Connect with us

Feature

Makan Bajamba Kenyang Bersama

Published

on

MESKIPUN makan bersama pada satu meja itu biasa, makan bersama dalam satu piring besar itu baru istimewa. Acara Makan Bajamba ini berlangsung pada HUT ke 106 Yayasan Kerajinan Amai Setia, belum lama ini di Jakarta.

Pada acara yang bertajuk Lestarikan Budaya Kotogadang, selain acara utama Makan Bajamba (MB), juga dimeriahkan peragaan busana, bazar yang menjual kerajinan tangan, khususnya dari Sumatera Barat seperti selendang sulam, perhiasan emas perak/aksesoris, tas, kerudung dan lainnya. Dihadiri para undangan, umum dan korps diplomat.

MB disebut juga makan Barapak, adalah kebiasaan orang Kotogadang yang dilakukan saat pernikahan atau acara Batagak Panghulu. Merupakan salah satu kekayaan warisan budaya yang sampai saat ini masih dipelihara di Kotogadang dan kota kota lainnya di Sumatera Barat. Makan bersama biasanya 4-5 orang menggunakan satu piring besar yang disebut piring jamba.

Sembilan macam lauk disajikan di tengah, yaitu gulai itik, bihie atau kancah, ayam padeh, ayam semur, ayam goreng, rendang daging, perkedel, slada minang, sayur buncis. Selain itu disajikan pula kue tradisional Kotagadang seperti tar ruak dan kue lampih.

Menurut Dira Almatsier, salah satu panitia, ada tata cara makan Bajamba, pertama tangan kanan menyuap sementara tangan kiri menampung di bawah mulut kalau ada nasi yang tercecer dari suapan. Yang tercecer tadi dipindah ke tangan kanan dan “dilempar” ke mulut. “Aturan lainnya kita harus bisa menghabiskan makanan yang ada “di wilayah” suapan kita hingga tidak ada yang tersisa,” ujar ibu dr dua anak ini.

Jika ada yang sudah selesai makan lebih dulu harus menunggu lainnya selesai baru boleh membersihkan tangan. Dengan cara tradisional menggunakan daun pisang yang lebih efektif dan higenies. Supaya bisa bersih benar dari sisa makanan, khususnya minyak/lemak dari samba.

Secara harafiah makan bersama ini mengandung makna sangat mendalam, dimana makan bersama akan menimbulkan rasa kebersamaaan tanpa melihat perbedaan status sosial. Tradisi ini diyakini  berasal dari Kotogadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Diperkirakan sudah ada sejak agama Islam masuk ke Minangkabau sekitar abad ke-7. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *