambahkan imbuhan—an. ‘Lebar’ berarti lapang. Maknanya, tentu agar di hari raya kita harus berlapang dada. Sifat lapang dada muncul untuk meminta dan sekaligus memberi maaf kepada sesama. Ada yang juga berpendapat, Lebaran berasal dari kata “Leburan” yang  diambil dari bahasa Jawa yang berarti menyatukan. Artinya, selepas Ramadhan diharapkan kita mampu meleburkan diri kita pada sifat-sifat Tuhan. Caranya dengan menghadapi ujian dan cobaan, dengan kesabaran dan ketenangan. 

Dari ungkapan maaf ini akan Menimbulkan sejumlah implikasi sifat dan sikap positif. Diantaranya ta’akhkhu (saling bersaudara), tafâhum (saling memahami), ta’âwun (saling menolong), takâful (saling meringankan beban), tasâmuh (saling bertoleransi),  saling mengasihi (tarohim atau ruhama), tahâfuzh (saling menjaga dan melestarikan kebaikan), dan seterusnya. Manakala kaum muslim lulusan madrasah ramadhan memiliki kualitas personal semacam itu lalu mampu mentransformasikannya dalam kehidupan kolektif atau komunal, akan berkontribusi signifikan guna membentuk dan menciptakan masyarakat dan bangsa Indonesia yang makmur dalam keadilan serta adil dalam kemakmuran dalam ridha Allah SWT (baldatun toyyibataun warabbun ghafur).

Parameter Keberhasilan

Seperti kata sebuah pepatah: “mempertahankan kemenangan tidak lebih mudah daripada merebut kemenangan”. Pepatah tersebut relevan bagi umat Islam yang melaksanakan ibadah puasa. Bedanya, hal ini terkait dengan urusan non pisik (spiritual, mental, emosional) dan sebagainya dan karenanya jauh lebih sulit mempertahankannya. Tetapi sulit bukan berarti tidak bisa, melainkan bisa dilakukan karena preseden faktual atau empiriknya juga cukup banyak ditemukan dalam masyarakat kita. Khususnya di kalangan ulama.

Selain mempertahankan momentum Ramadhan dan Idul Fitri 1444 H, yang tidak kalah pentingnya adalah mewujudkan nilai-nilai puasa dan Idul Fitri tersebut dalam kehidupan nyata dan sehari-hari. Bahkan manakala kita bersepakat menjadikan paska ramadhan dan Idul Fitri sebagai parameter keberhasilan dari ibadah puasa, maka kemampuan dalam mempertahankan dan mengimplementasikan hikmah, nilai dan ruh puasa paska Idul Fitri dalam kehidupan sehari-hari, dapat menjadi indikator pencapaian muslim yang haqqo tuqotihi.

Sebaliknya jika paska Ramadhan dan Idul Fitri 1444 H mengalami stagnasi dan apalagi terjadi defisit keimanan dan ketakwaan, kalangan muslim yang melaksanakan ibadah puasa perlu introspeksi dan evaluasi: jangan-jangan sebagaimana disinyalemenkan Rasulullah SAW: “banyak orang berpuasa namun tidak beroleh apa-apa, kecuali lapar dan haus”.

(diambil dari khutbah Idul Fitri 1444 H penulis di Masjid Jami Al-Kautsar, Kompleks Kejaksaan Agung, Ciputat, Tangerang Selatan).

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *