Feature
Asupan Mata “Bergizi” dari Punggung Merapi
GUNUNG Merapi yang berlokasi di perbatasan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Magelang Provinsi Jawa Tengah, merupakan salah satu tujuan wisata alam yang masyhur di Indonesia, lebih-lebih bagi mereka yang gemar dengan kegiatan mendaki gunung. Untuk penggemar wisata alam, sudah tersedia jalur yang aman.
Namun sebagai gunung berapi, Merapi tidak setiap saat bisa didaki atau dikunjungi. Apabila Merapi menunjukkan tanda-tanda akan meletus (erupsi), orang dilarang untuk mendaki. Apabila situasi merah, penduduk setempat bahkan diungsikan. Namun dalam banyak kasus erupsi Merapi, ada saja warga yang menolak dievakuasi atau meninggalkan kampungnya.
Sebagai gunung berapi yang aktif, Merapi tercatat telah meletus berkali-kali semenjak kali “pertama” erupsi terjadi pada tahun 1548. Pada tahun 2010 Gunung Merapi meletus dan meminta korban jiwa 30 orang.
Untuk Anda yang berhasrat melakukan perjalanan wisata ke Merapi, bisa mengambil titik start di Desa Deles. Sebaiknya perjalanan dimulai pada dinihari, paling lembat sebaiknya pukul 4.30 pagi. Dengan berangkat sekitar subuh tersebut, Anda akan mencapai di ketinggian 2.930 meter saat di puncak Merapi sekitar pukul 10.00 WIB.
Makin keatas Anda mendaki, maka Anda akan merasakan bau belerang yang tersapu di udara. Perjalanan sepagi itu perlu ditemani dengan obor atau lampu, karena kabut masih tebal. Tentu saja, hal itu membuat jarak pandang menjadi rendah. Perlu berhati-hati agar tidak terperosok atau masuk semak-semak. Bagi pemandu pendakian yang warga lokal, mereka sudah terbiasa sehingga dapat berjalan tanpa menggunakan obor. Di antara mereka ada yang mengenakan sandal, tetapi ada juga yang tidak. Bulan dan bintang menjadi petunjuk arah bagi para pemandu pendakian di Merapi ini.
Saat matahari terbit, pemandangan sangat indah sekali. Tapi, tentu saja udara masih sangat dingin. Anda dan rombongan sebaiknya mengambil waktu istirahayt sejenak jika posisi matahari sudah terbit. Dari ketinggian, Anda bisa melihal permukiman warga yang luas, seperti sedang membungkuk di kaki Merapi.
Memang sulit dipercaya, masih begitu banyak orang yang masih memilih untuk tinggal di kaki Merapi. Tentu saja warga setempat punya alasan yang kuat sehingga tetap tinggal di kaki Merapi. Pertama soal tanah pertanian yang subur, serta yang kedua menyangkut keyakinan relegi. Di antara mereka masih ada yang percaya, bahwa terjadinya letusan Merapi tidak lepas dari munculnya “kemarahan” Merapi karena gunung itu tidak menerima hadiah, yang biasa mereka sajikan di puncak gunung pada setiap tahunnya.
Lupakan mengenai “mitos” itu. Ketika pagi hari tiba, saat setelah matahari yang terbit, sinarnya terasa mengalir, menyelinap melalui sela-sela rimbunnya pepohonan. Dan makin kita ke atas, tentu saja pendakian makin menantang dan berat.
Kadang-kadang, Anda perlu bergulat dengan cabang-cabang pohon, dan meraih apa yang Anda lakukan untuk membantu Anda merangsek lebih tinggi lagi. Jika Anda merasa payah, sebaiknya memang tidak melanjutkan ke posisi lebih atas atau ke puncak gunung Merapi tersebut.
Bagi mereka yang tetap bertekad untuk menaklukkan Merapi, tetap harus berhati-hati dalam mendaki. Jika Anda sudah bertemu dengan tebing curam di bawah hutan lebat, berarti bahwa Anda akan mendapatkan ketinggian dengan kecepatan lebih cepat, dan kemudian secara bertahap bukit-bukit, dan sawah di bawah arus sungai yang menyusut, dingin pun datang, seakan kita tengah berjalan memasuki kantong udara yang berbeda. Tatkala Anda mencapai puncak Merapi, mungkin Anda heran ketika tidak menemukan adanya tanda-tanda permukiman yang beradada di kejauhan, atau bahkan siapa pun di puncak gunung tersebut kecuali Anda dan rombongan. Abu vulkanik yang ada, kadang bisa menyulitkan sepatu Anda untuk mencengkeramnya.
Jika Anda bisa mencapai ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut, maka akan menemukan sebuah dataran yang berdebu. Di sinilah penduduk setempat berkumpul setiap tahunnya untuk menempatkan persembahan yang dimaksudkan agar Merapi tidak marah. Gunung berapi tersebut telah meletus hampir setiap 5 – 10 tahun, namun warga setempat masih melakukan pendakian yang berbahaya untuk mencari harapan akan adanya kedamaian di antara mereka dan Marapi.
Ketika berada di puncak Merapi, serada berdiri di pundak raksasa, di depan mata tampak segerombolan awan, di sisi lain langit tampak jernih. Ketika Anda sampi puncak Merapi, maka akan mendapati batu yang tidak rata di sekitar jalan setapak. Ada “setitik” kawah 200 meteran yang diliputi oleh asap belerang yang tampaknya terlepas dari setiap batu yang retak.
Kita tidak bisa berlama-lama di puncak Merapi. Sebelum malam tiba harus turun. Kalau Anda mendaki bersama para pemandu setempat, tidak perlu terlalu khawatir, karena mereka umumnya mengetahui beberapa trik untuk membawa turun Anda dengan selamat dan cepat.
Jangan bayangkan ada ada helikopter atau lift ski yang akan memfasilitasi Anda turun dari puncak Merapi. Kita harus menggunakan kaki untuk meluncur turun di sisi gunung, sesekali mungkin secara tak sengaja Anda akan menendang debu dan batu. Memang, perjalanan ke puncak Merapi merupakan tantangan besar, tapi pasti akan mengesankan. Warga lokal sering menasihati, agar para pendaki bersikap santun baik dalam kata maupun sikap saat mendaki Merapi. Khawatir Merapi marah? Tidak ada yang tahu secara pasti. Tetapi, menjara adab di manapun adalah mulia.***