Connect with us

Feature

Yanti Lidiati, Penyulut Energi di Kampung Ibun

Published

on

JAYAKARTA NEWS –  Masa pensiun nan tenang sudah terbayang. Kumpulan gaji dan uang pensiun telah dihitung dengan matang. “Jumlahnya M,” ujar Yanti Lidiati agak bersemangat.  Jumlah besar itu bisa Yanti peroleh dari posisinya  sebagai Manajer di PT. Bayer Indonesia, Jakarta. 

“Otak saya materialistis. Bagi saya yang ada hanya pencapaian-pencapaian target. Berapa gaji, posisi sampai dimana, kendaraan berapa dan lainnya,” tuturnya lagi. Yanti menggambarkan tentang kehidupannya sebelum tahun 2011 kepada Jayakarta News (17/10/2021). Dia telah merencanakan hari tua yang tenang, kelak.  

Namun, secanggihnya manusia berencana, Tuhan juga yang menentukan. Tahun 2011 adalah titik balik perjalanan hidup Yanti. Ibunya mendadak sakit. Koma selama 10 hari dan harus dirawat satu bulan di rumah sakit. 

Sejak itu, sejarah hidup Yanti yang terlihat sekarang, mulai terukir. Yanti tidak lagi melihat kehidupan melulu berisi pencapaian materi.  Dia kini memberikan hidupnya bagaikan energi bagi kampung halamannya di Lampengan, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung. 

Diawali dengan tekad merawat dan mendampingi ibu yang sedang sakit, Yanti sering mengunjungi ibunya. Itu juga memang yang diharapkan ibunda Yanti, Tjitjih Rukaesih.  “Saya bagaikan obat untuk beliau. Kalau saya ada di sampingnya, Beliau sehat dan tidak perlu obat lagi.”

Yanti bersama para ibu Wanita Mandiri dan Lokal Hero Perempuan PKBM An-Nur Ibun (foto: istimewa)

Bekerja sambil merawat ibu, membuatnya sering cuti dari kantor karena  harus pulang-pergi, Jakarta-Bandung.  “Saya sering minta cuti, alasannya antar ibu ke dokter.”

Karena sering cuti, Yanti merasa tidak enak dengan pihak  perusahaan, juga stafnya. “Nggak enak buat company, juga staf saya. Sementara mereka  harus disiplin bekerja, sedangkan saya bulak-balik mangkir, ” katanya lagi.

Kantor memang penting, tetapi kesehatan ibu bagi Yanti,  jauh lebih penting. “Kalau bukan saya yang urus ibu, siapa lagi? Kakak saya satu-satunya, laki-laki. Nggak mungkin dia yang urus. Saya pikir, selagi bisa, saya akan melakukannya untuk ibu. Jadi, saya putuskan berhenti bekerja.”

Maka perempuan kelahiran 1966 itu pun resmi mengundurkan diri tidak bekerja lagi  pada akhir April 2011. Di perusahaan farmasi itu, Yanti telah 31 tahun bekerja. Karirnya di PT Bayer Indonesia diawali di bagian Share Registry Officer tahun 1990.  “Awalnya saya cuma tukang foto copy,” katanya sambil tertawa. Perjalananan karirnya berakhir saat dia berada di posisi Compenstation & Benefit Manager, Human Resources Departement. 

Dengan cinta kepada ibu, Yanti kembali ke kampung halamannya. Hitung-hitungan matang mengenai gaji dan pensiunnya kelak, telah dia hempaskan. “Rejeki masih bisa dicari,” tandas Yanti. 

Membenahi “Warisan” Ibu Sepuh

Di Kecamatan Ibun, ibu Yanti adalah seorang pendidik. Tjitjih Rukaesih, akrab dipanggil dengan sapaan Ibu Sepuh.  Tahun 2004 telah membangun sebuah wadah pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dengan nama  Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) An-Nur Ibun.

Yanti bersama Ibu Sepuh (foto: istimewa)

Sebelum sakit, Ibu Sepuh yang mengelola PKBM. Di sini ada pendidikan tingkat SMK. Ada juga pendidikan paket B setaraf  SMP dan paket C setaraf SMA. Di tengah sakitnya, Ibu Sepuh meminta agar Yanti mau mengurusnya.

Perhatian Yanti kini bertambah, tidak hanya merawat ibu, ia  juga mulai memperhatikan keberadaan PKBM An-Nur Ibun. “Sekolah ibu saya itu, kecil. Saya perhatikan, kok begitu-begitu saja. Saya pikir, mau sampai kapan sekolah ini seperti itu terus.”

Ibarat mengurus  “warisan”, Yanti bertekad mengembangkan pendidikan di sekolah itu. Ia ingin pendidikan di desanya bisa setara dengan di kota besar. “Saya ingin, walaupun kita di desa, tapi kita bisa mempunyai sekolah yang mutu pendidikannya  sama dengan yang di kota.” 

Yanti mulai berpikir, “Saya harus bisa memberdayakan potensi yang ada, sehingga sekolah ini bisa menjadi lebih baik.”

Tetapi, ini tidak mudah. Yanti yang saat itu bergelar Sarjana Ekonomi, sempat diragukan “keahliannya” mengurus bidang pendidikan, oleh beberapa orang di PKBM. “Sampai sekarang,  saya masih ingat omongan mereka, ‘IbuYanti pindah ke sini  karena nebeng nama ibunya’,  sebab dia tidak punya pengalaman di pendidikan.”

Yanti pun bertekad membuktikan dirinya mampu. Tantangan bagi Yanti adalah peluang. “Saya buktikan kalau saya tidak bergantung kepada ibu. Tantangan ini adalah peluang untuk saya. Karena itu, saya terus bergerak walaupun tanpa berharap.” 

Perbaikan dan pembenahan mulai dilakukan. Tahap awal, dimulai dari dalam. “Prinsip saya benahi diri dulu. Internal dulu. Saya mulai dari meningkatan kualitas dan pengelolaan operasional keuangan.”

Bantuan Pertamina Area Kamojang untuk renovasi gedung sekolah dan ketersediaan peralatan sekolah PKBM An-Nur Ibun, 2014 (foto: istimewa)

Kemudian ia berusaha menambah jumlah siswa yang saat itu hanya berjumlah 75 orang. Ia menanamkan kepercayaan kepada masyarakat terhadap sekolahnya. “Sekarang ini siswa di PKBM telah berjumlah 300-an orang.”   

Saat membenahi internal, Yanti memberhentikan lomba-lomba yang biasa diikuti PKBM.  “Lomba-lomba  pre dulu,” tandasnya.  “Buat apa lomba kalau tidak bisa diimplementasikan.”

Selain kegiatan lomba, Yanti juga berani mengambil sikap menghentikan  bantuan dari pihak luar. Ia mencoba mandiri saat membenahi PKBM An-Nur Ibun. “Bersyukur, dahulu orang tua mendidik saya dengan keras. Sehingga saya berani untuk mandiri. Bagi saya, yang paling penting adalah dapat berdiri di kaki sendiri.” 

Setelah di dalam beres, maka pada tahun 2014, Yanti membuka diri untuk bekerja sama dengan pihak luar. Mulai 2014, Yanti adalah Pembina PKBM. Ia menjabat sebagai Kepala Sekolah SMK dan Kepala PKBM An-Nur Ibun.

Dengan membuka diri kepada pihak luar, Yanti ingin PKBM An-Nur yang merupakan  usaha edukasi dan pemberdayaan masyarakat itu, bisa menghasilkan  produk-produk yang bernilai ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Ibun.

PKBM An-Nur Ibun berkembang.  Yanti terus memacu memajukan masyarakat di kampung halamannya. Ia bagai energi bagi orang-orang di sekitarnya. 

Misalnya saja, ia akan gregetan melihat ibu-ibu hanya ngerumpi. “Padahal usia mereka adalah usia produktif tetapi kerjanya cuma gosip.”  Atau ia akan bersemangat ketika memperhatikan para pedagang di depan sekolahnya. “Setiap kali akan menuju sekolah, saya meliha ibu-ibu berjualan di depan sekolah. Ada yang jualan telur asin. Ini potensi bagus. Mereka bisa dikembangkan.” Yanti juga bergairah melihat potensi di daerahnya yang cukup besar. “Potensi disini cukup besar. Sayang kalau potensi lokal tidak bisa diangkat secara maksimal.” 

Melihat potensi yang ada, baik dari para ibu dan dari daerahnya,  tahun 2016 Yanti membentuk kelompok dengan nama Wanita Mandiri. Melalui Wanita Mandiri ini, Yanti berusaha memberdayakan para ibu,  dari yang doyan gosip, juga yang rajin jualan telur asin. “Ada peluang untuk mereka maju,” ujarnya.

Wanita Mandiri, Harus Tamat SMA

Yanti memberikan bimbingan menjahit kepada ibu-ibu dalam kelompok  Wanita Mandiri. Usaha awal adalah membuat  blazer. Uniknya, blazer ini dibuat dari Sarung asal Ibun. “Saya gunakan bahan sarung yang premium.”  

Yanti memberikan pelatihan menjahit kepada ibu-ibu Wanita Mandiri (foto: istimewa)

Yanti mengangkat nama kampung halamannya melalui sarung sebagai produk lokal di Ibun. Blazernya diberi merek:  It’s Blazer Ibun.  

“Saya yang membuat disainnya, mereka yang mengerjakan,” papar Yanti. Dia  juga yang memasarkan produk Wanita Mandiri.  Bandrol yang ditetapkan  untuk It’s Blazer Ibun berkisar Rp. 250.000 hingga Rp.1000.000. 

Yanti tidak hanya mengajarkan menjahit, tetapi juga memperhatikan pendidikan para anggota kelompok.  Ternyata mereka  hanya tamatan SD. “Bagaimana mau maju kalau hanya tamatan SD,” katanya.

Karena itu, Yanti mematok syarat untuk masuk Wanita Mandiri, yaitu harus lulus SMA. Mereka pun diarahkan menempuh pendidikan paket B yang setara SMP dan paket C yang setara SMA di PKBM An-Nur Ibun.

Produk dari Sarung Ibun, It’s Blazer Ibun

Ketekunan Yanti membimbing mereka, membuahkan hasil. Semula anggota hanya tujuh orang, kini telah berjumlah 50 orang. Berbagai produk pun telah dihasilkan. Bukan hanya blazer yang kini terkenal.  Sarung Ibun sendiri pun kini terkenal.

Jika datang ke Ibun, belum lengkap rasanya sebelum membeli sarung sebagai karya lokal tempat ini.   Wanita Mandiri juga merambah  ke kuliner dan kerajinan tangan. “Sukses tidaknya mereka tergantung diri mereka sendiri. Itu pilihan.”  

Setelah membimbing para ibu,  perhatiannya terpaut kepada anak-anak jalanan, yang akrab disebut anak punk.

Anak Punk Ibarat Panci Karatan

Untuk kelompok anak jalanan, Yanti membentuk wadah dengan nama Wani Robah pada tahun 2018. Tujuan kelompok ini adalah membina anak punk yang hidupnya di jalanan.   

Awalnya Yanti merasa tergelitik melihat komunitas ini.  “Awalnya melihat mereka saat naik angkot. Mereka masuk angkot, kalau tidak dikasih uang, suka marah-marah. Saya tergelitik, apa sih motivasi mereka,  kupingnya dibolongin, pake anting-anting, badan penuh tato sampai wajahnya. Saya berdoa, siapa tau bisa bergaul dengan mereka.”

Doa Yanti dikabulkan.  Suatu saat ada mantan anak punk, seorang wanita bernama Ayu,  yang mendaftar sekolah di PKBM. Tapi sayangnya, setelah satu tahun, Ayu meninggalkan sekolahnya. “Tidak mudah memang membuat mereka mau sekolah.”

Bersama kelompok Wani Robah

Melalui Ayu inilah, Yanti kemudian bisa mengenal dengan komunitas anak punk. Bahkan bergaul dengan mereka.  “Saya bilang sama dia, Yu ajak donk teman-teman kamu kesini, saya mau kenalan sama mereka.”

Bagi Yanti, jika ingin memperbaiki anak jalanan atau anak punk, maka langkah pertama adalah harus bisa menjadi teman mereka. “Kita harus sejajar dengan mereka. Supaya mereka tidak merasa digurui.”

Maka Yanti pun bergaul dengan mereka. Bersahabat dan tidak segan untuk nongkrong di alun-alun Majalaya bersama mereka. “Saya ikut nongrong dengan baju rapih. Saya buktikan kalau saya tidak malu bersama mereka.”

Dari kebersamaan itu, Yanti sangat paham kalau anak-anak punk tidak bisa dipaksa untuk sekolah. Sekolah bukan yang utama bagi mereka. Maka Yanti tidak mengharuskan mereka masuk ke sekolahnya.   “Mereka perlu waktu, jangan sampai sekolah menjadi keharusan. Nanti mereka bisa keluar dari kelompok yang saya bina kalau diharuskan sekolah,” papar Yanti.

Yanti tidak malu bergaul dengan anak jalanan

Yanti mengibaratkan mereka bagaikan panci karatan. Sangat sulit untuk menggosok dan membersihkan karatnya. “Ibarat panci karatan, itu sulit banget untuk dibersihkan. Kebiasaan hidup di jalan, bebas dan tanpa ikatan atau aturan, sekolah tamat SD. Bahkan lama sekali tidak sekolah.  Tidak mudah untuk membawa mereka kembali ke dunia pendidikan. Akan sulit sekali menerapkan kewajiban-kewajiban sekolah jika mereka diharuskan  untuk sekolah,” tandas Yanti.

Paling penting, kata Yanti, adalah menyadarkan mereka tentang ‘siapa dirinya’. “Itu dulu. Mereka harus tahu siapa dirinya. Kemudian, bawa mereka belajar agama, bawa mereka untuk mau  ibadah.”

Yanti lebih fokus pada pendekatan sosial dan kerohanian untuk mereka. “Saya tidak mau mereka ngamen terus-terusan. Jadi, kita kasih kerja harian. Misalkan,  bisa membuat sesuatu dari paralon, menawarkan mereka cuci motor. Sehingga mereka ada kerjaan. Tidak ngamen lagi di jalan.”

Saat ini, anak punk yang dibina dalam kelompok Wani Robah berjumlah 25 orang. “Mereka sempat minta dihapusin tatonya. Tapi saya bilang buat apa hapus tato kalau nanti dipasang lagi. Saya ingatkan terus mereka tetap rajin beribadah, karena Tuhan melihat semua niat baik mereka.”

Semangat Yanti terus menyala membangun masyarakat dan kampung halamannya. Tahun 2019 dia membentuk kelompok untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang cukup banyak di kampungnya, yaitu Kelompok Bermain Berdaya.

Kelompok ini adalah kelanjutan dari program sebelumnya yaitu Sehati Terapi Edulpay yang dibentuk  Pertamina Geothermal Energy cabang Kamojang pada tahun 2016. PGE ingin membina anak-anak disabilitas di Ibun. PGE menyebut anak berkebutuhan khusus  ini dengan nama Anak Istimewa. PGE bekerja sama dengan Yanti yang saat itu membina para ibu yang mempunyai anak ‘Istimewa’.      

Ibu Harus Ikhlas Terima Anaknya ‘Istimewa’  

Sebelum membentuk  Kelompok Bermain Berdaya, Yanti ‘menangani’ ibu mereka lebih dahulu.  Menurut Yanti, ibu yang memiliki anak disabilitas itu  harus menerima keadaan anaknya dengan ikhlas.  “Karena untuk anak disabilitas kalau ibunya tidak ikhlas, sebagus apapun program yang diberikan,  nggak  berguna banget deh,” ujar Yanti.  “Sebab itu yang paling penting, ibunya mau menerima kondisi putra putrinya.” 

ABK, anak istimewa, bisa bersosialisasi dalam kelompoknya

Anak-anak yang masuk dalam kelompok ini adalah penyandang down syndrome dan autis.  “Mereka memang berbeda, tapi mereka tetap bisa berkarya. Maka, mereka  harus diberikan kesempatan untuk bersosialisasi dan menggali potensinya,” ujar Yanti. Itulah makna ‘Berdaya’, berbeda dan berkarya. 

Dalam komunitasnya itu, Yanti melihat  anak-anak bisa bersosialisasi dan belajar saling menghargai. Di luar itu, Yanti sering melihat  banyak anak-anak seperti mereka di kampungnya, tidak mempunyai kesempatan bermain bersama. “Bahkan, mereka malah dijauhi dan dianggap rendah.”

Harapan Yanti tidak muluk-muluk. Ia ingin, anak berkebutuhan khusus bisa dihargai dan diterima keberadaannya. Yanti membina mereka di lahan rumahnya di Jalan Oma Anggawisastra, Desa Lampegan, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung.

Sebagai Pembina PKBM An-Nur Ibun, Yanti tidak sendiri menjalankan semua kegiatannya. Ia dibantu PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang sejak tahun 2014.  

Mitra Binaan Pertamina Geothermal Energy

Diakui Yanti, PGE telah banyak memberikan bantuan. Sebagai Binaan Pertamina, PKBM An-Nur Ibun kini telah berkembang, lebih maju dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama kaum perempuan.  

Yanti memberikan penjelasan produk PKBM An-Nur Ibun kepada Presiden dalam Pameran Rembuknas, Desember 2018

Bantuan PGE telah berlangsung sejak 2004, saat dikelola Ibu Sepuh. Namun di 2011, Yanti menghentikan sementara bantuan dari luar saat ia  melakukan pembenahan internal.  Baru pada 2014, Yanti membuka diri lagi, dan PGE kembali memberikan bantuan kepada PKBM An-Nur Ibun hingga saat ini. Di tahun 2014 itu, bantuan lebih difokuskan kepada bangunan gedung sekolah. “Pertamina telah banyak membantu kami. Saya sangat berterimakasih kepada PGE,” ujar Yanti.

Seperti yang diutarakan Corporate Secretary PGE, Muhammad Baron kepada Jayakarta News, (21/10).  “PGE telah bekerjasama dengan PKBM An Nur, sekolah yang didirikan oleh Ibu Tjitjih Rukaesih (Ibunda Ibu Yanti) sejak tahun 2004. Ibu Yanti meninggalkan karir professionalnya di Jakarta dan mendedikasikan hidupnya sebagai penerus Ibu Tjitjih untuk mengembangkan PKBM An Nur. PKBM An Nur menjadi sekolah bagi anak-anak kurang mampu di kecamatan Ibun dan berhasil mengembangkan program pemberdayaan masyarakat. PGE membantu membangun gedung, ruang kelas, meningkatkan kualitas SDM, serta mengembangkan program pemberdayaan masyarakat berkolaborasi dengan Ibu Yanti. Kami melihat Ibu Yanti sebagai pribadi yang inovatif, kreatif, dan mempunyai semangat pemberdayaan yang tinggi. Ibu Yanti mampu melihat peluang dan potensi yang dapat dikembangkan di masyarakat.”

Menurut Baron, Yanti dan PKBM An-Nur Ibun merupakan salah satu mitra binaan PGE yang paling membanggakan dan merupakan Juara 1 Local Hero Pertamina tingkat nasional. “Beliau telah berhasil mengembangkan program-program inovatif seperti pemberdayaan kelompok Wanita Mandiri Ibun dengan inovasi membuat blazer dari kain sarung serta meningkatkan kualitas produk makanan yang dikembangkan oleh para ibu rumah tangga. Ibu Yanti juga berhasil membina anak punk (Kelompok Wani Robah) menjadi lebih berdaya. Bersama PGE, Ibu Yanti juga mendampingi Anak Istimewa (anak berkebutuhan khusus) melalui pendidikan dan bimbingan psikologis,” tulis Baron lagi. 

Baron juga menjelaskan, “Berbagai penghargaan juga telah diraih salah satunya dari Energy & Mining Editor Society (E2S) tahun 2021 untuk Program Wani Robah, Wanita Mandiri sebagai The Best Education Program. Selain itu juga mendapatkan penghargaan kategori Apresiasi Pegiat Perempuan dalam rangka mendukung Hari Aksara Internasional Tingkat Nasional Tahun 2021 dari Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, serta banyak penghargaan lainnya. Kami berharap kerjasama yang baik dengan Bu Yanti ini dapat terus berlanjut dan memberikan kebermanfaat bagi masyarakat sekitar.”

Cafe, Bantuan Baru PGE 

Pertamina terus memberikan dukungan bagi Yanti hingga saat ini. Seperti dalam waktu dekat, katanya, akan dibuka cafe untuk Wanita Mandiri. Di Cafe itu nantinya, Yanti akan memberdayakan anak-anak punk sebagai pelayan cafe.

Pameran produk Wanita Mandiri pada pameran yang diselenggarakan Pertamina di Jakarta sekitar tahun 2017 (foto: istimewa)

“Di cafe juga nantinya  akan ada live music. Saya inginnya mereka yang main musik dan melayani di cafe ini,” ujar Yanti bersemangat.

Yanti juga akan membiarkan anak-anak punk tetap dengan tatonya. “Mereka tidak usah menghapus tatonya.  Biarlah mereka menjadi diri sendiri. Tetapi, mereka harus rapih dan bersih,” katanya sambil meneruskan,  “Tinggal pelaksanaannya saja.”

PKBM An-Nur Ibun terus berkembang di kampung nan jauh dari kebisingan itu. Walau Ibu Sepuh, pendiri PKBM  telah tiada (wafat pada 16 Agustus 2021), di tangan sang penerus PKBM tetap memberikan manfaat bagi Ibun. Yanti juga terus belajar dan mengisi hidupnya dengan wawasan baru agar tetap mampu menjadi energi bagi kampung halamannya.

Pada April 2019, ia meraih gelar MM CSR dari Universitas Trisakti Jakarta. Dan kini, Yanti tengah mengambil  Program Pasca Sarjana (S3) di UPI, Bandung dalam bidang  Pendidikan Masyarakat. 

Kini, sukses bagi Yanti bukan lagi pencapaian materi. “Tetapi, sukses adalah ketika kita bisa berbuat dan berguna untuk mereka. Itulah sukses.” *** (Melva Tobing)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *