Kabar
Bersahabat dengan Anak-anak Jalanan


Kegiatan Sahabat Anak
Anak jalanan, seolah-olah suatu keniscayaan, utamanya di kota-kota besar seperti Jakarta. Mereka selalu ada, dan ibarat kehidupan itu sendiri, selalu ada dinamikanya, meski sering kali tidak menyenangkan. Anak-anak jalanan eksis di jalanan bukan atas kehendak mereka, melainkan lebih banyak dibentuk bahkan dilahirkan oleh lingkungan sosialnya. Ekonomi menjadi alasan untuk kehadirannya. Sahabat Anak kemudian mencoba merangkul mereka. Sahabat anak merupakan semacam himpunan dari para voluntir yang peduli terhadap nasib dan kehidupan anak-anak jalanan. Kasih sayang adalah landasan yang mendorong mereka untuk berempati, berbagi, dan melakukan upaya untuk mengubah realitas sosial yang dialami dan dikerjakan anak-anak jalanan.
Pendidikan merupakan pintu masuk yang dianggap paling urgen untuk mengentaskan, atau setidaknya mengurangi keberadaan anak-anak di jalanan yang umumnya mengamen di angkutan umum. Karena itu tempat-tempat bimbingan belajar ditebar dimana anak-anak biasa memanfaatkan lokasi itu sebagai tempat berkumpul atau nongkrong bersama teman sekerjanya.
Adalah Walter Simbolon, koordinator Sahabat Anak yang selama 7 tahun bersama para voluntir lainnya menumpahkan segenap tenaga, waktu, pikiran, hingga materi untuk membimbing anak-anak jalanan. “Bimbingan belajar ini bersifat pendampingan, “ kata Walter kepada Tokoh. Anak-anak jalalanan yang sudah sekolah itu dibantu dalam kegiatan belajar yang diajarkan oleh guru mereka. Sementara yang belum sekolah akan mendapatkan pengetahuan baca tulis sesuai usia mereka.
Menurut Walter yang pernah studi di jurusan filsafatPeguruan Tinggi swasta di Jakarta, Sahabat Anak sekarang sudah memiliki 7 tempat bimbingan belajar yang tersebar di beberapa wilayah d Jakarta, yakni di Tanah Abang, Manggarai, Grogol, kawasan Kota Tua,Gambir, Prumpung, dan Cijantung.
Kebanyakan kebiasaan anak-anak jalanan adalah mengamen di bus maupun di angkutan perkotaan lainnya. Usia mereka dari yang 5 tahun hingga 16 tahun “Kalau orangtuanya yang ngamen hasilnya kecil, “ papar Walter
Awalnya ketika para voluntir mengumpulkan mereka dan membimbing anak-anak jalanan itu untuk belajar, diantara orangtua mereka marah meskipun hanya belajar selama 2 jam. “Ngapain belajar, kalau ngamen sudah dapat berapa bus?!
Maksudnya, jika waktu 2 jam belajar itu dipakai buat mengamen, maka si anak kemungkinan sudah naik turun lebih dari 5 bus. Jika hasil ngamen di satu bus rata-rata Rp 10 ribu, maka di 5 bus bisa mendapatkan Rp 50 ribu. “Makanya orangtuanya marah kalau anaknya kami ajak masuk bimbingan belajar,” kata Walter menegaskan
Padahal anak-anak sangat antusias kalau diajak belajar. Bahkan beberapa anak pernah curhat pada ara aktivis Sahabat Anak bahwa sebenarnya mereka juga capek naik turun bus untuk mengamen. Hasil mengamen itu, menurut Walter, memang tidak semuanya untuk orangtuanya. Mereka dapat jatah juga untuk uang jajan.
Diakui Walter, tidak mudah memberikan pengertian kepada orangtua dari anak-anak jalanan agar memberikan sebagian waktu buat anak untuk belajar, bahkan bermain. “Yah, akhirnya kami melakukan pendekatan secara personal, “ tambah Walter lagi.
Apa yang dikemukakan Walter dialami oleh komunitas penghuni suatu komplek perumahan di Jakarta. Di komplek itu sering berkeliaran anak-anak kecil mengamen. Diantara penghunimerasa iba, lalu mengumpulkan mereka dan memberikan bimbingan belajarsecara umum. Orangtua anak-anak pengamen itu bukannya berterima kasih, sebaliknya melarang anak-anak mereka mengamen ke komplek tersebut. Sejak itu, di komplek tersebut tidak ada lagi anak-anak yang mengamen.
Eksplorasi terhadap anak-anak dilakukan oleh keluarga mereka sendiri. Lebih baik mengamen dari pada belajar, lebih baik di jalanan dan dapat duit ketimbang bermain sebagaimana dunia anak-anak. Itulah realita yang dlakukan sebagian keluarga miskin perkotaan. “Perlu waktu yang cukup lama untuk memberikan pengertian terhadap para orangtua. Kalau mengajak anak-anak mereka untuk belajar cukup mudah, mereka malah antusias, “ tutur Walter.