Feature
Tari Rimbe, Hilang Rimba
HAMPIR semua keraton, memiki tarian sakral. Kasunanan Solo punya bedhaya ketawang, dan Kasultanan Yogyakarta punya bedhaya semang. Di Cirebon, juga ada bedhaya atau tari sakral yang disebut tari rimbe atau bedhaya rimbe. Ada yang menyebut budaya rimbe.
Sesekali, tari rimbe masih dimainkan di keraton Kanoman, Cirebon. Seperti yang disaksikan jayakartanews.com awal Januari lalu. Pergelaran megah, diawali dengan pemadaman lampu. Setibanya di arena menari, mereka membuat gerak melingkar arah berlawanan, kemudian berakhir dalam posisi garis lurus horizontal berpasangan tiga-tiga. Sesaat kemudian suara gamelan berhenti dan lampu penerangan menyala. Sampai di situ, bagian pertama penampilan bedaya rimbe yang disebut fase lelaku itu selesai. Tarian rimbe untuk selanjutnya diteruskan pada fase kedua, goleng nenggalung dan diakhiri dengan fase ketiga, gendewaan (perang-perangan).
Penari menggunakan penataan rias cantik pada wajahnya. Busana yang dikenakan, menggunakan kemben (apok) warna gelap, pada bagian pinggir kain diberi rumbai-rumbai dari mute dan payet. Sementara di bagian pinggang terpasang sabuk warna kuning dengan dasar kain hitam dilengkapi selendang/soder/sampur warna kuning yang diselipkan di sisi kanan-kiri sabuk. Di bagian bawah memakai kain bermotif batik kraton (liris; Kangkungan/kembang kangkung).
Kekuatan visual tata rupa dari rias-busana yang menakjubkan itu menciptakan pesona luar biasa, membuat penulis (penonton) sejenak kehilangan kesadaran bahwa tarian rimbe terus mengalir dalam gemulainya para penari melenggang, mengikuti irama monoton gending kesturun yang dilanjutkan dengan gending titi pati, jungjang dan embat-embat.
Tarian rimbe adalah satu bentuk reportoar tari kelompok putri yang hidup di Keraton Kanoman Cirebon. Repertoar tari ini bersumber pada cerita “Menak Jayengrana” dan ditarikan enam penari putri keraton dipersembahkan dalam setiap upacara kenegaraan Keraton Kanoman pada masa lalu. Ketatnya berbagai aturan untuk para penari maupun dalam tata cara penyajiannya, jelas menyiratkan kandungan filosofis bernilai ritual dan sarat makna simbolik aristokrasi. Sebagai satu artefak, rimbe memiliki nilai arkaik dan artistik yang tinggi sebagai seni klasik istana dan juga bernilai historik.
Persoalannya, sekarang nyaris tak lagi terdengar gelaran Tarian Rimbe di Keraton Kanoman. Keraton Kanoman pun tampak mengenaskan. Perawatannya tak lagi segeliat dulu. Kurangnya dana serta ketidaktertarikan akan budaya makin meminggirkan kekayaan budaya yang ada di The Great City of Cirebon. Tergerus banyak kepentingan. ***