Connect with us

Feature

Jejak Keraton Tua di Tenggara Yogya

Published

on

Gerbang masuk Keraton Mataram, di Kotagede, Yogyakarta. (foto: ebn)

Jayakarta News – Tak pelak, Yogyakarta adalah daerah dengan petilasan peradaban tua yang paling terjaga. Jika sejumlah kota besar di Indonesia merevitalisasi kota tua sebagai destinasi wisata, maka yang direvitalisasi Yogya adalah keraton tua.

Berbeda dengan kota tua yang lazimnya hanya merenovasi bangunan peninggalan Belanda, maka yang ada di keraton tua Yogya adalah sebuah situs kerajaan Mataram. Letaknya di Kotagede, sekitar 5 kilometer tenggara kota Yogyakarta.

Ratusan tahun lalu, kawasan itu adalah Ibukota Kerajaam Mataram Islam, sebelum dipindah ke Karta dan Pleret. Memasuki situs tersebut, kita seolah memasuki lorong waktu ke abad ke-17.

Sampai sekarang rumah-rumah tradisional Jawa maupun bangunan rumah para saudagar tempo dulu yang disebut ‘Rumah Orang Kalang’, masih terjaga dengan apik. Salah satu yang terkenal adalah ‘Rumah Pesik’, bangunan beton tebal yang merupakan gabungan arsitektur Belanda, Jawa, dan Mataram Islam.

Salah satu sudut bangunan komplek keraton tua Mataram, di Kotagede, Yogyakarta. (foto: ebn)

Banyak versi tentang ‘Orang Kalang’ ini. Ada yang menyebut mereka berasal dari zaman Kerajaan Mataram Hindu dan kebanyakan dari mereka berasal dari Bali. Jl Mandorakan, termasuk yang paling banyak bangunan tuanya. Dari bangunan-bangunan tua yang konon sudah ada sejak 1800-an, akan tergambar bagaimana Kotagede di masa lalu.

Yang tak boleh dilupakan apabila ke Kotagede adalah mengunjungi bekas kompleks Kerajaan Mataram Islam yang sebagian bangunannya masih kokoh berdiri. Bukan sekadar kokoh tapi juga terawat baik oleh para abdi dalem yang bertugas di sana.

“Bangunan awal abad ke-17 ini tidak pernah hilang, seperti misalnya tertimbun reruntuhan atau tersapu bencana. Sempat ada renovasi besar-besaran tapi sudah lama sekali, selebihnya renovasi kecil-kecilan. Seperti atap rumah yang dulunya dari kayu jati, diganti genteng. Juga ada bagian-bagian tembok yang didiperbaiki. Tapi tembok ukiran berwarna putih itu, asli sejak kerajaan berdiri,” ungkap abdi dalem Hastono Wasiyo yang tengah bertugas di bagian informasi komplek makam Raja-Raja Mataram.

Saat itu Wasiyo didampingi sejumlah abdi dalem lain. Usia mereka berbeda-beda, yang termuda adalah Muh Nuradi 43 tahun. “Ada 60 orang abdi dalam dari Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta yang merawat komplek ini. Kami bertugas secara bergilir. Yang pasti, sepeninggalan Panembahan Senapati, komplek ini terjaga (terawat) hingga kini,” tambahnya.

Sebelum menjadi kompleks pemakaman Raja-Raja Mataram, dulunya kawasan itu adalah kompleks Kerajaan Mataram Islam dengan raja pertamanya adalah Sutawijaya (Penambahan Senapati), putra Ki Ageng Pemanahan. Kerajaan itu konon menempati lokasi pusat Kerajaan Mataram Kuno yang bercorak Hindu. Tak heran kalau ukiran baik di gerbang maupun bagian-bagian tertentu bangunan, masih terlihat corak Hindu-nya.

Kompleks Kerajaan Mataram Islam yang telah menjadi kompleks pemakaman Raja Raja Mataram itu, persisnya terletak di Jl Watu Gilang Kotagede, tak jauh dari Pasar Kotagede. Sebagai penanda, ada beringin sangat besar di sana. Tingginya kira-kira 30 meter, lebih besar dan lebih tinggi dibanding beringin yang ada di Alun-alun Kidul maupun Alun-alun Lor.

“Usia pohon beringin itu sekitar 500 tahun. Pohon itu ditanam oleh Sunang Kalijaga sebelum berdirinya kerajaan. Saking tuanya, masyarakat menyebutnya ‘wringin sepuh’,” jelas Wasiyo. Banyak orang datang bertapa di bawah beringin. Boleh percaya atau tidak, konon, jika dalam masa pertapaan dua lembar daun beringin jatuh, artinya permohonan dikabulkan. Wallahu a’lam.

Sekretarian abdi dalem, di Kotagede, Yogyakarta. (foto: ebn)

Kampung Dondong

Setelah memarkir kendaraan di areal seputar ‘wringin sepuh’, kita akan menyusuri jalan perkampungan yang di kanan-kirinya berderet rumah warga. Cerita abdi dalem setempat, perkampungan yang disebut ‘Kampung Dondong’ itu bukan sembarang kampung. Kampung itu sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

“Itu adalah perkampungan para abdi dalem. Jadi ceritanya, dulu itu para abdi dalam kerajaan, agar bisa lebih mudah bertugas, mereka tinggal di dekat kerajaan. Kampung itu kemudian dikenal sebagai kampung Dondong. Orang-orang yang tinggal di sana semuanya terkait dengan keluarga abdi dalem. Orang luar tidak boleh tinggal di sana. Misalnya ada mantu abdi dalem yang kemudian menikah lagi dengan orang luar, maka dia harus keluar dari perkampungan itu,” jelas  Nuradi.

Sebelum memasuki kompleks pemakanan, kita melewati gerbang  dengan ornamen dan ukiran yang bercorak Hindu. Melewati gapura, kita langsung berhadapan dengan salah satu masjid tertua di Yogyakarta. Masjid Gedhe Mataram, begitu orang menyebutnya. Masjid ini didirikan oleh Sultan Agung, Raja Mataram ketiga, cucu dari Panembahan Senapati, pada 1640.

Bangunan masjid ini, konon, merupakan bentuk toleransi Sultan Agung terhadap warga yang ikut membangun memeluk agama Hindu dan Budha. Hal itu bisa dilihat dari ciri khas Hindu dan Buddha yang  tampak mempengaruhi  arsitektur bangunan. Sedang bangunan inti masjid adalah bangunan Jawa berbentuk limasan.

Jika ingin ke kompleks makam, maka kita berbelok dan memasuki gerbang  yang berada di sebelah kiri masjid. Tak usah heran kalau begitu kita masuk, selain wisatawan sedang berselfie-wefie ria, juga adanya pasangan-pasangan yang sedang mengantri untuk foto pra-wedding. Rupanya lokasi kompleks Makam Raja Raja Mataram termasuk salah satu lokasi favorit di Yogyakarta bagi para calon pengantin untuk mengambil berfoto pre-wed. Hanya saja memang para calon pengantin itu harus agak bersabar agar mendapat gambar yang terbaik. Pasalnya banyak wisatawan juga ingin berfoto ria.

Untuk mencapai areal makam, kita masih harus melalui dua gerbang lagi. Satu gapura untuk mencapai halaman komplek makam yang tidakterlalu luas arealnya. Di sana ada tiga bangunan, dua rumah tradisional Jawa dan satu pendopo untuk tempat berisitirahat. Salah satu rumah yang letaknya di sebelah kanan, digunakan sebagai tempat informasi bagi para wisatawan, sekaligus tempat mengisi buku tamu. Di situ ada kotak dimana wisatawan bisa mengisi uang sukarela. Bagi wisatawan yang perlu penjelasan terkait sejarah makam, maka ada banyak abdi dalem yang siap menjelaskan.

Makam itu sendiri ada di sebelah kanan pendopo, gapura yang pintunya selalu tertutup. Nah jika ingin masuk ke kompleks makam, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Pertama, tidak boleh beralas kaki. Persayaratan lainya adalah wanita harus mengenakan kain jarik, kemben, sedang laki-laki mengenakan peranakan, kain jarik dan blangkon. Untuk semua perlengkapan itu bisa disewa di kantor sekretariat. Satu hal yang tak kalah penting, dilarang memotret di area makam.

Setelah ziarah makam, kita bisa mengunjungi areal di samping kiri pendopo. Itu adalah areal pemandian kerajaan. Untuk mencapainya, kita lagi-lagi harus melewati gapura kemudian meniti tangga menurun. Dibanding beberapa tahun lalu, areal pemandian ini terlihat lebih baik. Gapura maupun tangga menurun, seperti sudah direnovasi. Dari tangga itu kita bisa melihat dari kejauhan tempat permandian para putri dan putra kerajaan, lokasi keduanya terpisah. (ebn)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *