Ekonomi & Bisnis
Hikayat Wayang Pucung (2)
“BISO mergo kulino”, artinya “bisa karena terbiasa”. Itu yang diraskan Demy Raharja. Ketika hatinya “krenteg” atau tergerak untuk mengembangkan wayang, dengan kesadaran penuh, maka ia pun mulai menekuni profesi yang ditekuni bapaknya.
Tidak berhenti sampai di situ, Demy mulai mendekati teman-teman sebaya untuk menanamkan “virus cinta wayang”. Bukan berangkat dari kondisi kehidupan perajin wayang yang relatif tidak moncer, tetapi masuk dari keprihatinan sebagai anak bangsa, demi melihat infiltrasi budaya asing yang begitu masif.
Jika tidak ada gerakan mengembangkan budaya lokal, niscaya anak-cucu kita kelak tidak akan pernah mengetahui seni tradisi seperti wayang kulit. Usaha Demy pelan tapi pasti membuahkan hasil. “Kami bertekad membuat gerakan untuk melestarikan budaya wayang kulit sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang sebagian besar hidup dari kerajinan wayang. Akhirnya, lahir gagasan mewujudkan Wisata Wayang di Desa Pucung, Wukirsari, yang mulai beroperasi sejak 2014 lalu,” kata Demy.
Gagasan itu sebenarnya sudah lama. Dan baru terwujud berkat program sosial BCA melalui desa. Pihak desa kemudian menyediakan lahan kas desa seluas 6.000 meter persegi.
Kini, Demy dan komunitas Wisata Wayang Desa Pucung sudah sering berpameran di berbagai kota, termasuk di Jakarta. “Selain pameran wayang, kami juga mengenalkan produk desanya yakni ‘Wisata Wayang’. Selama dua tahun berjalan, katanya, Wisata Wayang berjalan bagus dan mulai banyak dikenal di berbagai kalangan,” ujarnya.
Tamu-tamu yang datang, umumnya rombongan, baik dari sekolah-sekolah, perusahaan atau kelompok-kelompok tertentu. Rombongan wisatawan asing juga banyak. “Nanti, akhir Juni rombongan wisatawan dari Australia juga akan datang ke Bantul. Sekarang ini agenda setiap bulan selalu terisi,” tambahnya. ***