Connect with us

Feature

Moment Khusus Dua Danjen Kopassus

Published

on

Catatan Egy Massadiah Menyambut HUT Komando Pasukan Khusus ke-70

JAYAKARTA NEWS – Rangkaian kenangan tugas mengalun penuh irama, saat dua jenderal Kopassus bernostalgia. Yang satu Iwan Setiawan (Danjen Kopassus 2022 – ). Satunya lagi, Letjen TNI Purn Dr (HC) Doni Monardo, (Danjen Kopassus 2014-2015).

Laksana lantunan “tembang kenangan”, bulir-bulir memori tugas masa lalu mengucur deras. Hubungan Iwan dan Doni bukan sekadar senior-junior atau abang-adik. Keduanya memiliki kenangan dalam serangkaian penugasan operasi militer di Timor Timur, Aceh, Papua, Poso, dan lain-lain.

Itulah yang terekam di Gedung PPAD, Jl. Matraman, Jakarta Timur, Selasa (12/4/2022), saat Iwan Setiawan menyambangi Ketua Umum PP Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD), Letjen TNI Purn Doni Monardo dan jajaran.

“Hari ini saya senang bisa bertemu bapak Doni Monardo. Silaturahim ini juga sebagai bagian dari syukuran ulang tahun Kopassus ke 70 pada 16 April ini,” ujar prajurit baret merah yang sukses memimpin ekspedisi pendakian gunung tertinggi di dunia, Mount Everest pada tahun 1997, saat masih berpangkat Letnan Satu.

Ketua Umum PP PPAD, Letjen TNI Purn Doni Monardo menerima kunjungan Danjen Kopassus Mayjen TNI Iwan Setiawan, di Markas PPAD, Jl, Matraman, Jakarta Timur. (foto: egy massadiah)

Iwan meminta Doni Monardo berkenan menyuluhkan bimbingan. “Bersama pak Doni saya memiliki hubungan emosional. Paling teringat saat Ekspedisi Khatulistiwa di Kalimantan, Maret – Juli 2012. Beliau brigjen saya letkol,” ujar pria kelahiran Bandung, 16 Februari 1968 itu.

Saat itu, Letkol Iwan di posisi Wadan Pusdikpassus (Pusat Pendidikan Komando Pasukan Khusus/Kopassus). Dalam ekspedisi tersebut, ia menjabat Kabag Ops di bawah komando Wadanjen Kopassus Brigjen Doni Monardo.

“Beliau benar-benar terjun ke lapangan, tidur menggunakan ponco perorangan, basah kehujanan serta mandi di selokan yang airnya mengalir dari kebun sawit. Bahkan makan mie instan bersama,” kenang Iwan tersenyum.

Perwira lain yang turut serta adalah Letkol Gusti Putu Danny Karya Nugraha, Letkol Jonathan Binsar Parluhutan Sianipar, Letkol Fitry Taufik Sahari (Pakorwil Kalbar Kalteng – Kahub Kopassus), Letkol Rafael Granada Baay, dll. Mereka, tim ekspedisi yang berhari hari menyusuri perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan. Sejumlah perwakilan mahasiswa juga ikut terlibat.

Danjen Kopassus Mayjen TNI Doni Monardo (2014-2015) bersama para asisten dan komandan satuan. Tampak Kolonel Inf Iwan Setiawan di belakang-kanan Doni Monardo. (foto: dokpri)

Dicintai Rakyat

Iwan bertekad, ke depan akan mengisi kemampuan prajurit baret merah agar makin profesional, militan dan dicintai rakyat. Iwan memaparkan bahwa personil Kopassus terdiri atas Grup 1, (Serang), Grup 2 (Kartasura), Grup 3 (Cijantung), Pusdiklat Kopassus (Batujajar), dan Sat 81 Gultor (Cijantung).

“Tapi izin, Danjen Kopassus tetap pak Doni. Saya hanya penerusnya,” ujar Iwan dengan nada gurau. Doni Monardo tampak terpingkal di balik masker yang tak pernah lepas.

Pria yang dalam keseharian kental dengan keceriaan khas Sunda ini, lagi-lagi membuat Doni Monardo tertawa saat menceritakan bagaimana ia telah bergegas datang ke markas PPAD dengan harapan tiba lebih dulu, meski ia tamu.

“Tapi apa yang terjadi. Saya lapor ya Pak Doni, di sini banyak senior yang ternyata sudah tiba lebih awal. Wah, saya merasa sangat terhormat. Ya, begitulah, luar biasa,” kata Iwan yang merasa sangat tersanjung karena setelah acara selesai, Ketua Umum PPAD beserta sejumlah pengurus mengantarnya hingga naik ke mobil. Sebuah pemandangan mengharukan sekaligus membanggakan dari senior kepada yuniornya.

Diam-diam Iwan sudah menelisik tentang PPAD, organisasi wadah purnawirawan TNI-AD yang dipimpin Doni Monardo. “Saya dapat informasi yang luar biasa dari para karyawan dan staf. Kalau dulu ngantor seminggu sekali, sekarang Senin sampai Jumat,” kata Iwan disambut tepuk tangan pengurus PPAD dan tamu yang hadir.

Bukan hanya itu, Iwan juga mengetahui kalau PPAD sekarang menggulirkan politik kesejahteraan. “Maju terus pantang mundur, dengan misi prosperity policy,” ujar Iwan.

Mantan Danjen Kopassus Mayjen TNI Widi Prasetijono menjalani tradisi penyerahan satuan Korps Baret Merah kepada penggantinya Brigjen TNI Iwan Setiawan di Markas Kopassus, Cijantung, Jakarta, Jumat (8/4/2022). (ist)

Misteri Delapan

Ihwal pelantikannya sebagai Danjen Kopassus, lagi-lagi Iwan menyampaikannya dalam narasi yang ringan dan menghibur. “Angka delapan ada yang bilang angka bagus. Kebetulan angka itu kok sepertinya melekat terus ke saya,” kata Iwan sambil tersenyum.

Maksudnya adalah, Iwan dilantik menjabat Danjen Kopassus tanggal 8, lahir tahun 68, Danjen ke-35 yang kalau dijumlah menjadi angka 8, dan kode panggilan Danjen Kopassus adalah 08.

Benar. Iwan adalah Danjen Kopassus ke-35 yang dilantik pada Jumat, 8 April 2022 lalu. Sementara, Doni Monardo adalah Danjen Kopassus ke-27 (2014-2015). Jarak Doni menjabat ke Iwan juga ada 8 Danjen – yakni 35 dikurangi 27 adalah 8.

Jaga Silaturahmi

“Sebagaimana dulu Bapak contohkan kepada kami, sebelum ultah Kopassus, bapak selalu melakukan silaturahmi kepada para senior. Termasuk kami silaturahmi ke Jenderal Widjojo Soejono, Danjen Kopassus ke-6 (1967 – 1970). Saat saya sampaikan salam dari pak Doni Monardo, beliau cepat menjawab, ‘beliau orang baik. Sampaikan salam hormat kembali buat pak Doni’,” katanya.

Iwan memuji dalam usia di atas 90 tahun, Widjojo Soejono relatif sangat sehat. Iwan sempat menguak memori 11 tahun lalu, saat mendampingi Doni Monardo bersilaturahmi dengan Widjojo yang saat itu berusia 83 tahun.

“Entah pak Doni masih ingat atau tidak. Waktu itu bapak tanya apa resep sehat pak Widjojo Soejono,” berkata begitu, Iwan berhenti sejenak menatap ke arah Doni Monardo yang duduk di sebelahnya.

Belum sempat Doni menjawab, Iwan melanjutkan ceritanya. Saat ditanya resep sehat, Widjojo menyampaikan tiga rahasia tetap sehat di usia sepuh.

Pertama, tidak boleh nganggur. Kedua, harus menyalurkan hobi. Ketiga, cari perempuan muda. “Waktu itu pak Doni kaget dan bereaksi spontan. Pak Doni jawab, ‘yang nomor satu dan dua siap laksanakan, tapi yang nomor tiga tidak bisa’, dan kita semua tertawa,” ujar Iwan, disusul tawa Doni Monardo dan hadirin.

Yongmoodo

Iwan melanjutkan catatan kenangan tugasnya, saat menjabat Komandan Brigade Infanteri (Brigif) 22/Ota Manasa, Gorontalo (2013-2014). Kala itu, situasi Gorontalo cukup panas, akibat bentrok antara Brimob Polda Gorontalo dan Anggota Kostrad Yonif 221 Kabupaten Gorontalo, yang terjadi April 2012.

Dengan gaya kepemimpinan ala “kampung”, (istilah Iwan) ia menyongsong tugas itu dengan niat tulus. “Saya tidur di barak, mandi telanjang bareng prajurit, memimpin lari marathon tiga jam. Kami bikin kolam renang, saya ajarkan cara berenang dan menyelam memakai baju PDL lengkap. Saya beri materi bela diri. Nah, saat itu saya kembali minta tolong pak Doni,” ujar Iwan, lagi-lagi sambil melirik ke arah Doni Monardo.

Tahun 2013, Doni Monardo dalam posisi Komandan Paspampres. Iwan tahu betul, seniornya itu adalah Wakil Ketua Umum Federasi Yongmoodo Indonesia (FYI) periode 2012 – 2016. Yongmoodo adalah beladiri Korea yang menjadi salah satu cabang beladiri wajib di TNI.

“Saya minta bantuan pak Doni untuk mendatangkan pelatih yongmoodo ke Gorontalo. Pak Doni kirim lima guru yongmoodo, level Dan V. Yang terbaiklah. Terima kasih pak Doni,” kata Iwan. Doni tersenyum mendengar paparan juniornya yang memang terkenal jenaka.

Nah, seiring meningkatnya skill beladiri, sikap prajurit Brigif 22/OM justru makin runduk, seperti ilmu padi. Pelan tapi pasti, kasus laten perseteruan dengan polisi bisa menguap.

Foto dari udara, Markas Brigif Para Raider 3/TBS, Kariango, Sulsel yang dulunya gersang dan tandus, saat ini sudah sangat rimbun. Penghijauan dilakukan saat Doni Monardo menjabat Dan Brigif di sana (2006-2008). (foto: dokpri)

Trembesi Kariango

Sebenarnya sebelum urusan dukungan pelatih Yongmoodo, Iwan sudah pernah juga menerima bantuan langsung dari Doni berupa bibit pohon trembesi. Saat baru dilantik Dan Brigif Gorontalo, Iwan menyaksikan persoalan lahan tandus dan gersang. Iwan pun “merajuk” kepada abangnya. “Beliau lantas bilang, Wan ambil pohon sebanyak mungkin, yang bisa kamu bawa dan tanam di Gorontalo. Lalu saya disuruh ambil bibit pohon di kebun bibit Bgirig Kariango,” kisahnya.

Kariango adalah nama desa Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di sanalah bermarkas Brigade Infanteri Para Raider 3/Tri Budi Sakti atau Brigif Para Raider 3/TBS, yang pernah dikomandani Doni Monardo periode 2006 – 2008. Iwan pun mendengar success story Doni Monardo menghijaukan wilayah Brigif Kariango yang gersang dan tandus. Di Markas Brigif itu, tepatnya di lokasi persemaian bibit, sebuah tulisan bersejarah masih terpatri, yakni : Dari Kariango Ikut Hijaukan Indonesia.

“Pak Doni adalah legenda hidup tokoh penghijauan di Kariango, Maros, dan banyak daerah lain di Indonesia. Kalau saya hanya mengambil sedikit untuk Gorontalo. Trembesi di Gorontalo identik dengan Iwan Setiawan, padahal bibit-bibitnya dari pak Doni juga… ha… ha… Saya juga ikuti jejak beliau, untuk terus menjalin komunikasi dengan teman-teman di Gorontalo. Kadang-kadang mereka yang menghubungi, berterima kasih ini dan itu, padahal saya sudah lupa pernah memberi apa,” kata Iwan Setiawan.

Karier Iwan selanjutnya Asops Kasdam IV/Diponegoro (2013-2014), lalu Dan Pusdikpassus Batujajar (2014-2015), Komandan Rindam Jaya di Condet, Jakarta Timur (2015-2016), lanjut Danrem 052/Wijayakrama (2016—2018) yang berkedudukan di Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang.

Sebagai pamen senior, ia pun menempuh pendidikan Lemhannas, dan tercatat sebagai peserta Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LVII Tahun 2018. Lulus Lemhannas ia kembali ke Mabes AD.

Saat di Mabes AD, Iwan pernah bersilaturahim dengan Kepala BNPB Doni Monardo, sekitar pertengahan tahun 2019. Saya ikut menemani cengkerama nostalgia keduanya di lantai 10, ruang kerja Doni, Graha BNPB.

Tak lama berselang Iwan mendapat promosi bintang satu dan menjabat Komandan Korem 173/Praja Vira Braja atau Korem 173/PVB, berkedudukan di Biak, masa bakti 2020 – 2021.

Kenangan Putu Danny

In memoriam: Mayjen Anumerta Gusti Putu Danny Karya Nugraha yang gugur di Papua.

Selama 18 bulan tugas di Papua, Iwan lebih banyak menghabiskan waktu di gunung-gunung. Maklum wilayahnya sangat luas, meliputi 11 kabupaten di Papua. Boleh jadi, Iwan termasuk perwira tinggi paling banyak masuk hutan serta melakukan kontak senjata dengan Kelompok Kriminal Bersenjata Papua.

Iwan mengisahkan interaksi dengan juniornya, Brigjen TNI Gusti Putu Danny Karya Nugraha (AMN 1993), Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua, yang gugur tertembak Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua, Minggu (25/4/2021) sore. Kontak tembak terjadi di di Kampung Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Almarhum kemudian mendapat kenaikan pangkat kehormatan menjadi Mayjen Anumerta.

“Hari Sabtu-nya saya masih komunikasi dengan Putu. Dia bahkan mengingatkan, jangan banyak masuk (hutan). Waktu itu saya baru turun dari Timika. Dan esoknya, hari Minggu sore saya mendapat kabar Putu tertembak,” ujar Iwan, pilu.

Setelah hening sejenak, Iwan melanjutkan penuturannya tentang tugas pasca Papua, yakni menjadi Waaslat Kasad bidang Kermamil.

“Empat bulan kemudian, mendapat kepercayaan amanat yang sangat terhormat dan sangat membanggakan, yakni menjabat Danjen Kopassus,” papar Iwan.

Unconvetional Warfare

Giliran Doni Monardo menanggapi Iwan Setiawan. Ingatan Doni dalam lipatan masa lalu mencuat, mengalir otomatis. Kalimat pertama Doni adalah, “Dia (Iwan) adalah perwira yang pantang menyerah, tangguh, dan tidak pernah mengeluh.”

Doni “terprovokasi” dengan ucapan Iwan yang mengatakan, bertekad menebalkan “marwah” Kopassus.

Doni juga sedih dan menyesalkan gugurnya para prajurit terbaik, terutama akhir-akhir ini di Papua. “Yang perlu pak Danjen Kopassus catat, salah satu kemampuan Kopassus adalah di bidang Unconventional Warfare. Yakni taktik dan teknik sebagai gerilyawan menghadapi lawan gerilya (separatis bersenjata). Kemampuan bergerilya yang unggul. Baik ketika melakukan gerilya maupun kontra gerilya. Itu kemampuan dasar yang tidak boleh hilang dari Kopassus,” papar Doni.

Sekadar mengilas balik sejarah penugasan, Doni Monardo adalah salah satu komandan yang tidak punya catatan “gagal dalam tugas”. Lebih dari itu, Doni Monardo adalah komandan dengan catatan membawa pulang prajuritnya dengan utuh, bahkan tanpa ada yang terluka satu pun.

“Sebelum berangkat ke medan tugas, kita siapkan prajurit secara matang. Untuk menghadapi gerilyawan, kita harus punya kemampuan gerilyawan juga. Melebihi kemampuan gerilya musuh,” tutur Doni Kepala BNPB 2019 – 2021 itu.

Penulis bersama Letjen TNI Doni Monardo (saat menjabat Kepala BNPB) bersilaturahmi dengan Xanana Gusmao. (foto: dokpri)

Bau Badan, Bau Sabun

Doni berkisah, bagaimana strategi menghadapi operasi di Timor Timur, Aceh, atau daerah operasi mana pun. Hal penting pertama yang harus dipahami adalah bagaimana mengumpulkan informasi tentang keseharian mereka (musuh). Dengan kata lain, harus bisa menjadi bagian dari kehidupan musuh.

Sebelum terjun ke medan operasi, pasukan Doni Monardo sudah mengetahui cara mereka berjalan, cara mereka memasak, cara mereka mencari makan, cara mereka beraktivitas, cara mereka mengintai pasukan TNI, cara mereka melakukan penghadangan, cara mereka melakukan penyergapan, dan semua informasi tentang kebiasaan musuh.

“Apa pelajarannya, bahwa kemampuan unconventional warfare adalah keharusan. Tidak ada pilihan lain. Nah untuk bisa sampai kepada kemampuan itu, dibutuhkan sabar dan tahan menderita. Butuh tenaga dan kerelaan berkorban,” ujar Doni.

Bagaimana hasilnya, seorang prajurit komando akan tangguh di medan operasi. Tahan lapar dengan tidak makan, mampu melakukan pergerakan tanpa menimbulkan bunyi, mampu bergerak tanpa meninggalkan aroma bau (bau badan, bau sabun, bau shampoo, apalagi bau deodorant).

Tahun 2015, Danjen Kopassus Mayjen TNI Doni Monardo memberikan jaket baret merah kepada Boy Eluay, putra mendiang Theys Eluay. Boy pun menjadi “keluarga korps baret merah”. (foto: dokpri)

Theys Eluay

Doni juga mengilas sejarah Satgas Rajawali. Anggotanya terdiri atas Kopassus, Marinir, dan Infanteri TNI-AD. Sebelum berangkat ke medan operasi, semua dikonsolidasikan dulu dalam satu manajemen terintegrasi. Belajar dulu dari anggota OPM/GPK yang telah sadar. Mereka dijadikan narasumber untuk memberi informasi bagaimana latihan, cara makan, cara berhubungan dengan masyarakat, dan lain-lain.

“Waktu itu saya bilang ke pak Komar (Mayjen TNI Purn Komaruddin Simanjuntak, Sekjen PP PPAD-pen). Bahwa kelompok separatis bukan sembunyi di hutan atau di gunung, tapi sembunyi di bawah lidah rakyat. Kita harus melawan dengan kemampuan tempur dan territorial. Kalau kita punya kemampuan teritorial yang baik, rakyat dengan mudah akan membuka lidahnya. Dalam arti buka mulut memberi informasi apa saja yang kita butuhkan,” kata Doni Monardo.

Logika sederhana, di atas (gunung, hutan) sulit menemukan makanan. Karena itu, kelompok separatis atau KKB atau apa pun istilahnya, pasti tetap bersandar kepada masyarakat non-combatan. Cepat atau lambat mereka akan masuk kampung. “Jadi, ini meliputi kombinasi perang intelijen, gerilya, teritori, dan IT sekaligus. Dengan begitu, korban bisa diminimalisir dan kemampuan melumpuhkan semakin kuat,” tambahnya.

Dalam kapasitas sebagai Ketua Umum PPAD, Letjen Purn Doni Monardo menyampaikan kesiapannya membantu juniornya. “Meski kami sudah pensiun tapi selalu siap jika diperlukan. Kami tidak tega bahkan miris mendengar berita korban di pihak TNI atau Polri,” tegas Doni.

Doni pun membagi pengalaman yang bisa dipetik sebagai pelajaran. Salah satunya adalah bagaimana mengubah status lawan menjadi kawan. Pengalaman di Timor Timur dan Papua ia jadikan sebagai contoh kasus.

Betapa pasca kematian tokoh OPM, Theys Eluay November 2001, situasi Papua memanas. Doni Monardo tahun itu masih berpangkat Letkol dan menjabat Dandenma Paspampres. Tiga-belas tahun kemudian, saat Doni Monardo memuncaki jabatan Danjen Kopassus, ia melakukan pendekatan dengan keluarga Theys.

Pada ulang tahun Kopassus ke-63 tahun 2015, Doni Monardo mengundang Boy Eluay, putra pertama Theys Eluay. Doni ingat dua perwiranya yakni Letkol Richard Tampubolon (sekarang Mayjen – Pangdam Pattimura) dan Letkol Joe Sembiring ditugaskan mengawal misi undangan perdamaian itu.

Doni memberi jaket komando kehormatan kepada Boy Eluay dan dianugrahi “keluarga baret merah”. Yang terjadi kemudian adalah sikap saling memaafkan dan melupakan serta menerima masa lalu sebagai sebuah takdir. Deklarasi damai itu bahkan disaksikan Lily Wahid (Hj. Lili Chodidjah Wahid), adik kandung mendiang Presiden Gus Dur.

Saat ini, Yanto Eluay (adik Boy Eluay Almarhum) bahkan berada di garis terdepan dalam membela NKRI. Sikapnya tegas dalam mendukung NKRI, dan tegas pula dalam mengecam aksi KKB sebagai “mencoreng masyarakat adat Papua”. Yanto adalah pewaris posisi ondofolo (ketua suku) Kampung Sereh, Sentani, Papua. “Posisi kepala suku sangat kuat di Papua. Ini harus diperhatikan,” pesannya kepada Iwan.

Hubungan baik itu bahkan tetap dijaga hingga hari ini. “Setiap mereka ke ibukota, harus ada pendampingan dari keluarga besar baret merah. Mereka sudah menjadi keluarga besar baret merah,” kata Doni seraya menambahkan, “jalinan yang tak boleh putus itu bertujuan untuk mengurangi beban konflik di waktu-waktu yang akan datang.”

Iwan diminta meletakkan pondasi di Satuan Sandi Yudha atau yang lain. Agar dibentuk tim yang bekerja tidak saja saat mereka di Papua atau medan operasi lain. Tugas mereka merajut hubungan dengan para tokoh yang semula berseteru, lalu berbalik menjadi satu. Dulu lawan, sekarang kawan.

Bukan saja di Papua, potensi konflik itu boleh jadi masih ada di tempat-tempat lain. Nah, peran tim tersebut menjadi sangat strategis. “Tujuannya untuk menurunkan risiko konflik di masa sekarang dan masa datang,” tegas Doni.

Milik Bersama

Pesan penting lain dari Doni adalah, jangan membuat kesan seolah-olah lebih menonjol dibanding yang lain. Jangan banding-bandingkan Kopassus dengan satuan mana pun. Kopassus harus bisa menjadi milik bersama. Bisa menjadi pasukan yang dicintai oleh semua.

Saat Doni beracara di Hawaii, Amerika Serikat, ia sempat didatangi seorang komandan pasukan khusus dari sebuah negara. Ia bertanya bagaimana strategi mengubah lawan menjadi kawan.

Kepada Iwan, Doni mengingatkan kembali serta menekankan pentingnya menangkap musuh atau menaklukkan musuh tanpa keluar sebutir peluru pun. “Saya katakan, berbanggalah kalau bisa menaklukkan musuh tanpa letusan senapan,” ungkap Doni.

Akhir tahun 2019, saat Doni Monardo meluncurkan program Katana (Keluarga Tangguh Bencana) di Lhok Nga, Aceh Barat, tengah malam menyempatkan diri untuk bersilaturahmi dengan kawan-kawan eks GAM. (foto: dok pri)

Buku Aceh

Ada satu peristiwa lagi yang sangat mengesankan bagi Doni dan Iwan saat bertugas di Aceh. “Waktu itu Mayor Inf Iwan Setiawan adalah Kasi Ops Satgas Aceh. Saat akan mengakhiri tugas, dia telepon saya, ‘bang izin saya menghadap’,” tutur Doni mengenang.

Iwan pun menghadap Doni. Rupanya, ia hendak menyerahkan sebuah buku sambil mengatakan, “Mungkin buku ini berguna bagi abang.” Mata Doni terbelakak. Buku yang ia terima berisi semua nama dan nomor telepon tokoh (prominent people), baik di Indonesia atau di luar negeri, yang erat kaitannya dengan “operasi Aceh”.

“Berkat buku dari Iwan itu saya bisa membongkar jaringan Aceh termasuk yang di luar negeri. Luar biasa. Rupanya dia mendapat dokumen itu, dan selama ini dia simpan. Begitu mau pulang, baru diserahkan kepada saya. Wah, terima kasih Wan… bukumu sangat berharga buat saya,” kata Doni kepada Iwan.

Iwan menjawab cepat, “Saya serahkan kepada orang yang tepat.”

Purna silaturahmi, Iwan sempat meminta Wadanjen Kopassus Brigjen TNI Deddy Suryadi yang ikut mendampingi untuk membuat prasasti dari kalimat yang ada di dekat sosok Jenderal Widjojo Soejono. Tulisan itu berbunyi, “Bayangkari negara baru berhenti berjuang jika tidak lagi mampu mendengar tembakan salvo di samping telinga.”

Dirgahayu Komando Pasukan Khusus ke 70 tanggal 16 April 2022. (*)

*) Egy Massadiah, Penulis adalah wartawan senior, Tim Bidang Komunikasi PPAD (Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat), aktif menulis buku dan Ketua Yayasan “Kita Jaga Alam”

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *