Connect with us

Feature

Gowes Surabaya – Jakarta, Ketuk Hati Nurani Goenawan Mohamad

Published

on

Cak Amu (Abdul Muis) ketika tiba di titik finish, pelataran Tugu Monas, Jakarta Pusat, Kamis (30/11). (foto: Cowas JP)

JAKARTA, JAYAKARTA NEWS – Mantan wartawan Jawa Pos (JP), Abdul Muis (60) mancal pedal, gowes dari Kota Pahlawan Surabaya menuju Ibu Kota Jakarta. Usai menempuh jarak 800 km, hari ini, Kamis (30/11) ia tiba di pelataran Tugu Monas, Jakarta Pusat, sebagai titik finish.

Wartawan senior yang akrab disapa “Amu” itu bukan gowes asal gowes. Ia membawa misi menyampaikan aspirasi para mantan awak media Jawa Pos, menuntut hak dividen saham karyawan 20 persen, yang tidak pernah dibagikan sejak 2002.

Di areal Tugu Monas, cak Amu menyampaikan, “Tidak semua mantan awak media Jawa Pos hidup berkecukupan. Banyak yang hidupnya susah. Itu alasan lain mengapa saya bersepeda ke Jakarta, untuk menemui Komisaris Jawa Pos, Goenawan Mohamad dan para komisaris lain. Saya mau mengetuk hati nurani mereka.”

Abdul Muis (ketiga dari kiri), eks wartawan Jawa Pos, mancal pedal dari Surabaya ke Jakarta didampingi goweser GeSS (Gowes Suka-suka). (foto: Cowas JP)

Tim GeSS

Aksi moral Cak Amu mendapat dukungan para goweser yang tergabung dalam tim GeSS (Gowes Suka-suka). Sebanyak 11 goweser turut mendampingi perjalanan Cak Amu yang start pada hari Sabtu (25/11) di Tugu Pahlawan, Jl, Pahlawan Surabaya.

Wartawan yang banyak berkecimpung di liputan olahraga itu, merasa bersyukur bisa finish di Tugu Monas Jakarta, dengan baik-baik saja. “Jujur, ini semua tak lepas dari semangat yang berkobar-kobar untuk bisa menyampaikan amanat penderitaan rakyat eks Jawa Pos kepada Goenawan Mohamad dan para komisaris Jawa Pos lain,” katanya bersemangat.

Pengambilan titik start di Tugu Pahlawan dan titik finish di Tugu Monas bukan tanpa alasan. “Keduanya melambangkan kobaran semangat rakyat Indonesia untuk merdeka dan berdaulat. Kontekstual dengan perjuangan kami para mantan karyawan Jawa Pos di seluruh Indonesia yang sedang berjuang mendapatkan hak dividen dari cengkeraman para komisaris,” ujar kakek dua cucu itu.

Cak Amu di pelataran Monas, usai menempuh perjalanan 800 km dari Surabaya. (foto: Cowas JP)

Takut Dipecat

Cak Amu mengisahkan hal-ihwal lahirnya gelombang tuntutan hak dividen serta adanya praktik pengalihan saham yang sewenang-wenang. “Sejak tahun 1985, Yayasan Karyawan Jawa Pos memiliki 20 persen saham perusahaan. Ketika bisnis berkembang, kami relatif sejahtera. Dalam setahun bisa menerima lebih dari 12 bulan gaji serta pembagian dividen,” ujarnya.

Perubahan terjadi sejak Dirut Jawa Pos, Eric Samola tutup usia tahun 2000. Saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahun 2001, manajemen di bawah kendali Dahlan Iskan membuabarkan Yayasan Karyawan Jawa Pos. Saham milik yayasan kemudian dititipkan ke Dahlan. RUPS juga memerintahkan Dahlan Iskan segera membuat lembaga karyawan baru, sebagai pengganti yayasan yang sudah dibubarkan.

Menurut Cak Amu, selama manajemen Jawa Pos di bawah kendali komisaris Goenawan Mohamad, dkk, dan Dahlan Iskan sebagai Dirut selama 20 tahun, amanat membentuk wadah karyawan tak pernah dilaksanakan. “Hak-hak karyawan sejak itu praktis tidak lagi mengucur. Tidak ada yang berani mempermasalahkan, karena kita takut dipecat,” ungkap cak Amu.

Cak Amu (Abdul Muis) ngobrol santai dengan petugas keamanan parkir IRTI, pintu 4 Monas. (foto: Cowas JP)

Jalur Hukum

Di tempat terpisah, Slamet Oerip Prihadi, eks wartawan senior Jawa Pos menambahkan fakta lain, dari Surabaya. Tahun 2021, sejumlah mantan karyawan Jawa Pos diundang Dahlan Iskan. Posisi Dahlan sudah tidak lagi memegang kendali Jawa Pos.

Slamet Oerip Prihadi yang akrab disapa “Suhu” itu, termasuk yang diundang. Topik bahasan adalah soal 20 persen saham karyawan.

Hasil pertemuan, para mantan karyawan Jawa Pos menunjuk pengacara Sudiman Sidabukke, SH hingga memperoleh legal standing dan berhasil menempuh cara damai di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Majelis hakim menetapkan akta van dading (akta perdamaian) yang tertuang dalam putusan PN Surabaya Nomor: 125/Pdt.G/2022/PN Surabaya, tanggal 9 Mei 2002.

Isi putusan, memerintahkan Dahlan Iskan membentuk lembaga karyawan bernama Yayasan Pena Jepe Sejahtera Surabaya. Selain itu, Dahlan juga diperintahkan mengembalikan saham karyawan JP ke yayasan baru itu.

“Meski yayasan sudah memperoleh akta notaris, dan keberadaannya sah secara hukum, namun terjadi stagnasi. Hak saham dan hak dividen tak kunjung diberikan,” kata jurnalis berinisial SOP itu.

Sehubungan tidak adanya itikad baik manajemen JP dan para komisaris, akhirnya para mantan wartawan dan karyawan JP menunjuk lawyer Dr Duke Arie Widagdo, SH, MH, CLA pada tanggal 21 Juli 2023 untuk memperkarakannya secara hukum.

“Pengacara langsung bergerak membawa kasus ini ke Polda Jatim. Saat ini, kasusnya masih dalam tahap penyelidikan untuk dilakukan gelar perkara dan berlanjut ke penyidikan,” pungkas Slamet.

“Suhu” Slamet juga mengatakan, perjuangan cak Amu mancal pedal juga simbol perlawanan terhadap kedholiman. Ia menjadi gerakan moral yang memperkuat upaya hukum yang sedang ditempuh melalui Polda Jawa Timur. (rr)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *