Connect with us

Kolom

Save Demokrasi di Pilgub DKI 2024

Published

on

Achmad Fachrudin, Akademisi dari Universitas PTIQ Jakarta

Oleh Achmad Fachrudin, Akademisi dari Universitas PTIQ Jakarta

MENJELANG tahapan pengumuman pendaftaran Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur yang menurut PKPU No. 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024 dijadwalkan mulai Selasa, 27 Agustus 2024 hingga Kamis, 29 Agustus 2024, dinamika dan suhu politik Jakarta makin seperti ‘api dalam sekam’. Penyebabnya karena adanya sejumlah manuver elit politik dan persengkokolan politik yang terindikasi menskenariokan kontestasi Pilgub DKI 2024 tidak kompetitif. Bahkan menjurus kearah kontestasi orang melawan kotak kosong.

Indikasinya setelah Partai Golkar memutuskan mendorong Dedi Mulyadi sebagai calon gubernur (Cagub) Jawa Barat.  Dengan langkah tersebut, membuka peluang Ridwan Kamil (RK) dicagubkan atau istilahnya OTW (on the way) ke Pilgub DKI 2024. Bersamaan pencalonan RK di Pilgub DKI, Partai Golkar merangsak mengkapitulasi dukungan  politik dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) maupun dari Koalisi   Perubahan untuk Persatuan (KPP), yang kemudian disebut Koalisi KIM Plus.

Yang dimaksud KIM Plus adalah masuknya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem maupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke KIM Plus. Sebelumnya terindikasi poros KIM mendukung Anies sebagai Cagub DKI lalu balik arah  bergabung mendukung RK. Dan bisa pula ke depannya atau rewardnya  masuk pada Kabinet Presiden Prabowo Subianto mendatang. Karena dalam politik, ada istilah “tidak ada makan siang gratis”.

Sebenarnya manuver politik Golkar dengan KIM plusnya sah-sah saja dan tidak bertabrakan dengan UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Apalagi dengan langkah tersebut makin mendorong terwujdnya Pilgub DKI 2024 makin kompetitif dan demokratis.   Tetapi jika bukan itu yang menjadi tujuan utama, merupakan bencana dan tragedi demokrasi.  Sekaligus menunjukan kegagalan partai politik dalam melakukan regenerasi calon-calon pemimpin bangsa di tingkat nasional maupun  lokal.

Pertanyaan Kritikal

Pertanyaan kritikalnya, mengapa ada indikasi politik KIM Plus mendesain RK bertarung tanpa lawan seimbang (minus Anies, Ahok atau kandidat setara kualitasnya). Bahkan dengan kotak kosong di Pilgub DKI 2024? Banyak jawabannya. Diantaranya: Pertama, prasangka berfikir positifnya (positive thinking), supaya terjadi keseimbangan dalam kontestasi politik di Pilgub DKI. Sebab sebelumnya nama-nama yang sudah populer di masyarakat berkisar antara Anies, dan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Namun keduanya bukan dari poros KIM.

Kedua, prasangka negatif (negative thinking) lebih banyak. Diantaranya kuatir kalah manakala RK harus bertarung melawan Anies atau Ahok. Kekuatiran tersebut logis karena berdasarkan survei Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia pada 18-26 Juni 2024, Anies menempati posisi teratas (39,7%), disusul Ahok (23,8%) dan RK (13,1%).

Ketiga, bagian dari strategi “the winner tak all”. Kubu Prabowo Subianto yang dinobatkan sebagai pemenang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 oleh Mahkamah Konstitusi menerapkan strategi “the winner take all” dengan merangkul semua kekuatan politik yang ada, termasuk yang sebelumnya bersebrangan saat di Pilpres. Bukan tidak mungkin, pesaing-pesaing politik Prabowo di Pilpres akan beroleh kavling atau kursi empuk di pemerintahan. Sebab bagi Prabowo, kompetisi di Pilpres 2024 sudah selesai. Semua pihak diharapkan bersatu dan bekerja sama  guna membangun bangsa.

Keempat, motif meluaskan sayap-sayap kekuasaan dari pusat hingga lokal. Kubu KIM Plus merasa tidak cukup atau puas hanya menang di Pemilu Nasional, yakni: Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024, melainkan juga harus memenangkan Pemilu Lokal. Manakala di Pilgub DKI 2024 berhasil dimenangkan,  selain akan terjadi kapitalisasi kekuasaan, diasumsikan kebijakan Pemerintah Pusat bakal lebih mudah dan mulus dilaksanakan di Jakarta. Dalam situasi semacam ini, sulit dihindarkan terjadinya cengkraman oligarki.

Kelima, upaya memenangkan kontestasi di Pilgub DKI 2024 dengan RK digadang-gadang sebagai Cagub DKI, bersamaan dengan beragam strategi politik. Pada satu sisi,  menerapkan politik akomodasi, transaksional dan pragmatis dengan merangkul semua potensi kekuatan yang ada, baik personal maupuun institusi partai politik, untuk memperkuat hegemoni kekuasaan. Di sisi lain, menerapkan ‘politik pecah bambu’ dengan cara mempengaruhi, melemahkan atau bahkan membuat pesaing-pesaing politik saling berkonflik.

Keenam, fenomena politik jelang Pilgub DKI 2024 masih menguatkan adanya aroma rivalitas antara Anies  sebagai Calon Presiden (Capres) dari kubu KKP atau Koalisi Perubahan melawan Prabowo Subianto sebagai Capres dari kubu KIM di Pilpres 2024. Sehingga tidak heran manakala  Pilgub DKI 2024 dimetaforakan rasa Pilpres 2024. Bedanya di Pilgub DKI 2024, Anies menjadi Cagub DKI 2024.  Sedangkan di even politik yang sama, Prabowo berada pada posisi episentrum dalam penetapan Cagub DKI yang bakal diusung di Pilgub DKI 2024.  Di Pilgub DKI 2024, Prabowo dengan KIM-nya,  diperkirakan mendukung mantan gubernur Jawa Barat (RK).

Penguatan atau Pelemahan Demokrasi

Jika skenario pemufakatan politik mencagubkan RK di Pilgub DKI 2024  dengan lawan tanding yang tidak berimbang. Misalnya minus Anies, Ahok atau kandidat potensial lainnya yang bakal muncul di injury time, dan apalagi RK harus bertanding dengan kotak kosong. Apakah hal ini indikasi dari penguatan dan kemajuan demokrasi di Indonesia, khususnya di Jakarta, atau justeru terjadinya stagnasi, resesi atau kemunduran (backsliding) demokrasi?

Terhadap pertannyaan ini seyogianya jawabannya bukan ditentukan oleh keberadaan atau posisi dimana, melainkan harus lebih berpijak kepada nilai-nilai dan akal sehat. Sebab jika jawabannya berangkat dari posisi berada dimana, biasanya kepentingan politik atau pragmatis akan lebih dominan (subyektif).  Sebaliknya manakala jawabannya berangkat dari pertimbangan nilai, biasanya idealisme dan kepentingan bersama lebih didahulukan (objektif).

Sebenarnya dengan akal atau nalar sehat dan sederhana saja, berbagai trend politik yang belakangan ini terjadi sudah dapat dibaca atau ditebak arah dan tujuan akhirnya. Rakyat atau pemilih yang kurang melek politikpun juga memahami. Tidak perlu melalui survei yang biasanya memakan anggaran besar.

Jika kepada rakyat kebanyakan dihadapkan opsi pertanyaan mengenai Pilgub DKI 2024 dengan para Cagub DKI berimbang atau tidak sebaliknya tidak berimbang dari sisi kualitas, popularitas dan elektabilitas, sebagian besar publik akan memilih adanya kompetisi politik yang berimbang.  Apalagi jika diajukan pertanyaan, apakah rakyat Jakarta sudi jika Pilgub DKI 2024 mengkontestasikan seorang Cagub DKI dengan kotak kosong?  Sebagian besar pasti menjawab tidak menghendaki.

Pameo atau peribahasa latin  menyebutkan, “suara rakyat adalah suara Tuhan” (Vox populi, vox Dei) sebuah traktat Whig tahun 1709. Peribahasa latin tersebut sering dikutip dan dan diekspressikan oleh sejumlah elit politik, terutama Partai Golkar. Terkait dengan dugaan adanya skenario atau trend politik mendesain Pilgub DKI 2024 tidak kompetitif dan apalagi dengan adanya kotak kosong. Mestinya penguasa, elit politik, atau elit partai, mendukung terwujudnya peribahasa Latin tersebut dengan cara berpihak kepada Pilgub DKI 2024 yang demokratis dan kompetitif.

Pemilihan hanya akan dianggap demokratis jika prosesnya dilakukan sesuai peraturan perundangan Pemilu/Pemilihan, Luber dan Jurdil. Selain itu,  kandidatnya  juga berimbang dari sisi kualitas, popularitas dan elektabilitasnya. Sehingga rakyat, mempunyai alternatif pilihan yang banyak dan beragam. Lalu memilih yang baik diantara yang baik sehingga terpilih yang paling terbaik (primus interpares). Jika kita menghendaki Pemilihan tidak kompetitif, bukan hanya berpotensi memanipulasi suara Tuhan, hasil Pilgub DKI 2024 berpotensi bisa tidak sesuai dengan suara mayoritas publik.

Dari Penguasa Hingga Rakyat

Proses pencalonan Cagub dan Cawagub DKI 2024 sudah diambang mata. Dicermati dari indikasinya, kepastian tiket Cagub DKI dan Cawagub DKI sudah berada di kantong RK dan kubunya. Sedangkan pada Anies, Ahok atau kandidat potensial lainnya yang bisa saja muncul mendadak, tiket tersebut seperti belum berada di tangan. Masih di pasar gelap politik. Bahkan yang sudah di tangan bisa melayang ‘dibeli’ orang atau pihak lain karena ditawar dengan harga lebih mahal.

Politik adalah seni memanfaatkan peluang dan kemungkinan, sekecil apapun. Maka, semua kemungkinan tersebut tetap tersedia dan kejutan bisa saja terjadi sepanjang terdapat element of surprise.  Demi Pilgub DKI 2024 yang Luber, Jurdil, kompetitif dan demokratis, semua pihak diharapkan memiliki political will dan political act untuk menyelamatkan demokrasi di Jakarta sesuai dengan fungsi dan wewenangnya. Prabowo Subianto sebagai penguasa baru di Indonesia seyogianya menununjukan sikap-sikap kenegarawanan dan demokratis terhadap proses Pilgub DKI 2024.

Bagi kubu/poros KIM plus, diharapkan kesadaran dan kerelaannya untuk mendorong kompetisi elektoral yang kompetitif. Caranya dengan cukup mengusung Cagub dari poros KIM. Sebaliknya kubu Koalisi Perubahan dapat konsisten mengajukan Anies sebagai Cagub. Sementara poros PDI Perjuangan dengan mitra koalisinya juga mengajukan Cagub, atau mungkin juga muncul Cagub alternatif  dari poros baru. Siapa tahu? Sehingga minimal terdapat tiga Cagub yang berkompetisi di Pilgub DKI 2024.

Lagi pula, siapapun pemenangnya akan terasa berkeringat, bekerja, serta penuh kebanggan (pride), jika menang di Pilgub DKI secara kompetitif dan elegan yang berarti kompetitornya banyak serta berimbang dari sisi kualitas, popularitas dan elektabilitas. Bayangkan bila berkompetisi elektoral hanya head to head, apalagi kotak kosong, tentu tidak/kurang membanggakan. Bahkan seharusnya kandidat dan pengusungnya merasa ‘malu’ dengan kontestasi elektoral defisit/minus pesaing kompetitif. Atau menang/kalah melawan kotak kosong.

Sementara bagi penggiat demokrasi, akademisi, kampus, civil society, media massa,  masyarakat dan pencinta demokrasi memiliki kesadaran kolektif  untuk menyelamatkan demokrasi di Pilgub DKI dan mengingatkan bahaya dan ancaman Pemilihan tidak kompetitif dan apalagi dengan kotak kosong. Baik secara ofline maupun online, dari wacana hingga aksi.  Termasuk melalui gerakan di media sosial dengan memviralkan tagar hashtag dengan simbol tagar (#) save democracy atau save Pilgub DKI 2024.

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *