Connect with us

Feature

Menyingkap Tabir Lagu “Halo-halo Bandung”

Published

on

JAYAKARTA NEWS – Media sekaliber Intisari membuat dialog online bertajuk “Halo-halo Bandung”, Siapa Penciptanya? YDS Agus Sorono, jurnalis senior Intisari yang bertindak selaku host, tentu tahu, bahwa Ismail Marzuki adalah pencipta lagu perjuangan yang sangat populer itu.

Tak urung, judul tadi menarik minat masyarakat untuk mengikuti dialog yang menghadirkan narasumber tunggal, Dr Raden Chairul Slamet, M.Sn, dosen komposisi musik Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Acara itu sendiri sudah berlangsung beberapa hari lalu (6/4/2022) melalui FacebookLive Intisari.

YDS Agus Sorono

Berangkat dari sejumlah asumsi bernada meragukan dari sejumlah kalangan. Mereka menyodorkan beberapa “kejanggalan” dalam lagu itu. Antara lain penggunaan kata “beta” dan “kau”. Dua kata yang tidak dijumpai pada lagu-lagu Ismail Marzuki lainnya.

Alasan “penggugat” yang lain adalah, ritme lagu “Halo-halo Bandung” yang heroik, penuh semangat, berbalut irama mars. Sangat berbeda dengan kebanyakan lagu Ismail Marzuki yang hampir keseluruhanya berirama slow, kalem, lembut, teduh, menyejukkan, romantis, bahkan terkadang mengharukan.

Beberapa lagu Ismail Marzuki yang sangat populer antara lain, Indonesia Pusaka, Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola, Juwita Malam, Gugur Bunga, Sabda Alam, dll.

“Kita akan kupas topik ini bersama Dr Raden Chairul Slamet, M.Sn. Beliau kelahiran Bangkalan, Madura, menyelesaikan sarjana di ISI tahun 1987, melanjutkan magister pasca sarjana di ISI Surakarta di bawah bimbingan Rahayu Supanggah, Slamet Abdul Syukur, dan Suka Harjana. Dan tahun 2019 meraih gelar doktor di program pasca sarjana ISI Yogyakarta. Saat ini mengajar praktik flute dan komposisi musik di ISI dan pasca sarjana ISI Yogyakarta,” kata Agus Surono membuka dialog.

Tiga Tahap

Chairul Slamet, membuka paparan dengan statemen, “Kapasitas Ismail Marzuki sangat dahsyat. Memiliki riwayat panjang. Bukan hanya mencipta, tapi mencipta karya yang memiliki dampak. Bisa mewujudkan serta mengintegrasikan seni dan sastra.”

Menurut Memet, sapaan akrabnya, lagu Halo-halo Bandung ada tiga tahap. Ia telusuri sejarah, tahun 1929 Ismail Marzuki sudah mencipta lagu Halo Bandung dalam bahasa Belanda. Narasi lagu tak ada hubungan dengan lirik lagu yang kemudian diberi judul “Halo-halo Bandung”.

Lagu Halo Bandung dalam bahasa Belanda mengisahkan seorang ibu yang tinggal di Belanda, sedang merindu anaknya yang tinggal di Hindia Belanda (Indonesia). Ia pun menyapa sang anak dengan “Halo Bandung”. Sebuah sapaan khas, sekaligus menjadi sangat ear cathing dan eye cathing saat menjadi judul.

Adapun lagu Halo-halo Bandung ada tiga layer. Saat dicipta pertama, era pra kemerdekaan, lagu itu bernada melankolis, mirip-mirip irama pada lagu karya Ismail yang lain: Juwita Malam, Rayuan Pulau Kelapa, dan lain-lain. “Liriknya berbahasa Sunda, menggambarkan kerinduan Ismail Marzuki terhadap kekasih hatinya, Eulis Zuraidah. Ia seorang primadona dari klub musik yang ada di Bandung di mana Ismail Marzuki juga tergabung di dalamnya,” papar Memet.

Lalu pasca kemerdekaan, ia gubah lagu Halo-halo Bandung dalam irama yang kita kenal sekarang. Lagu yang menggambarkan peristiwa “Bandung Lautan Api” tahun 1946. Di situlah syair itu berubah heroik, dan ada frasa yang sangat menggugah di akhir lagi, “…sekarang, telah menjadi lautan api…. mari bung rebut kembali….”

Peristiwa Bandung Lautan Api.

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa pembakaran besar-besaran di Bandung pada 23 – 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan Bandung selatan. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Lagu gubahan Ismail Marzuki yang heroik itu pun ditelusur lebih jauh oleh Memet, ihwal siapa yang mempopulerkan. “Yang pertama kali mempopulerkan lagu Halo-halo Bandung adalah kelompok Sandiwara atau Tonil pak Sudjono, yang beranggotakan antara lain pak Kasur. Mereka menghibur para pejuang di berbagai medan pertempuran dengan menyanyikan lagu Halo-halo Bandung karya Ismail Marzuki sebagai penyemangat,” katanya.

Tak lama kemudian, lagu itu mulai tersebar bahkan dinyanyikan oleh paduan suara Tapanuli dengan gegap gempita. “Jadi, lahirnya lagu Ismail Marzuki berirama mars yang heroik itu sangat dipengaruhi latar belakang agresi kedua Belanda ke Tanah Air,” ujarnya.

Sebaliknya, jika irama lagu itu awalnya melankolis, karena memang diperuntukkan untuk kekasih yang dirindu. “Mungkin di sini timbul kesalahpahaman oleh para pihak yang mempertanyakan apakah benar lagu Halo-halo Bandung gubahan Ismail Marzuki,” ujar Memet.

Ia bahkan mengimbau media untuk tidak serta merta menyiarkan “gugatan keaslian sebuah lagu”, tanpa dilengkapi argumen yang kuat. Siapa pun yang mempertanyakan lagu Ismail Marzuki, harusnya terlebih dahulu datang ke keluarganya. Cek, apakah mereka memiliki arsip partitur.

“Ismail Marzuki adalah komposer yang bisa menulis partitur dengan baik. Jejak partitur ini adalah fakta yang bisa menepis keraguan. Saya tanpa ragu mengatakan, lagu Halo-halo Bandung itu ciptaan Ismail Marzuki sesuai fakta dan data yang ada,” tegasnya.

Penggunaan kata “beta” dan “kau” bukan sebagai celah yang bisa dijadikan dalih meragukan keaslian karya Ismail Marzuki. Sebaliknya, Memet justru memaknai sebagai sebuah kecerdasan seorang Ismail Marzuki dalam memilih frasa kata untuk kepentingan keindahan musikal, serta kepentingan penyulut semangat pejuang.

“Ingat, pada lagu Indonesia Pusaka, baris syair yang pertama berbunyi ‘Indonesia tanah air beta’. Jadi frasa beta bukan hanya ditulis Ismail Marzuki pada lagu Halo-halo Bandung, tapi juga pada lagu karya beliau yang berjudul Indonesia Pusaka,” sergah Memet.

Termasuk Memet menyebut penggunaan kata “kau” dan “bung” pada lagu Halo-halo Bandung. Baginya, sama sekali tidak ada yang aneh. Tidak bisa menyoal penggunaan satu-dua kata yang tidak biasa ditulis dalam karya-karya sebelumnya, menjadi dalih untuk mempertanyakan orisinalitas karya.

“Saat pra kemerdekaan dan awal-awal kemerdekaan, sebutan ‘kau’ dan ‘bung’ itu sangat jamak. Sesama pejuang saling memanggil dengan panggilan ‘bung’. Terlebih sebutan ‘bung’ juga dilekatkan pada tokoh-tokoh pejuang, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo dan lain-lain,” paparnya.

Ismail Marzuki

Di dunia musik Tanah Air, nama Ismail Marzuki sangat harum. Lagu Halo-halo Bandung juga sangat sakral. Jangan sekali-kali menggugat keaslian karya seseorang kalau belum mempelajari riwayat atau sejarah komponisnya. “Dan, sejak umur 17 tahun, Ismail Marzuki sudah menciptakan lagu berbahasa Belanda. Artinya, naluri penciptaan lagu sudah muncul dalam usia yang masih relatif muda,” katanya.

Kariernya juga cemerlang. Usia 17 tahun, untuk pertama kalinya ia mengarang lagu “O Sarinah” (1931) dalam bahasa Belanda. Tahun 1936, Ismail memasuki perkumpulan orkes musik Lief Java sebagai pemain gitar, saxophone, dan harmonium pompa.

Pada tahun 1940, Ismail Marzuki menikah dengan Eulis Zuraidah, seorang primadona dari klub musik yang ada di Bandung di mana Ismail Marzuki juga tergabung di dalamnya. Pasangan ini kemudian mengadopsi seorang anak bernama Rachmi, yang sebenarnya masih keponakan Eulis.

Pada masa penjajahan Jepang, Ismail Marzuki turut aktif dalam orkestra radio pada Hozo Kanri Keyku Radio Militer Jepang. Ketika masa kependudukan Jepang berakhir, Ismail Marzuki tetap meneruskan siaran musik di RRI.

Selanjutnya ketika RRI kembali dikuasai Belanda tahun 1947, Ismail Marzuki memutuskan keluar dari RRI. Ismail Marzuki baru kembali bekerja setelah RRI berhasil diambil-alih. Ia kemudian mendapat kehormatan menjadi pemimpin Orkes Studio Jakarta. Pada saat itu ia menciptakan lagu Pemilihan Umum dan diperdengarkan pertama kali dalam Pemilu 1955.

Lebih lanjut, dialog siang itu banyak menyoal tentang kriteria hak cipta. Memet Chairul Slamet juga banyak berbagi informasi seputar penggunaan not balik dan not angka. Yang tak kalah penting, adalah pemaknaan berdasar fungsinya. Ada lagu memiliki jenis fungsional, ada lagu yang memiliki fungsi komersial.

Kembali menengok ke sejarah Ismail Marzuki, yang dinilai sebagai komposer yang unik sekaligus sangat cerdas. Umumnya, pencipta lagu bekerja dalam suasana kebatinan yang tenang, didukung situasi sekitar yang juga memadai. “Bayangkan, dalam situasi agresi Belanda, bisa melahirkan karya besar Halo-halo Bandung,” katanya.

Ismail Marzuki juga melahirkan karya-karya besar lain. Lagu “Sabda Alam” misalnya, adalah lagu yang bisa dibilang everlasting. Hingga saat ini masih di-cover oleh penyanyi-penyanyi generasi terbaru. Mulai dari Chrisye, Ariel Noah, D’Masiv, Once Mekel, Ahmad Dhani dan lain-lain.

Hampir sebagian besar karya Ismail Marzuki menjadi lagu legendaris. Masih sering dinyanyikan hingga hari ini. Berikut adalah sejumlah karya Ismail Marzuki: Panon Hideung, Aryati, Gugur Bunga, Melati di Tapal Batas, Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola, Bandung Selatan di Waktu Malam, Halo-Halo Bandung, Juwita Malam, Sabda Alam, Rindu Lukisan, Indonesia Pusaka, dan masih banyak lainnya. (roso daras)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *