Connect with us

Kabar

Dr. Ribka Tjiptaning Dukung RUU Kesehatan jika Iuran BPJS Dihapus: Bebaskan Biaya Kelas III Semua RS

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Saatnya Undang-Undang Kesehatan (Omnibus Law) mengakhiri penderitaan masyarakat di bawah UU SJSN No 40/2004 dan UU BPJS No 24/2011 yang mewajibkan seluruh rakyat membayar iuran BPJS setiap bulannya. Hal ini disampaikan oleh Dr. Ribka Tjiptaning anggota DPR-RI kepada pers di Jakarta, Rabu (19/4) menanggapi pro kontra RUU Kesehatan Omnibus Law tersebut.

“Kalau rancangannya menghapus iuran BPJS Kesehatan maka kita harus dukung dan mengawal kelahiran undang-undang yang telah bertahun-tahun membebani hidup rakyat,” tegasnya.

Tjiptaning menjelaskan, transformasi kesehatan hanya bisa berhasil jika pasal iuran BPJS itu tidak lagi menjadi beban rakyat dan menjadi tanggung jawab negara lewat pembiayaan APBN dan APBD.

“Jangan ngimpi ada perubahan, transformasi segala, kalau rakyat tetap diwajibkan bayar iuran. Karena kewajiban inilah yang menjadi biangkerok rakyat jadi sakit. Kalau nunggak gak dilayani dan menunggu ajal di rumah,” tegas mantan Ketua Komisi IX DPR-RI ini.

Tjiptaning menjelaskan bahwa untuk pembiayaan dari APBN dan APBD itu tidak sulit karena hanya dengan cara membebaskan pembiayaan di puskesmas dan kelas III seluruh rumah sakit terutama milik pemerintah.

“Stop menarik iuran dari masyarakat. Tapi semua pembiayaan pelayanan kesehatan rakyat di puskesmas dan kelas III untuk 270 rakyat Indonesia. dibayar pakai APBN/APBD. Jadi rakyat berobat gratis sampai sembuh dengan pelayanan kelas III di semua rumah sakit pemerintah,” jelasnya.

Bagi mereka yang ingin naik ke kelas II, Kelas I atau VIP menurut Tjiptaning bisa bayar iuran BPJS atau asuransi lainnya. Dengan demikian menurut Tjiptaning telah berlaku adil pada seluruh masyarakat menyediakan fasilitas kesehatan di kelas III di semua rumah sakit tanpa diskriminasi.

“Orang kaya beneran pasti malu kalau mau pakai kelas III, tapi itu haknya kalau bersedia. Kalau dia mau pakai kelas II, kelas I dan VIP dia tinggal bayar sendiri atau bayar BPJS Kesehatan atau asuransi yang ada,” ujarnya.

Namun demikian Tjiptaning mengingatkan bahwa tidak boleh ada perbedaan diskriminatif pelayanan kesehatan, obat, konsul dokter, tindakan medis dari Kelas III sampai VIP.

“Sudah bukan waktunya lagi pemerintah menjual pelayanan kesehatan pada rakyat. Sudah saatnya negara mengambilalih kembali pembiayaan kesehatan rakyat seperti Jamkesmas.dimasa lalu,” ujar Tjiptaning.

Mencontoh Jamkesmas

Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Penanggulangan Bencana ini mengingatkan bahwa pemerintah pernah menunjukkan kemampuannya menanggung pembiayaan kesehatan dalam Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) sehingga rakyat tidak perlu menanggung beban iuran setiap bulan.

“Cukup pakai KTP rakyat bisa berobat di setiap puskesmas dan rumah sakit pemerintah seluruh Indonesia. Pemerintah menanggung semua biaya dengan membayar semua puskesmas dan rumah sakitnya. Pasien bisa konsultasi dokter, berobat, semua tindakan medis, semua perawatan, kontrol dokter untuk semua penyakit dengan tenang gak mikir biaya dan tunggakan iuran sampai sembuh,” paparnya.

Ia mengatakan program Jamkesmas ini bisa dilaksanakan oleh Menkes Dr. Siti Fadilah Supari dari tahun 2004-2009, dan sangat membantu rakyat mendapat pelayanan kesehatan dimanapun.

Saat itu menurutnya semua pihak mendapatkan keuntungan dalam program Jamkesmas yaitu, rakyat sakit apapun tidak kuatir karena bisa berobat dimana saja sampai sembuh secara cuma-cuma. Rumah sakit dan puskesmas mendapat kepastian dana dari pemerintah. Petugas kesehatan mendapat insentif secara layak. Sehingga kualitas kesehatan rakyat meningkat tajam.

“Jangan kayak sekarang gak kauruan. Rakyat susah berobat karena gak bisa bayar iuran BPJS Kesehatan. rumah sakit dan puskesmas tidak dibayar penuh oleh BPJS Kesehatan. Insentif petugas kesehatan tidak layak. Makanya dokter memilih bekerja di luar negeri. Pasien yang berduit memilih berobat di luar negeri, karena kualias pelayanan kesehatan merosot drastis. Yang miskin gak bisa berobat ke luar negeri tinggal nunggu mati saja,” jelasnya.

Padahal menurutnya BPJS Kesehatan bertahun-tahun selain memungut iuran langsung dari rajyat, juga memakai dana APBN dan APBD seluruh provinsi dan kabupaten kota dan menarik dana setiap perusahaan.

“Kemana selama ini dana yang terkumpul tidak pernah diaudit. Gedung BPJS makin mewah, direksi dan manajemen gajinya puluhan sampai ratusan juta. Pasien miskin antri mati tak dilayani,” ujarnya.

Mendukung UU Omnibus Law Kesehatan

Untuk itu Tjiptaning menegaskan agar lewat Undang-Undang Omnibuslaw Kesehatan pemerintah segera mengambil alih dan membebaskan biaya iuran kesehatan dari rakyat agar bisa meningkatkan kembali kualitas kesehatan rakyat.

“Jangan seperti sekarang Katanya di bawah presiden tapi Menteri Kesehatan tidak bisa mengatur BPJS Kesehatan yang pelayanannya makin buruk. Sekarang tetap dibawah presiden tapi Menkes harus ikut tanggung jawab,” tegasnya.

Belum lagi, menurut Tjiptaning banyak juga peserta BPJS kesehatan yang memiliki KIS PBI, yang dinonaktifkan oleh pemerintah karena tidak lagi mampu bayar iuran.

“Nah ini aneh, peserta BPJS Kesehatan yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah atau istilahnya KIS PBI, tiba-tiba iurannya tidak lagi dibayarkan pemerintah, otomatis dinonaktifkan oleh BPJS Kesehatan,” ujarnya.

Berobat Pakai KTP

Tjiptaning mengapresiasi kebijakan penggunaan KTP menggantikan kartu BPJS Kesehatan bagi pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

“Kita dukung kebijakan ini! Kalau setiap 1 kartu Rp 10,000 dikali 277 juta penduduk Indonesia sama dengan 2 triliun lebih hampir 3 triliun pemborosan untuk bikin kartu BPJS kesehatan dari tahun 2011. Padahal jumlah ini sangat dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan rakyat,” tegasnya.

Menurutnya ini momentum, pemerintah pusat dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi Widodo dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin memberikan Hak Rakyat dibidang kesehatan secara penuh.

“Kalau transformasi kesehatan ini untuk kepentingan rakyat kita semua harus dukung. Tapi kalau tidak untuk rakyat, untuk apa didukung,” tegasnya.***/din

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *