Connect with us

Kabar

Komisioner KPAI Kecam Oknum Guru Periksa Celana Dalam Siswi yang Sedang Haid

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Lagi-lagi oknum guru melakukan tindakan tidak benar di sekolah. Kejadiannya di sebuah sekolah SMA Negeri di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Guru meminta para siswi membuka rok dan menurunkan celana dalamnya untuk membuktikan bahwa mereka sedang menstruasi sehingga tidak mengikuti sholat dhuha berjamaah yang merupakan program “Jumat Religi”.

Hal tersebut diceritakan Retno Listyarti, Komisioner KPAI, yang menerima pengaduan melalui aplikasi Whatsapp dari orangtua siswi yang menjadi korban peristiwa tersebut.

Dalam pengaduan tersebut, tutur Retno melalui siaran persnya, orangtua korban menuturkan bahwa putrinya  bersama siswi lainnya dikumpulkan dalam satu ruangan kelas.

“Ada satu orang guru bertugas menjaga pintu kelas, lalu para siswi diminta  berdiri melingkar saling membelakangi. Kemudian dua orang guru lainnya berkeliling dan  meminta siswi  satu persatu membuka rok dan menurunkan celana dalamnya untuk membuktikan bahwa siswi tersebut sedang menstruasi sehingga tidak mengikuti sholat dhuha berjamaah yang merupakan program “Jumat Religi”,” papar Retno.

Peristiwa tersebut, katanya,  terjadi di sebuah sekolah Negeri, bukan sekolah berbasis agama. Padahal, sekolah negeri siswa dan gurunya beragam agama, bukan satu agama tertentu. “Guru terduga pelaku seluruhnya perempuan, para guru tersebut  juga bukan guru bidang studi pendidikan agama Islam (PAI), tetapi guru bidang studi Kimia dan Matematika,” tegas Retno.

“Sholat dhuha dalam agama adalah sholat sunnah, bukan sholat wajib. Namun menjadi wajib atas nama program sekolah di SMA Negeri ini. Sekali lagi, sekolah ini adalah sekolah negeri yang didirikan pemerintah, bukan satuan Pendidikan berbasis agama. Jika anak didik memang ingin sholat dhuha, sekolah wajib memfasilitasi, bisa dilakukan sendiri, tapi bukan mewajibkan sholat sunnah, sehingga anak didik yang tidak melaksanakan sholat dhuha tersebut akan mendapatkan sanksi,” ujar Retno.

Kuat dugaan, lanjut Retno, para guru tersebut hanya menjalankan tugas karena merupakan program sekolah. Karena saat ini cukup banyak   sekolah negeri yang menyelenggarakan sholat dhuha berjamaah dengan alasan untuk mendidik dan membiasakan anak didik beribadah pagi.

Saat menerima pengaduan tersebut, Retno berkoordinasi dengan Ketua Pokja Pencegahan dan Penanggulangan 3 Dosa Besar di Pendidikan, Chatarina Girsang yang juga Kepala Inspektorat Jenderal KemendikbudRistek yang langsung menurunkan tim ke Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. Tim mendapatkan penjelasan dari pihak sekolah bahwa permasalahan tersebut sudah diselesaikan dengan para orangtua, dilampirkan bukti berita acara islah dan dibubuhi tandatangan.

“Ada 3 orangtua dan anak yang mendatangani, namun ketiganya tidak sama dengan pihak yang mengadu kepada kami. Saat  pengadu kami konfirmasi apakah mengetahui kesepakatan dalam berita acara tersebut dan apakah diundang dalam islah tersebut, ternyata keduanya menjawab sama sekali belum mengetahui dan tidak pernah diundang islah oleh pihak sekolah,” lanjut Retno.

Bertemu Keluarga Korban

Pada Jumat (30/9), KPAI dan Itjen KemendikbudRistek melakukan pertemuan secara daring dengan dua orangtua yang anaknya menjadi salah satu korban yang harus membuka celananya  untuk membuktikan bahwa dirinya sedang menstruasi. Pertemuan ini dimaksud untuk mendengarkan keterangan dari sisi korban dan keluarganya, setelah sebelumnya Tim Itjen KemendikbudRistek sudah  melakukan pertemuan luring untuk mendengarkan keterangan sekolah dan Dinas Pendidikan.

“Saat pertemuan daring dengan KPAI dan Itjen Kemendikbudristek, salah satu ibu korban menyatakan bahwa apa yang dialami putrinya merupakan bentuk pelecehan seksual yang dilakukan perempuan dewasa  terhadap anak perempuan di bawah umur”,  ungkap Retno.

Para orangtua menceritakan kondisi psikis anaknya yang sangat terpukul sejak mendapatkan perlakuan tidak etis di sekolah lantaran tidak mengikuti sholat dhuha berjamaah karena sedang datang bulan.

“Kedua anak korban selalu menangis ketika membaca berita dan melihat tiktok atas peristiwa tersebut. Tidak hanya merasa trauma karena dipermalukan dan direndahkan, namun juga tidak terima karena pemberitaan di media massa maupun di media social tidak seperti kejadian yang sebenarnya,” urai Retno.

Menurut para orangtua, anak korban mendapatkan konseling dari guru BK maupun psikolog, namun anak korban merasa tidak nyaman dengan pernyataan salah satu guru BK yang seolah mendorong anak korban untuk berhenti mempermasalahkan peristiwa ini lagi karena para guru yang melakukan tugas sekolah tersebut kelak akan mengajar dia ketika naik kelas nantinya.

Akibat pernyataan tersebut, anak korban secara psikis didera rasa ketakutan setelah pengaduan atau keberatan orangtua mereka kepada pihak sekolah atas peristiwa yang dialaminya.

 Ketakutan ini sangat wajar, mengingat para guru yang melakukan, yang terlibat dalam peristiwa ini adalah para guru yang sedang atau akan  mengajarnya kelak hingga lulus. “Ketakutan ini tentu sangatlah masuk akal karena adanya relasi kuasa antara anak korban yang masih dibawah umur dengan terduga pelaku yang merupakan pendidik di tempatnya bersekolah”, pungkas Retno.

Menurut Retno, pihak  KPAI bersama Tim Itjen KemendikbudRistek akan melakukan rapat koordinasi dengan pihak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat untuk mencari solusi dan menuntaskan kasus ini.***/ebn

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *