Connect with us

Kabar

Guru Besar Teknik Kimia Undip: Kemasan Makanan & Minuman Plastik Harus Bebas Zat BPA

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Migrasi zat Bisphenol A (BPA) dari kemasan makanan dan minuman plastik ternyata bisa lebih cepat prosesnya. Ada dua pemicu cepatnya proses migrasi BPA, yakni goresan dan panas.

Hal ini diungkapkan Guru Besar Teknik Kimia Universitas Diponegoro (Undip), Prof. Dr. Andri Cahyo Kumoro, S.T., M.Tia, saat dihubungi via telepon kemarin (Kamis, 30/9/2021). Prof Andri menegaskan, jika kemasan plastik yang mengandung BPA mengalami pemanasan dan goresan, maka migrasi zat BPA akan lebih cepat.

“Terutama jika ada pemanasan dan goresan, migrasi BPA akan lebih cepat dibandingkan jika tidak ada guncangan atau tidak ada perlakuan thermal begitu,” ujar Prof Andri.

Salah satu kemasan plastik makanan dan minuman yang mempunyai potensi besar lebih cepat terjadi migrasi BPA adalah galon guna ulang. Galon guna ulang dengan kode daur ulang 7 merupakan kemasan plastik berbahan dasar polycarbonat.

Kemasan ini wajib menjadi perhatian serius. Sebab dalam proses distribusinya, kerap terpapar panas matahari, belum lagi saat pencucian kerap disikat dan disemprot dengan air panas juga. Kondisi ini memenuhi syarat proses cepatnya migrasi BPA. Selain itu penggunaan di masyarakat sangat besar.

Menurut Prof Andri, cara lain zat BPA bermigrasi dari kemasan plastik, selain karena goresan dan panas, BPA juga bisa sedikit larut di minyak. “Jangan sampai ada goresan, juga jangan menyimpan kemasan plastik terlalu lama, saat plastik mulai rapuh maka mempermudah migrasi BPA dari struktur polikarbonat yang ada,” jelas Prof Andri.

“Artinya kalau produk-produknya mengandung minyak atau mungkin kemasannya sudah lama, ditambah ada pemanasan, penggoresan lalu dikocok-kocok misalnya, itu akan mempercepat laju peluruhan atau migrasi dari senyawa BPA ini ke produk yang tersimpan di dalam kemasan tersebut,” bebernya.

Ia juga mengingatkan bahaya yang ditumbulkan jika terpapar BPA. Dikatakannya, di anak-anak akan mengganggu sistem saraf, kemudian akan mengubah perilakunya. Bagi ibu hamil, bisa terjadi miscarriage atau keguguran. Oleh karenanya, di berbagai negara sudah tidak direkomendasikan menggunakan kemasan yang mengandung BPA.

Mengingat sejumlah bahaya dari penggunaan kemasan plastik yang mengandung BPA ini, Prof Andri setuju jika Indonesia perlu menerapkan regulasi pelarangan penggunaan kemasan plastik yang mengandung BPA.

“Saya rasa iya, walaupun ini menjadi rumit ya. Karena bagi produsen kalau tidak menggunakan kemasan yang mengandung BPA, mungkin harus mencari alternatif yang lebih mahal. Mungkin secara bisnis akan susah,” ujarnya.

Walau begitu, Prof Andri berpendapat, demi generasi mendatang, mau tidak mau pemerintah harus memiliki kebijakan melindungi generasi penerus, terutama anak-anak, bayi dan juga balita.

“Apalagi di era pandemi seperti ini, kita tidak boleh makan di tempat, sehingga harus membawa kemasan serba plastik. Itu menjadi tantangan kita semua dan juga pemerintah tentunya. Tapi, saya tetap berharap, sebaiknya harus ada regulasi soal ini,” pungkas Prof Andri.

Prof Andri mendukung apabila BPOM sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap keselamatan konsumen mampu melakukan pembatasan.

“Saya sangat mendukung BPOM karena lembaga ini bertanggung jawab terhadap keselamatan konsumen terkait penggunaan bahan terutama bahan kimia dan bahan obat. Apalagi zat BPA ini sangat mempengaruhi terhadap kesehatan balita termasuk pada ibu-ibu hamil terutama pada janin. Bisa terjadi keguguran jika terpapar dalam jumlah besar dan rutin. Jadi saya rasa ini sudah semestinya BPOM mengusulkan  regulasi yang lebih jelas dan terkontrol bahwa produk produk yang menggunakan kemasan sebaiknya yang bebas zat Bisohenol A,” harap Prof Andri. (*/mons)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *