Connect with us

Profil

Djoni Syafrudin: Kepedulian Pemerintah Terhadap Bioskop Nol

Published

on

Djoni Sjafrudin, Ketua Gabungan Pengelola Bioskop Indonesia (GPBSI).

KETUA Gabungan Pengelola Bioskop Indonesia (GPBSI) Periode 2017-2022, Djoni Syafrudin menginginkan pemerintah lebih memperhatikan tumbuh kembang usaha perbioskopan di Indonesia. Orang asing melihat Indonesia secara geografi merupakan negara yang tepat dan menjanjikan  sebagai tempat usaha perfilman dan bioskop. Tapi faktanya, tidak sesuai dengan prediksi mereka dari luar.

“Saya melihat di sini, kepedulian pemerintah khusus untuk usaha perbioskopan adalah nol. Jujur saja nol. Karena ini adalah ranah industri, biar bagamanapun kaitannya adalah bisnis, harus dibantu permodalannya,” ujar Djoni seraya menambahkan, “orang bioskop pun tidak meminta bantuan yang gratis. Berikan kredit pinjaman yang lunak, tidak perlu 100 persen, cukup 50 persen.”

Karena dalam memulai suatu usaha bioskop saat ini, dituntut kenyamanan. Gambar yang bagus dibutuhkan projector yang bagus pula. Suara yang bagus dibutuhkan sound system yang bagus, kursi yang empuk dan ruangan yang sejuk.

Dijelaskan Djoni, anggaran yang cukup besar dalam usaha bioskop ada pada pengadaan projector dan sound system. Satu layar bioskop dibutuhkan biaya untuk projector dan sound system sekitar Rp 1,3 milyar. Sedangkan untuk usaha bioskop, minimal dibutuhkan 3 layar.

“Andaikan pemerintah punya peduli, saya yakin bisa, tak perlu mengundang investor dari luar untuk membangun usaha perbioskopan,” tegas Djoni, yang memiliki 6 bioskop di  Cilacap, Pekalongan, Tegal, Banjarnegara, Semarang, Pangkal Pinang,

Djoni pun menuturkan apa yang dialaminya selama 5 tahun terakhir ini, bila ada orang yang ingin berinvestasi usaha bioskop. Umumnya pertanyaan pertama mereka adalah “Pak Djony filmnya terjamin tidak?”

Djoni menilai sistem saat ini sudah menciptakan filmnya sudah bukan lagi menggunakan pita celluloid, saat ini sudah eranya digital. Tapi, dalam produksi film nasional yang dalam setahun bisa mencapai 130 judul, hanya ada sekitar 10 judul film yang dapat menembus ukuran bisnis  batas jumlah standar penonton.

Menonton film yang merupakan salah satu gaya hidup masyarakat urban perkotaan,  menuntut keberadaan bioskop-bioskop saat ini berubah, mengikuti perkembangan teknologi dan budaya serta life style yang ada saat ini.

Dalam pandangan Djony, masyarakat penonton film Indonesia, saat ini tidak dapat direkayasa, para penonton sudah pintar, penonton ingin mendapatkaan kenyamanan, soal duit adalah urusan kedua. Sudah tidak bisa seperti dulu dimana bioskop cukup pakai fan, saat ini AC kurang dingin saja, atau sound sytem kurang bagus, bioskop tersebut akan ditinggalin penonton.

Ditengah geliat perkembangan industri film nasional dengan segala persoalan yang masih ada, Djoni tetap optimis di tahun 2017 perkembangan industri film nasional akan jauh lebih baik.

Jumlah layar bioskop saat ini yang mencapai sekitar 1.300 layar tentu jadi peluang besar untuk industri film nasional memproduksi lebih banyak film dan memperoleh penonton lebih banyak lagi

“Para pelaku industri film dan juga pihak terkait dengan industri film, termasuk juga pemerintah, harus duduk kembali dan memulai kembali dari nol, back to zero. Segala permasalahan dan hal-hal lain masa lalu kita lupakan, dan kita memulainya kembali dari nol, karena saat ini zamannya pun telah berubah. Semua bioskop yang memutar film harus punya STLS (Surat Tanda Lolos Sensor), ” tutup Djoni. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *