Connect with us

Sport

Kebijakan Serampangan PSSI Soal Marquee Player

Published

on

DI LUAR masalah melanggar peraturan FIFA, kebijakan PSSI untuk Liga 1 terkait pemain juga tak luput dari masalah. Terkesan keputusan yang dikeluarkan tidak melalui sebuah proses yang matang alias terburu-buru. Kebijakan Marquee Player (MP) misalnya. Semula PSSI mengeluarkan kebijakan terkait pemain asing adalah 2+1. (Dua pemain Asing Non Asia + Satu Asia). Lalu menjadi 2+1+1 Marquee Player. Lalu berubah menjadi 2+1+1 MP +1 MP. Belakangan, Ketua Umum PSSI, Letjen Edy Rahmayadi, menyatakan bahwa klub boleh memiliki dan memainkan lima MP.

Kebijakan penggunaan Marquee Player sejatinya sangat bagus buat mengangkat prestise Liga 1. Tapi, karena sosialisasinya lemah dan berubah-ubah terkesan jadi serampangan. Semula, #SOS berpikir bahwa Marquee Player adalah kebijakan khusus dimana klub akan mendapatkan masing-masing satu dari PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator dengan cara diundi penempatannya. Dananya bisa diambil dari subsidi Rp 7,5 miliar yang diberikan kepada klub. Klub hanya mendapatkan Rp 5 miliar untuk operasional, sementara Rp 2,5 miliar diperuntukkan untuk Marquee Player.

Nilai Rp 2,5 miliar ini hampir setara dengan pemain sekelas Didier Drogba yang bermain bersama Phonenix Rising FC di MLS dengan bayaran 250 ribu dolar AS setahun. Bila klub ingin membeli pemain dengan harga melebihi itu, mereka tinggal menambahkannya. “Dengan disebarnya Marquee Player ke 18 klub peserta akan sangat adil dan membuat kompetisi sangat menarik dengan hadirnya para pemain bintang,” kata Akmal. “Kebijakan yang memberikan kebebasan kepada klub merekrut sebebasnya Marquee Player sesuai kemampuan akan membuat kompetisi tak sehat. Ini hanya melahirkan kesenjangan antara klub kaya dan miskin,” Akmal menegaskan.

Selain itu, kebijakan klub peserta Liga 1 wajib mendaftarkan lima pemain U-23 juga sejatinya sangat bagus untuk regenerasi. Ditambah dengan kebijakan wajib memainkan tiga pemain U-23 minimal 45 menit untuk menambah jam terbang. Tapi, kebijakan ini menjadi tidak nyambung karena peserta Liga 1 bakal menggelar kompetisi mudanya kategori U-19. Ada yang terputus dari 19 menuju 23 tahun. “Lebih progresif bila kebijakan itu diberlakukan bukan untuk U-23, tapi U-19. Jadi, nyambung dengan kompetisi U-19 antar Klub Liga 1. Usia 23 sejatinya sudah jadi pemain profesional. Mereka juga bisa dimatangkan di Liga 2 dan Liga Nusantara yang menggunakan kebijakan U-23,” kata Akmal.

Sementara pembatasan setiap klub Liga 1 hanya boleh mengontrak maksimal dua pemain U-35 terbilang aneh. Pasalnya, sepak bola profesional tidak melihat umur, tapi kualitas pemain. Pemain tua dengan sendirinya akan berguguran bila kualitasnya sudah tak mampu bersaing. Ditambah hadirnya pemain muda potensial. Jadi, tak perlu dibatasi. “Pembatasan umur maksimal pemain sepakbola ini melanggar Hak Azasi Manusia (HAM). Juga hak sebagai pekerja profesional,” kata Akmal.***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *