Connect with us

Kabar

Cilegon Menolak Pembangunan Gereja, Ini Kata Pakar HAM Unair

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Kota Cilegon masih menjadi perlambang gagalnya pemajuan pluralisme agama di Indonesia. Sekalipun ada lebih dari enam ribu umat Kristen, kota itu sama sekali tidak memiliki gereja. Hal ini dikarenakan bahwa upaya pembangunan rumah ibadah tersebut selalu menemui kesulitan di tahap perizinan, serta ditemui oleh banyak penolakan masyarakat. Beberapa waktu silam, Walikota dan Wakil Walikota Cilegon justru ikut menandatangani petisi untuk menolak pembangunan Gereja HKBP di wilayahnya.

Pakar HAM Unair Haidar Adam SH LLM mengatakan, lanskap intoleransi ini disebabkan oleh Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 & No. 8 Tahun 2006 (Peraturan 2 Menteri).

Ia menuturkan bahwa peraturan ini memberikan ruang bagi masyarakat untuk memanifestasikan tendensi intoleransi pada pembangunan rumah ibadah. Hal ini tentu merupakan bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah, yang di Indonesia merupakan suatu hak konstitusional dan diakui secara tegas sebagai HAM.

“Peraturan itu memberikan ketentuan tata cara untuk mendapatkan izin pendirian rumah ibadah. Nah, terminologi izin untuk rumah ibadah ini problematik karena izin itu intinya membolehkan sesuatu yang dilarang. Pembangunan rumah ibadah ini kan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebebasan beragama dan beribadah, kenapa dibatasi?” tutur dosen FH Unair sebagaimana dikutip dari laman unair.ac.id

Aspek problematik lainnya menurut Haidar dalam Peraturan 2 Menteri adalah berlapisnya persyaratan dalam mendapatkan izin pendirian rumah ibadah. Pertama, harus mengumpulkan minimal 90 KTP pengguna rumah ibadah.

Kedua, dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Lalu terakhir keempat, rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota.

Haidar menuturkan izin-izin gereja di Cilegon acap kali mandek di tahap persetujuan masyarakat, karena peraturan ini  membolehkan masyarakat untuk menolak pendirian rumah ibadah tertentu. Ditambah pula, komposisi FKUB itu didasarkan atas proporsionalitas jumlah umat beragama di kabupaten/kota. Sehingga, mayoritas selalu mendapatkan jumlah keanggotaan lebih banyak. Haidar menuturkan bahwa ini akan memunculkan minimnya keterwakilan agama minoritas sehingga preferensi-preferensi untuk mementingkan kepentingan mayoritas di forum tersebut.

“Landasan akademik mengapa persyaratannya berbelit seperti ini itu tidak jelas. Angka 90 dan 60 itu juga tidak jelas mengapa harus segitu. Apalagi dalam Pasal 13, pendirian rumah ibadah didasarkan oleh keperluan nyata dan proporsional. Urusan agama ini kan personal, tidak bisa didasarkan oleh demografi masyarakat untuk menentukan apakah suatu wilayah butuh rumah ibadah itu atau tidak,” ujar alumni Central European University itu.

Haidar menegaskan, solusi agar Indonesia dapat lebih menjamin kebebasan beragama adalah menghapus persyaratan izin tersebut dalam Peraturan 2 Menteri. Ia mengatakan bahwa seharusnya pembatasan dalam pendirian rumah ibadah harus didasarkan oleh batas yang netral, bukan preferensi keagamaan seseorang terhadap agama orang lain.

“Ia harus bisa diukur, misalnya ukuran desibel untuk bunyi tempat ibadah seperti lonceng gereja atau toa masjid agar tidak mengganggu masyarakat sekitar. Itu ukurannya jelas. Atau misal pembangunan rumah ibadah tidak boleh pakai bahan yang berbahaya buat masyarakat setempat,” tutur Koordinator Advokasi Human Rights Law Studies UNAIR itu.

Haidar juga mengecam tindakan Walikota dan Wakil Walikota Cilegon yang menandatangani petisi penolakan gereja. Menurutnya, hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM by commission, karena seharusnya kepala daerah wajib untuk memenuhi hak masyarakatnya.***unairnews

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *