Connect with us

Feature

Rejeki dari Minyak Sawit

Published

on

Hari masih pagi. Jam baru menunjukkan pukul 05.30. Cinere masih terasa dingin. Perempuan setengah baya itu, bergegas menuju gerejanya. Dengan ojek online, Dewi Melatisari tentu merasa semakin dingin menembus udara pagi itu. Dewi, demikian dia akrab dipanggil, dihantar dengan cepat. Biaya 10 ribu rupiah menunjukkan jarak yang tidak jauh. Gereja yang ditujunya, memang masih di bilangan Cinere, Depok – Jawa Barat.

Setibanya di gereja, ia menuju dapur di bagian belakang. Bersama beberapa rekannya, dia akan mengolah masakan untuk 200 orang, dari pk 06.00 hingga 10.00. Untuk hari minggu itu misalnya, menu yang ditetapkan ayam sambal goreng berikut sayur, sambal dan kerupuk.

Sebanyak  200 potong ayam kampung telah siap untuk diolah. Untuk menggoreng ayam sejumlah itu, ia menggunakan 12 liter minyak goreng. “Kelihatannya memang banyak, karena kalau sudah kelihatan tidak bagus, minyak harus diganti yang baru,” ujar Dewi. Di dalam wajan yang besar, ia menuangkan enam liter pertama minyak dalam kemasan bermerek Sunco. Kemudian, diganti dengan enam liter kedua saat minyak pertama sudah digunakan dua atau tiga kali menggoreng.

Tiga tahun sudah, Dewi mengabdikan diri di gereja sebagai penggiat dapur. Selama itu pula, minyak goreng yang digunakan, tidak pernah berganti merek. Tetap memakai Sunco. Ia menyiapkan makanan yang biasanya terdiri dari tiga macam menu. Makanan ini akan dijual kepada jemaat setelah ibadah yang berlangsung pk 10.30-12.00. Satu porsi makanan dihargai Rp 20.000.  

Bagi Dewi, berkegiatan di dapur gereja setiap minggu pagi merupakan bentuk pelayanan dalam kehidupan rohaninya. Kesehariannya diisi juga dengan menerima pesanan masakan dari luar. Baik dalam bentuk box atau prasmanan. Untuk mengolah semua pesanan masakannya, ia tetap menggunakan minyak goreng kemasan bermerek. “Lebih sehat dan lebih bening minyaknya. Saya tidak mau pakai minyak curah,” ujar ibu dari satu putri ini.

Wanita yang berasal dari Solo ini, mengakui memakai minyak goreng dari kelapa sawit ini lebih berkualitas dari minyak lainnya. Walaupun harganya agak mahal, dia tetap memakai minyak sawit. Selain itu, menurutnya, minyak sawit pun mudah ditemui di supermarket sekitar  rumah. “Lebih jernih, lebih sehat, dan mudah diperoleh di sekitar rumah,” ujarnya kepada Jayakarta News mengenai minyak goreng yang digunakannya itu.  

Di tempat lain, sekitar Tangerang, Les Marita sejak pk 03.30 sudah mempersiapkan masakannya. Ia memasak berbagai lauk dari ikan, ayam dan telur. Juga aneka sayuran serta gorengan. Semua makanan itu untuk dijualnya di  depan Lapas Perempuan Kelas II A Tangerang.

Perempuan dengan panggilan akrab Bu Yitno ini, sudah memajang semua masakannya, pk 07.30 di sebuah gerobak kecil yang mangkal di pojok halaman luar Lapas. Dilengkapi kursi kayu panjang dan meja sederhana di bawah rindangnya pohon, Bu Yitno siap menerima pelanggan masakannya. Gerobak itu menjadi tanda, tempatnya adalah “warung makan” yang siap menerima pengunjung yang mau makan di samping gerobaknya.  

Perempuan ini memang dikenal dengan panggilan Bu Yitno oleh orang-orang sekitar Lapas Perempuan. Suaminya, Suyitno adalah pesiunan petugas Lapas setempat. Karena itu, dia memunyai kesempatan untuk berjualan di sekitar Lapas. Bahkan, sebelumnya, ia pernah berjualan di dalam Lapas selama 10 tahun. Karena itu tidak heran, masakannya sudah akrab di lidah para petugas Lapas. Juga para pengunjung ke Lapas, tidak jarang membawa masakannya sebagai “buah tangan” untuk mereka yang di dalam sebagai warga binaan.  

Bagi Bu Yitno menjaga kualitas masakannya sangat penting. Baik ketika berjualan di dalam atau di luar Lapas. Masakan yang dijualnya selalu baru. Dalam sehari, dia hanya masak 5 liter nasi dengan lauk dan sayuran sekitar 10 macam. “Kalau jam 2 siang sudah habis, saya pulang istirahat, tidak mau menambah makanan lagi atau masak lagi. Makanya, masakan saya selalu baru. Tidak ada makanan yang kemarin,” ujarnya kepada Jayakarta News yang sambil menikmati sarapan pagi di tempatnya.  

Namun, yang paling penting baginya, ia sangat berhati-hati memilih minyak goreng. Karena minyak goreng adalah bahan utama dalam masakannya. Ia memakai minyak kemasan yang bermerek. “Saya tidak mau memakai minyak curah. Biar lebih mahal, saya pakai minyak kemasan yang bermerek,” tandas ibu dari satu anak ini. Dalam sehari, dia menggunakan dua bungkus minyak goreng kemasan dua liter. “Lebih jernih dan sehat. Juga gampang belinya. Kadang saya pakai Bimoli, kadang Filma,” katanya lagi.

Sang Primadona “Mejeng” di Dapur

Dua perempuan ahli masak ini, hanya sebagian kecil dari sekian banyak yang berbisnis kuliner. Entah di gerobak seperti milik Bu Yitno, atau Catering rumahan yang dikerjakan Dewi, bahkan rumah makan dan resto besar lainnya, semua pasti membutuhkan minyak goreng. Barang ini menjadi primadona di dapur  mereka, juga pastinya bagi ibu rumah tangga pada umumnya.

Sekian ratus juta ibu rumah tangga di pelosok negeri ini, tentu sangat membutuhkan minyak goreng dalam keseharian mereka. Penggunaan minyak goreng untuk memasak sehari-hari sangat melekat di masyarakat. Dengan minyak goreng, makanan memiliki rasa yang lebih lezat dan gurih dibanding dengan makanan yang direbus, dipanggang atau dikukus. Hal ini membuat sebagian besar masyarakat khususnya ibu rumah tangga dan penjual makanan sangat tergantung dengan minyak goreng. Maka, minyak goreng menjadi primadona yang paling sering mejeng di dapur para ibu rumah tangga, pemilik kuliner di rumah makan, restoran, bahkan warung-warung kecil pinggir jalan.

Coba lihat di berbagai warung, atau supermarket. Akan banyak berbagai macam merek minyak goreng dalam kemasan. Ada kemasan plastik, botol dan jerigen yang bermerek dan berlebel. Ada Filma, Bimoli, Sunco, dan lainnya. Di lebel itu tertera info mengenai si produk dan gizi yang terkandung di dalamnya. Sebagian besar dari produk ini berbahan baku minyak sawit.

Sebagai salah satu produk turunan dari minyak nabati, minyak goreng ini terbagi dua macam, minyak goreng dalam kemasan bermerek dan minyak goreng curah.  Untuk minyak curah hanya dikemas dalam plastik tanpa nama dan keterangan. Harganya tentu  lebih murah dari kemasan bermerek. Keduanya beredar di pasaran dan mempunyai “penggemar” masing-masing.  

Namun, minyak kelapa sawit ternyata tidak melulu tampil di dapur. Minyak ini juga ada dimana-mana. Di makanan, roti dan kue, minyak sawit menjadi bagiannya. Di shampo dan pasta gigi, juga menggunakan minyak sawit. Bahkan kosmetik pun tidak luput dari minyak sawit.

Gita Noewardhani saat pembuatan sabun dari berbagai macam sumber minyak jelantah, sebagian besar dari kelapa sawit, sekitar satu tahun lalu di Jakarta. (Foto: istimewa)

Minyak Sawit, “Ratu” di Supermaket

Dalam artikel yang ditayangkan Media Asian Agri pada Juni 2018, dikatakan bahwa Minyak Sawit dianggap sebagai bahan yang serba guna yang bisa ditemukan dalam makanan ringan, kosmetik, produk perawatan tubuh hingga pembersih rumah tangga. Karena itu, sekitar setengah dari produk yang dijual di supermarket biasanya mengandung minyak sawit.

Nah, kalau sampai setengah produk yang dijual adalah barang-barang kebutuhan yang menggunakan minyak sawit, bisa dibayangkan betapa banyaknya  kelapa sawit yang dibutuhkan di negeri ini.

Ternyata, hal ini telah menimbulkan banyak kritik terhadap pertanian kelapa sawit. Misalnya, seperti yang sering beredar di media, dikatakan bahwa proses pertanian kelapa sawit menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran dan gundulnya hutan.

Gita Noewardhani, Ketua Yayasan Paragita, sebuah komunitas peduli lingkungan hidup, ketika ditanya Jayakarta News mengenai penggunaan minyak goreng di rumahnya. Dia mengakui, enggan memakai minyak sawit. Sehari-harinya ia menggunakan minyak jagung atau minyak kelapa. “Kalau saya pakai minyak sawit, berarti saya mendukung perkebunan sawit,” ujarnya.  Ini menyiratkan dirinya, tidak mendukung proses pertanian kelapa sawit. Kerapnya lahan sawit dituduh sebagai perusak lingkungan, menurutnya karena pohon itu sendiri. “Akarnya yang serakah akan unsur hara tanah dan daya serap airnya sangat tinggi sehingga memerlukan air yang banyak untuk tumbuh dan berkembang,” jawabnya melalui media WhatsApp.

Karena itu, Gita menegaskan, para pengusaha perkebunan sawit atau petani sawit harus mematuhi prinsip tanaman sawit berkelanjutan. “Agar bisa memiliki nilai ekonomi, sosial dan juga bersifat ramah lingkungan. Hal ini penting untuk seluruh mahluk hidup yang ada di bumi,” paparnya mengenai pentingnya prinsip tanaman sawit berkelanjutan.

Ada beberapa catatan menurutnya mengenai pelanggaran yang terjadi oleh para pengusaha perkebunan sawit atau petani sawit. Seperti pelanggaran penyerobotan tanah milik masyarakat, kriminalitas terhadap petani, penindasan hak-hak buruh perkebunan. Karena itu, menurut Gita yang pernah menginisiasi minyak jelantah bersama komuntiasnya, diolah menjadi bahan pembuatan sabun dan biodisel,  bahwa prinsip tanaman sawit berkelanjutan sangat penting.  

Gita Noewardhani saat pembuatan biodiesel dari berbagai macam sumber minyak jelantah, sebagian besar dari kelapa sawit, sekitar satu tahun lalu di Politeknik Bandung (foto istimewa)

Minyak Sawit Berkelanjutan

Dalam media Asian Agri, dibahas, bagaimana mencari solusi terbaik, agar tetap bisa menggunakan minyak sawit, tanpa ada rasa bersalah? Jawabannya adalah dengan minyak sawit berkelanjutan. Adapun yang dimaksud minyak sawit berkelanjutan yang paling mudah diterima berasal dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sebagaimana dikutip dari media tersebut, bahwa RSPO adalah badan sertifikasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari semua sektor industri kelapa sawit (termasuk produsen, pengolah dan pedagang minyak sawit, pengecer dan organisasi lingkungan) untuk mengembangkan, memproduksi, dan menggunakan minyak sawit, dengan meminimalisir terjadinya dampak negatif pada lingkungan dan masyarakat. Kelapa sawit yang sudah tersertifikasi RSPO adalah kelapa sawit yang berkelanjutan.

Produsen kelapa sawit yang telah tersertifikasi RSPO harus mematuhi delapan prinsip, di antaranya; komitmen terhadap transparansi; kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku; berkomitmen untuk kelangsungan ekonomi dan keuangan jangka panjang; penggunaan praktik terbaik yang sesuai oleh petani dan pabrik; tanggung jawab lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati; pertimbangan yang bertanggung jawab atas karyawan, dan individu serta masyarakat yang dipengaruhi oleh petani dan pabrik; bertanggung jawab atas pengembangan dan penanaman baru; dan komitmen untuk terus meningkatkan segala kegiatan di area tersebut.

Sebagaimana dikutip dari Info Sawit, minyak sawit berkelanjutan, merupakan paradigma baru, guna menyamakan persepsi akan besarnya kebutuhan minyak makanan dan non makanan bagi masyarakat dunia termasuk Indonesia. Minyak sawit bersertifikasi berkelanjutan seperti sertifikasi RSPO, sangat dibutuhkan, guna mengembangkan industri dan ramah lingkungan. (melva tobing)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *