Connect with us

Kabar

Dr. Gatot Susanto,SH: Perlu Rekonstruksi Politik Hukum Pidana Dalam Penggunaan Narkotika

Published

on

DR Gatot Susanto (kiri) usai mempertahankan disertasinya berjudul Rekonstruksi Politik Hukum Pemidanaan Penyalah Guna Narkotika Bagi Diri Sendiri Berbasis Pancasila di depan para penguji pada Fakultas Hukum Unila.

JAYAKARTA NEWS – Meskipun dalam Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika ada sanksi berupa rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika bagi diri sendiri tetapi dalam implementasinya jarang dilakukan dalam putusan hakim dan lebih banyak sanksi penjara. Dengan demikian dapat dikatakan, banyak putusan hakim kurang memenuhi rasa keadilan dan kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Oleh sebab itu nilai Pancasila perlu diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam mengatasi penyalah guna narkotika bagi diri sendiri di Indonesia. Maka diperlukan rekonstruksi politik hukum pemidanaan dalam mengatasi Penyalah Guna Narkotika Bagi Diri Sendiri berbasis Pancasila.

Hal tersebut disampaikan Gatot Susanto, SH  dalam disertasi doktornya berjudul,  Rekonstruksi Politik Hukum Pemidanaan Penyalah Guna Narkotika Bagi Diri Sendiri Berbasis Pancasila di depan penguji pada Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), Rabu  17 Januari 2024.

Hakim pada Pangadilan Tingi Banten, Gatot Susanto, yang berhasil meraih gelar doktor hukum ini mengungkapkan, hampir seluruh putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewijsde) memberikan sanksi terhadap penyalah guna narkotika bagi diri sendiri berupa pidana penjara. Padahal sesuai ketentuan Pasal 54, Pasal 103, Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Narkotika, bahwa terhadap Penyalah Guna Narkotika Bagi Diri Sendiri dapat diberikan sanksi berupa rehabilitasi, baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.

Dari hasil penelitiannya,  Gatot Susanto mengungkapkan, kondisi eksisting politik hukum pemidanaan penyalah guna narkotika bagi diri sendiri masih belum sesuai dengan politik hukum pemidanaan sebagaimana yang diharapkan oleh pembentuk UU Narkotika. 

Hampir semua sangsi dilakukan dengan memberikan efek jera, yaitu memberikan sanksi berupa pidana penjara, bukan sanksi berupa rehabilitasi. Maka nilai-nilai Pancasila sangat mendesak untuk diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam mengatasi penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri guna memutus rantai permasalahan narkotika.

Sebab nilai-nilai Pancasila pada prinsipnya untuk menjaga kredibilitas budaya dan sikap bangsa Indonesia serta memberikan dampak yang besar bagi pendidikan moral dan karakter bangsa. Pentingnya rekonstruksi politik hukum pemidanaan dalam mengatasi penyalah guna narkotika bagi diri sendiri berbasis nilai Pancasila untuk mengubah rumusan Pasal 127 UU Narkotika.

Dalam pandangan Gatot, sanksi bagi pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika, setiap penyalaguna narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) Tahun, sesuai Pasal 127 UU Narkotika tahun 2009, perlu diubah agar tidak ada lagi inkonsistensi pada ancaman pidananya dan tidak menimbulkan masalah dalam implementasinya.

Menambah pasal tentang tujuan dan pedoman pemidanaan terhadap penyalah guna narkotika bagi diri sendiri sekaligus  untuk mengurangi terjadinya disparitas putusan hakim termasuk  melakukan pemeriksaan dengan acara pemeriksaan singkat agar lebih simpel. Selain itu penambahan pasal tentang wajib dilakukannya asesmen terhadap penyalah guna narkotika bagi diri sendiri agar tidak lagi terjadi diskriminasi terhadap pelaku.

Pada intinya Gatot menyarankan, penyalah guna narkotika bagi diri sendiri sejak tahap penyidikan hingga persidangan tidak dilakukan penahanan, bentuk surat dakwaannya adalah dakwaan tunggal, pemeriksaannya dilakukan dengan Acara Singkat.

Nilai-nilai Pancasila harus diaktualisasikan dan diimplementasikan, serta rekonstruksi terhadap UU Narkotika yang mengatur tentang hukum pidana materiil dan hukum pidana formil terhadap penyalah guna narkotika bagi diri sendiri harus segera direalisasikan agar putusan yang dijatuhkan lebih memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, serta lebih sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Ajang Bisnis

Peredaran narkotika di Indonesi apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya. Undang-Undang Narkotika hanya melarang terhadap penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud.

Penyalahgunaan Narkotika bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan serta tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang tersebut yang dikenal atau disebut sebagai tindak pidana Narkotika. Pada praktiknya tindak pidana narkotika banyak dijadikan sebagai ajang bisnis yang menjanjikan oleh para produsen dan para bandar serta para pengedar dan berkembang pesat.

Kegiatan melanggar hukum tersebut berimbas pada rusaknya mental baik fisik maupun psikis pemakai Narkotika sebagai Penyalah Guna Narkotika Bagi Diri Sendiri, khususnya generasi muda yang merupakan aset bangsa.

Kejahatan Narkotika merupakan extra ordinary crime. Pemaknaannya adalah sebagai suatu kejahatan yang berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik, serta begitu dahsyatnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan ini.

Untuk itu extra ordinary punishment kiranya menjadi relevan mengiringi model kejahatan yang berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini kian merambah ke seantero bumi ini sebagai transnational crime.

Paradigma dalam penanganan perkara Narkotika harus dipisahkan antara Penyalahgunaan Narkotika yang masuk dalam katagori criminal dengan yang masuk kategori victim, terhadap pelaku yang masuk criminal harus dihukum seberat- beratnya, sebaliknya yang masuk katagori victim harus direhabilitasi.

Salah satu parameter bagi hakim untuk menilai apakah pelaku adalah criminal atau victim adalah dengan melihat sedikit banyaknya atau berat ringannya barang bukti yang terungkap di persidangan, hal mana sesuai dengan yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010 yang menjadi pedoman hakim dalam mengadili perkara Narkotika.

Dalam praktek peradilan, politik hukum pemidanaan terhadap penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, sampai saat ini, belum berjalan sebagaimana yang diharapkan pembuat undang-undang. Akibatnya mayoritas hakim menjatuhkan sangsi pidana berupa penjara dan sedikit  sekali hakim yang menjatuhkan pidana berupa rehabilitasi baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.

Tim penguji untuk disertasi Gatot Susanto ini terdiri Prof. Dr. Ir. Lusmeilia Afriani, D.E.A., I.P.M  sebagai ketua kemudian ada Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum (skretaris penguji) dan para penguji lainnya Dr. Slamet Haryadi, S.H., M.Hum,  Dr. M. Fakih, S.H., M.S, Dr. Hieronymus Soerjatisnanta, S.H., M.H, Dr. Erna Dewi, S.H., M.H,   Prof. Dr. Maroni, S.H., M.Hum serta     Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H.

Doktor Gatot Susanto menyelesaikan pendidikan hukum (S.1) Fakultas Hukum Universitas Lampung (UNILA) lulus tahun 1985, dan Magister Ilmu Hukum (S.2) Universitas Negeri Surakarta (UNS) lulus tahun 2006. Untuk S3 ini Gatot kembali ke Unila tahun 2020 sampai meraih gelar doktor di Unila, Bandarlampung.

Karirnya dimulai tahun 1983 hingga tahun 1992 sebagai staf Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan Negeri Tanjungkarang  menjadi Panitera Pengganti hingga menjabat sebagai Kepala Bagian Pidana. Pada tahun 1992 lulus sebagai Calon Hakim (Cakim) dan ditempatkan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang hingga tahun 1996.

Karir hakimnya dimulai di Pengadilan Negeri Baturaja (1996-1999), kemudian mutasi sebagai hakim di Pengadilan Metro (1999-2003), Wakil Ketua Pengadilan Negeri Liwa (2003-2006), Ketua Pengadilan Negeri Ngawi (2006-2009), Hakim Pengadilan Negeri Bekasi (2009-1012), Ketua Pengadilan Negeri Metro (2012-2013), Hakim Pengadilan Negeri Surabaya (2012-1013), Hakim Pengadilan Negeri Semarang (2013-2016), hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Kendari (2016-2020), dan tahun 2023 hingga saat ini sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Banten, dengan pangkat Pembina Utama/Hakim Utama (Golongan IV.E). ***/ekk

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *