Connect with us

Kabar

‘Poek’, Jurnalisme dan Politik: Refleksi Pemikiran Berkaitan dengan Pers

Published

on

JAYAKARTA NEWS— Poek dalam bahasa Sunda artinya gelap, gulita. Wartawan senior N Syamsuddin Ch Haesy memberikan judul dalam bukunya ‘Poek: Refleksi Pemikiran tentang Interaksi Sosial, Jurnalisme dan Politik’. Diterbitkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Astra International, buku setebal 162 halaman ini berisi kumpulan beberapa artikel pilihan penulis Syam (Syamsuddin Ch. Haesy) yang terserak di banyak media.

Membaca buku ini, bagai membaca beberapa episode penting dalam sejarah kita dalam berbagai bidang, termasuk berkaitan dengan pers.

Pers adalah saksi sejarah, juga pelaku sejarah. Banyak sudah insan-insan dan tokoh-tokoh pers terlibat dan berjuang dalam sepak terjangnya baik di masa revolusi fisik, perang Kemerdekaan maupun di masa pembangunan dan orde reformasi.

Dieditori Ismet Rauf, buku ini menarik disimak dan diperbincangkan dalam
diskusi atau seminar yang membahas ranah politik, budaya, humaniora dan sosial kemasyarakatan.

Perhatikan saja, dari 35 artikel pilihan, Syam memilih dan memilah judul-judul artikelnya yang sarat perenungan, refleksi diri serta pembahasan yang menukik : Pertikaian, Ishlah, Kekerasan, Kejora Palestina , Bara Api Revolusi , Jurnalisme Damai, Jurnalisme Jalan Lurus, Media Framing, Keledai Jatuh, Berutanglah Padaku, Demokrasi Palsu, Pengkhianatan, Kudeta Pemimpin vs Penguasa, Jalan Budaya dan ditutup artikel berjudul Uban.

N Syamsuddin Ch Haesy /foto: istimewa

Yang khas dan menjadi ciri diri dalam artikel Syam adalah pada setiap judul tulisannya, dibawahnya diselipkan pantun atau syair berisi 4 baris, misalnya dalam artikel bertajuk ‘Poek atawa Gelap” : ikan belida sila dipijah/berikan vitamin agar disantap/bercak nada menghias wajah/jangan bercermin dalam gelap.

Bercermin dalam gelap? Mana mungkin dan mana bisa? Sekali-sekali gelap memang direncanakan dengan berbagai alasan, teknis yang hanya diketahui PLN (perusahaan listrik negara) termasuk pemadaman listrik bergiliran.

“Ada juga gelap dilakoni karena alasan ritus spiritual atau non spiritual seperti memperingati Hari Bumi. Khalayak dianjurkan memadamkan sejumlah lampu penerang selama satu jam,” tulis Syam.

Tahun 2023 ini, usia Syam 68 tahun. Dan dalam ritus waktu 50 tahun banyak terjadi peristiwa penting di tanah air dan dunia. Dan Syam sangat jeli, tekun dan rajin mencatat dan ‘memotret’ seluruh peristiwa yang menyangkut pers, bidang yang digelutinya, kedalam artikel, esei atau catatan perjalanan dan kolom yang menarik dan menukik.

Syam adalah wartawan yang selalu berpindah pekerjaan dari satu media ke media lain. Beberapa media yang pernah dimasukinya antara lain Pelita, Panji Masyarakat, Angkatan Bersenjata, tabloid Bintang Indonesia, Bandung Pos, dan Harian Jurnal Indonesia. Selain itu, Syam juga tercatat pernah menjadi penyiar di Radio MARA dan beberapa kali menjadi juri Lomba Berbalas Pantun.

Lalu, siapakah tokoh pers yang pernah Syam berguru?

Banyak sekali, di antaranya Zaenal Bintang, Masdun Pranoto, Tarman Azzam, HS Djurtatap, Remy Sylado , Antony Z Abidin, Moh Siddik Arswendo Atmowiloto, Zulhasril Natsir, Masmiar Mangiang, Arthur John Horoni, dan Sutardji Calzoum Bachri (majalah Fokus) serta Fahri Muhammad (bidang iklan dan radio).

Wartawan-wartawan senior ini yang terus menempa dan menggembleng Syam dalam meniti karirnya sebagai wartawan dan penulis.

Obsesinya? “Ingin menjadi penyair, tapi belum kesampaian meski banyak menulis puisi,” jelas Syam yang selalu terngiang-ngiang pesan Buya HAMKA yang isinya : ‘teruslah belajar, membaca dan menulis. Asah pikiranmu, hatimu dan penamu,”.
Nah ! (pik)

Continue Reading
Advertisement
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *