Connect with us

Feature

Jamasan Pusaka di Khayangan, Wisata Budaya Kulonprogo

Published

on

Penyerahan pusaka kepada Sugut Riyanto untuk dijamas. (foto: rakhmat s.)

JAYAKARTA NEWS – Selain wisata alam Bukit Menoreh yang menjadi andalan, mulai tahun ini pemerintah Kabupaten Kulonprogo mengembangkan potensi budaya Jawa yang mulai dilupakan, salah satunya ritual “Jamasan Pusaka”.

Kegiatan jamasan Tosan Aji telah berlangsung selama 26 tahun setiap bulan Muharam, dilakukan oleh Sugut Riyanto, penjamas pusaka yang sudah dikenal para penggemar pusaka. Sugut menerima warisan ilmu menjamas keris dari leluhur keluarganya sejak 1760. Setiap bulan Muharam (Suro), Sugut menjamasi pusaka tak kurang dari 50 bilah. Tahun 2020 ia menerima garapan menjamas pusaka lebih dari 100 bilah dari berbagai daerah, antara lain Sleman, Bantul, Purworejo dan Kulonprogo.

Jika tahun-tahun sebelumnya Sugut melaksanakan jamasan pusaka di rumahnya, mulai tahun ini acara Jamasan Pusaka digelar di pelataran Lembah Khayangan Kulonprogo, 27 Juli 2024. Menurut Budiman, Lurah Pendoworejo, tujuan memindahkan tempat jamasan ke Lembah Khayangan adalah agar ritual jamasan dapat lebih dikenal Masyarakat dan sekaligus mengenalkan Lembah Khayangan sebagai obyek wisata alam. “Tujuan Jamasan Pusaka adalah melestarikan budaya Jawa, peninggalan para leluhur yang perlu dijaga,” tutur Budiman.

Penyerahan tumpeng dari Lurah Pendoworejo ke Sugut Riyanto. (foto: rakhmat s.)
Sarasehan menghadirkan Godod Sutejo, Sugut Riyanto, Yadi, dan Suryanto. (foto: rakhmat s.)

“Runcing Wangi”

Veronika Triatmilah selaku Humas mengatakan, Kegiatan sakral ini diselenggarakan oleh Paguyuban Pametri Tosan Aji (PAMIJI) Padukuhan Banaran, didukung oleh Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Kulonprogo dengan biaya bantuan dari Dana Keistimewaan. Kegiatan ini juga mendapat dukungan dari beberapa tokoh Masyarakat seperti KH Zais (Pengasuh Pondok Pesantren Mlangi), Ibu Pelangi, dan puluhan warga yang tergabung dalam paguyuban “Runcing Wangi”, Pelestari Tosan Aji Kulonprogo. Veronika menandaskan, tahun ini  ada 40 pusaka yang dijamas, terdiri dari keris (31), tombak (7), patrem (1), dan clundrik (1).

“Jamasan pusaka tahun ini dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan, antara lain Mocopat, Tari Keris, Genduri Selamatan, Sarasehan, Pameran Keris koleksi paguyuban “Runcing Wangi”, Pameran bebatuan milik Haryono, dan Perkutut Katuranggan klangenan dari Yadi dan Suryanto,” ujar Veronika. Sarasehan menghadirkan empat narasumber, Godod Sutejo (budayawan, pelukis), Sugut Riyanto (penjamas keris), Yadi (penggemar burung perkutut), dan Suryanto (pecinta katuranggan).

Pameran keris koleksi paguyuban Runcing Wangi Kulonprogo. (foto: rakhmat s.)
Pameran bebatuan. (foto: rakhmat s.)

Godod Sutejo memaparkan, orang Jawa dulu memiliki kemelekatan batin dengan empat hal, yaitu Curigo (pusaka), Kukilo (burung perkutut), Turonggo (kendaraan), dan Wanito (wanita). Setiap orang memiliki prioritas yang berbeda. “Ada orang yang mengutamakan pusaka untuk membentengi diri, kemudian burung perkutut sebagai hiburan, kendaraan sebagai sarana transportasi, dan terakhir wanita untuk memiliki keturunan. Namun ada pula yang lebih mendahulukan wanita lalu disusul kebutuhan-kebutuhan lainnya,” ucap Godod.

Sementara itu, Yadi dan Suryanto menyampaikan pendapat yang sama, bahwa Perkutut Katuranggan sebagai burung piaraan memiliki vibrasi atau gelombang energi positif yang dapat mempengaruhi kehidupan pemiliknya. Ada katuranggan yang disebut “junjung derajat”, “udan emas”, “banyu mili”, “sri rejeki”, “lurah”, “temu gulu”, dan sebagainya.  (Rakhmat Supriyono).

Kirab Pusaka di Lembah Khayangan. (foto: rakhmat s.)
Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *