Connect with us

Sport

#SOS: Liga 2 Sangat Rawan Masalah

Published

on

PESERTA 60 klub. Tiga klub akan promosi, 36 klub akan degradasi. Komposisi yang tidak sehat untuk sebuah kompetisi profesional.

Bila Liga 1 (dulu ISL: Indonesia Super League) jadi primadona yang kabarnya akan dapat subsidi Rp 7,5 miliar per klub dan berkesempatan menggunakan Marquee Player. Beda halnya dengan Liga 2 (Divisi Utama). Mereka masuk kategori “anak tiri”.

Selain minim perhatian, peserta Liga 2 yang juga kompetisi profesional tak memiliki saham di PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) selaku operator kompetisi sepak bola nasional. Peserta Liga 2 hanya mendapatkan “tali asih” yang tak lebih dari Rp 500 juta per klub untuk menjalankan kompetisi yang super berat. Fakta inilah yang membuat Liga 2 akan sangat rawan masalah.

Masalah pertama muncul dalam proses pembagian grup. Dari 60 klub peserta Liga 2, PSSI akan membagi menjadi 6 Grup. Artinya, tiap-tiap grup akan berisi 10 klub. Persebaran peserta yang jomplang menjadi salah satu sumber kerawanan. Berdasarkan data yang dihimpun Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Save Our Soccer #SOS, dari 60 klub yang berpartisipasi tersebar di 22 provinsi. Jawa Timur (14 klub) dan Jawa Tengah (12 klub) menjadi penyumbang kontestan terbanyak. PSSI berencana membagi grup berdasarkan region (kedekatan wilayah).

“SOS berharap pembagian grup oleh PSSI berlangsung fair dan transparan. Tidak ada lagi pengevakuasian klub dari regionnya berdasarkan kepentingan tertentu. Ini penyakit PSSI dulu. Terjadi transaksi di bawah meja untuk meloloskan klub-klub tertentu. Semoga hal ini tak terulang pada kepengurusan PSSI di bawah kepemimpinan Letjen Edy Rahmayadi yang memiliki jargon profesional dan bermartabat,” kata Akmal Marhali, Koordinator Save Our Soccer #SOS.

Lepas dari pembagian grup, masalah berikutnya adalah aturan promosi dan degradasi. Dari 60 kontestan, rencananya hanya tiga klub yang promosi ke Liga 1. Yang paling rawan tentunya, jumlah peserta yang terdegradasi ke Liga 3 mencapai 36 klub. Maklum, PSSI berencana akan memutar Liga 2 pada musim 2018 dengan 24 klub peserta. Komposisi klub yang bakal turun kasta (36 klub) sangat jomplang dengan yang akan tetap bertahan (24 klub).

“Ini sangat tidak sehat untuk sebuah kompetisi. Dikhawatirkan akan terjadi transaksi jual beli pertandingan. Utamanya, untuk yang hanya sekadar bertahan. Maklum, hanya 4 Besar peringkat masing-masing grup yang tetap berada di Liga 2. Selebihnya (enam klub masing-masing grup) turun kasta,” kata Akmal. “Perbandingannya 4/10 bertahan dan 6/10 degradasi. Ini sangat riskan. PSSI harus ketat melakukan pengawasan di setiap pertandingan. SOS melihat mungkin hanya empat pertandingan di setiap grup yang akan berlangsung bersih. Selebihnya, bisa terjadi jual beli skor dan hasil pertandingan,” Akmal menegaskan.

#SOS menyanyangkan kebijakan PSSI yang memaksakan peserta kompetisi Liga 2 dengan 60 klub peserta. Pasalnya, banyak klub yang sejatinya tidak layak tampil bila dilakukan verifikasi berdasarkan aturan lisensi klub professional yang ditetapkan FIFA dan AFC. “Daripada PSSI memaksakan diri melibatkan 60 peserta, lebih baik dilakukan verifikasi baik aspek legal, infrastruktur, finansial, supporting, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Klub yang tak memenuhi syarat harus harus berbesar hati tak ambil bagian. Ini kompetisi profesional, bukan tarkam,” Akmal mengungkapkan.

Aspek keuangan (finansial) menjadi barometer kekuatan klub untuk mengikuti kompetisi Liga 2. Musim lalu, saat digelar kompetisi tak resmi, Indonesia Soccer Championship (ISC) B, banyak klub yang tak melunasi gaji pemainnya. Dikhawatirkan musim 2017 kejadian menunggak gaji terulang. Akibatnya, aka nada klub yang sengaja menjual pertandingan untuk menutupi kebutuhan. Yang paling mengkhawatirkan: klub mundur di tengah jalan.

“Minimal peserta Liga 2 butuh Rp 3-5 Miliar untuk memenuhi kebutuhannya mengikuti kompetisi. Subsidi hanya Rp 500 juta. Klub harus mencari dana tambahan mulai Rp 2,5 miliar sampai Rp 4,5 miliar. Ini sangat rawan. Apalagi banyak klub Liga 2 yang belum mampu menarik minat sponsor,” Akmal menegaskan. “Krisis keuangan di tengah kompetisi menjadi pemicu jual beli pertandingan. Ini harus dipikirkan dan diantisipasi secara matang,” Akmal mengungkapkan. ***

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *